BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Darah di Ujung Drama

Penalaut.com
- Di suatu malam berguntur tanpa bintang, sebuah motor baru saja tiba di depan rumah lalu terdengar dan terlihat sepasang sahabat, Rendi dan Adit, sedang menonton dan mengobrol tentang berita petinggi negeri yang ketahuan bermain perempuan. Berita itu memaparkan perempuan di atas panggung yang sedang diwawancarai sekaligus meminta pertanggungjawaban dan kepastian dari anak yang dilahirkannya. Di depan media, perempuan gumpal tersebut menangis tersedu lalu menghardik keras kepada sang petinggi negeri. Dia mengatakan haru sekali sembari menahan air matanya supaya tidak merembes jatuh mengotori makeupnya, "Kamu tega, Pak? Lihatlah anakmu sekarang dia menanyakan siapa ayahnya. Dimana janji kamu? Hiks."
 
Kedua pasang sahabat itu tampak menikmati. Layar TV kemudian memperlihatkan beberapa bukti kredibel yang membenarkan sang petinggi negeri telah menjalin hubungan intim bersama perempuan itu. Dengan tangis mulai menghiasi wajahnya, dia berkata lirih sembari memegangi microphone dengan tangan yang terlihat bergetar tanda emisinya telah memuncak, "Teman teman ini adalah bukti! Saya tidak berkata bohong, saya tidak hendak mencari nama, saya hanya ingin keadilan untuk saya dan anak kami!"
 
“Ah, anjing, cewek gila!” maki Rendi dengan mata melotot hampir keluar.

Adit tertawa mendengar makian temennya. Rendi memang mudah sekali naik pitam tanpa aba-aba. Dia sangat membenci drama, tetapi dia tetap terpaku menontoni acara TV itu tanpa kedip. Mukanya terlihat marah seolah perempuan di depanya telah merenggut harta paling berharganya sebab dia berpikir perempuan tersebut terus berusaha mengelabui penonton supaya mempercayai bualan kosong itu.
 
"Ah, kocak. Golok, mana golok? Cewek stres bajingan." Adi menggerutu dan menekan keras tombol power di remote TV lalu menerbangkannya menuju lantai.

Prak...

Remote terhentak dengan lantai dan terpisah dari baterainya.
 
Tepat saat amarahnya meninggi, suara bel berbunyi dan beradu dengan gemercik hujan yang terbalut dengan raungan guntur. Bel berbunyi berkali-kali. 

Kring....

Kring...

Adit berbalik menuju dapur sementara Rendi melangkah malas menuju pintu tidak tertutup tanpa mengubah wajah kesalnya. Sebelum bertatap wajah, Rendi berteriak tentang kepentingan tamu tersebut.

"Halo, selamat malam, Rendi. Saya ibu dari Nita" ucap wanita paruh baya sambil menggoreskan senyum.
 
"Oh, Nita? Siapa?" respon Rendi pelan lalu dagunya meninggi berusaha mengingat kejadian beberapa waktu lalu.
 
"Pranita Anggoro, dia pacar kamu, kan?"
 
"Hmm, ah iya, mantan. Mari masuk, ibu. Saya ngga tau ibu itu ibunya Nita."
 
Rendi mempersilahkan ibu itu masuk terlebih dahulu menuju ruang tamu sembari sedikit membungkukkan badan. Lalu, di belakang punggung ibu terucap gerutuan pelan dari Rendi tentang Nita. Cih, Nita Nita...

Mereka bertiga duduk di sofa berbentuk L di hadapan TV yang masih saja menanyangkan cewe gila itu. Cewe itu menangis makin merengek menutut haknya sambil terus menghardik keras kepada sang petinggi tersebut. Tangis telah menguasai wajah dan melunturkan makeup hingga menampakan kulit coklat aslinya. Kemudian, di depan TV itu, dengan kepala tegak dan diksi selayaknya seorang terdidik, ibu mulai berbicara tentang mengapa dia berada di sini.

Rendi mencoba mencerna benang merah dari ucapan ibu. Kemudian, dia meraih suatu kata yang terbesit dari mulut ibu itu bahwa Nita hamil. Wajah ibu itu tergambar indah dan santun selayaknya seorang ibu yang sedang memberi wejangan kepada anak bayinya tanpa melibatkan amarah atau emosi tertentu. Dia terus bercerita panjang secara rinci dari awal hingga akhir bahwa Nita sangat mencintai Rendi. Pernah, dia membaca, diary dari anaknya itu tentang suatu puisi yang menyiratkan bahwa apapun yang terjadi Rendi adalah belahannya. Rendi adalah pecahan puzzle dari diri Nita yang selama ini anaknya cari.
 
Namun, Rendi mencoba mengingat lalu mengaitkan dengan kata hamil, tindakan Rendi kepada Nita beberapa waktu lalu sebelum akhirnya putus dan kehadiran ibunya Nita. Dia bertemu dengan suatu simpulan bahwa kehadiran Ibu Nita di depannya tidak lepas dengan semua itu yang secara tersurat sedang berusaha meminta pertanggungjawaban.

"Oh, Ibu, tidak tidak, Ibu ini cerita apa? Kita bukan pasangan lagi" ucap Rendi menginterupsi setelah paham inti dari ucapan Ibu Nita.
 
"Iya, saya berbicara fakta. Tidak ada orang lain yang lebih deket kecuali kamu."

"Jelas jelas, saya sudah bilang Nita adalah mantan!"

"Demi Allah, Rendi, Nita sendiri yang mengatakan. Dia menangis menunggu kamu."

"Oh, kamu cari makan ya? Cari uang? Miskin? Mau ngerjain saya supaya anak ibu bisa hidup sejahtera?"

Ibu Nita terdiam. Dia tampak menahan amarah