BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Mengulas Kembali Genealogi Paradigma PMII

Pena Laut -
Paradigma secara fundamental disebut sebagai cara pandang nalar seseorang untuk mengambil keputusan serta menentukan tindakannya kedepan. Thomas Kuhn merupakan tokoh yang pertama kali memperkenalkan paradigma dengan penjabaran 21 konteks yang akhirnya disimpulkan oleh Masterman dan Ritzer sebagai “a fundamental image a dicipline has of its subject matter” dan menjadi alat “how to see the world”. Maka, melalui hal ini dapat diketahui di mana letak urgensi paradigma untuk sebuah organisasi.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) adalah sebuah organisasi mahasiswa ekstra kampus. Acuan paradigma di PMII sementara masih menggunakan Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang sudah dirancang di Munarjati dan hanya mengandalkan normal science, karena keadaan kala itu masih berjalan tertata. Tetapi setelah beberapa pergantian hari, bulan, bahkan tahun, banyak anomali fenomena dan krisis sosial yang terjadi pada PMII. Sehingga memiliki paradigma yang sampai hari ini digunakannya dalam berbagai hal. Mulai dari melihat permasalahan, menganalisis, hingga sebagai cara membuat solusi setiap permasalahan sosial.

Jika dirunut mulai awal, PMII mulai memiliki paradigma saat kepengurusan sahabat Muhaimin Iskandar dengan ‘Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran’. Kenapa dinamakan demikian? Karena masa itu pemerintah tidak lagi bijak dan menjadi sangat otoriter yang menyebabkan rakyat termarginalkan. Dengan keadaan yang seperti itu mereka membangun kekuatan-kekuatan dari bawah yang bertujuan untuk melawan pejabat pemerintahan. Kader PMII saat itu menggunakan pendekatan berupa advokasi dan free market idea. Dimana masyarakat dibebaskan untuk berpendapat dengan ide dan gagasannya sendiri.

Dilanjut pada masa kepemimpinan sahabat Saiful Bachri Ansori. Paradigma ini dirumuskan dengan nama ‘Paradigama Kritis Trasformatif' (PKT). Paradigma ini muncul untuk menjawab atas krisis ataupun anomali yang dialami oleh paradigma sebelumnya. Adapun variabel yang telah terinventarisir, ditandai dengan banyaknya variasi etnik, budaya, tradisi, dan kultur masyarakat. Keadaan opini masyarakat yang mulai digiring menuju pemikiran positivistic. Pola pikir kapitalisme yang didukung dengan keteraturan paradigma kala itu, menyebabkan kader PMII hampir tidak dapat melakukan pengembangan diri, dan mengimplementasikan potensi yang mereka miliki. Dogma tradisi dan agama juga secara kuat membelenggu masyarakat. Sehingga membuat kader PMII kesulitan membedakan antara dogmatisme dan pemikiran dogma.

Diksi kritis merupakan sikap dimana seseorang berusaha menelaah lebih dalam atas apa yang terjadi. Mempertanyakan hal tersebut sudah sesuai atau tidak dengan kemauan khalayak umum. Filsuf yang termasuk dalam barisan Islam Kiri (kritis) salah satunya adalah Hassan Hanafi. Dia mengkritisi Islam Tradisional. Melalui pemikirannya yang mengubah ideologisasi teks menjadi praktis. Pemahaman ajaran yang ada di agama itu tidak semata menjadi dogma saja. Melainkan agar bisa menjadi solusi untuk menjawab problem yang berorientasi transformasi sosial. Dalam kata kritis, juga mengambil dari pemikiran Muhammad Arkoun, yang berpendapat bahwa sikap kritis adalah ketika kita bisa membawa pemikiran Islam dapat berjalan beriringan dengan ilmu pengetahuan modern. Jadi, Arkoun berusaha menjejalkan pemahaman tentang Islam berdialog sesuai konteks dinamika ilmu pengetahuan.

Jika ditinjau dari historis, teori kritis tentunya tidak dapat terlepas dari Madzhab Frankfurt. Tempat sekelompok pemikir yang berada pada institute penelitian sosial yang di dalamnya terdapat golongan neo-marxis. Sekaligus menjadi katalisator awal akan adanya pemikiran kritis ini. Max Horkheimer, T.W Adorno, Friedrich Pollock, E. Fromm, K. Wittfogel, Leo Lowenthal, Walter Benjamin, dan Herbert Marcuse yang disebut sebagai "nabi" gerakan new left golongan angkatan pertama dari madzhab Frankfurt di Jerman.

Tujuan utama dari teori kritis cukup bertolak belakang dengan pemikiran Karl Marx. Marxian menganggap akan adanya perubahan ketika kondisi ekonomi telah stabil. Pemikiran manusia lebih mampu menghadapi masalah ekonomi serta industri yang lebih maju dan kreatif. Pemikiran teori kritis yang dibawa oleh 3 tokoh terkemuka generasi pertama (Max Horkheimer, T.W Adorno, dan Herbert Marcuse) dilanjutkan oleh generasi kedua yaitu, Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya.

Teori kritis diatas tentunya mempunyai sumber kritik yang dibawa oleh beberapa tokoh. Immanuel Kant menganggap bahwa pengadilan tertinggi ilmu pengetahuan adalah 'rasio'. Berbeda menurut Hegel yang merefleksikan diri atas pressure di dalam pembentukan rasio diri kita merupakan kritik yang sebenarnya. Sedangkan Kalr Marx beranggapan bahwa arti kritik yang benar ialah bagaimana kita berusaha tidak termarjinalkan oleh adanya tingkatan kekuasaan yang berlaku di dalam masyarakat.

Dipilihnya diksi “Transformatif” merupakan term pelengkap dari teori kritis sendiri. Nantinya digunakan dalam ranah praksis seperti formasi dan strategi sosial. Terdapat beberapa model transformatif untuk memanifestasikan teori kritis, seperti Elitis ke Populis, Negara ke Masyarakat, Struktur ke Kultur, serta dari Individu ke Massa.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menggunakan Paradigma Kritis Transformatif (PKT). Perlunya untuk pisau analisis yang bisa mengutamakan perubahan mindset serta cara pikir masyarakat yang masih terbelenggu dogmatisme, terbelenggu kapitalisme modern, dan sistem pemerintahan yang cenderung otoriter dapat terkikis sedikit demi sedikit.

Pada tahun 2006-2008 Heri Harianto Azumi menggagas paradigma baru yaitu, “Menggiring Arus Berbasis Relitas”. Latar belakang utama perumusan serta penggunaan paradigma ini, adalah kondisi kader PMII yang saat itu terlalu fokus mengkritik persoalan-persoalan yang bersifat temporal-spasial (terikat ruang dan waktu). Tetapi kurang dalam hal menganalisa permasalahan negara yang cukup kompleks. Hal ini dapat digambarkan bahwa dengan kekuatan kader PMII yang saat itu masih tergolong tidak seberapa berusaha menghadapi masalah-masalah pemerintahan. Namun, sulitnya penerapan paradigma menggiring arus berbasis realita ini adalah pembuatan forum-forum nasional berbasis kenyataan kondisi yang sedang dihadapi Indonesia.

Akhirnya, meski sudah melakukan pencetusan paradigma. PMII sepakat untuk menggunakan “Paradigma Kritis Transformatif” (PKT) kembali karena dianggap masih relevan dengan kondisi saat ini. Paradigma kritis yang digunakan dalam hal metode berpikir untuk menghadapi berbagai persoalan dalam PMII. Pada urusan keagamaan tentunya paradigma kritis, sebagai titik pijak yang diberlakukan agar ajaran agama berjalan secara dinamis dan mengikis tabir pengetahuan yang bersifat munafik serta hegemonik.

Ternyata tidak berhenti pada paradigma itu saja. Melainkan dalam sambutan Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) tahun 2022. M. Abdullah Syukri atau biasa dipanggil Gus Abe menggagas paradigma baru lagi yang diproyeksikan dapat menjawab tantangan zaman. Dengan kondisi sudah menyentuh era digital society. Maka Gus Abe menambahkan diksi “produktif” sebagai solusi dari gap dari paradigma sebelumnya.

Beliau mengambil dan menyusun paradigma produktif tidak lain adalah manifestasi dari kata ‘Amal Saleh’ yang berada di trilogi PMII. Namun, paradigma tersebut belum diputuskan di dalam forum dan belum sah menjadi paradigma PMII sebagai peralihan dari Paradigma Kritis Transformatif. Tentu perlu pemikiran kritis akan hal ini dari seluruh pengurus cabang, pengurus komisariat, dan pengurus rayon. Tujuannya untuk mempertimbangkan dan memikirkan kembali jika akan menggunakan paradigma yang digagas oleh Gus Abe. Apakah sudah relevan atau tidak dengan kondisi negara Indonesia hari ini?


Oleh: Safina Ulfi Ma'ulida (Sekretaris Bidang Keilmuan PMII Rayon Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (Febi) Komisariat UIN KHAS Jember 2024-2025)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak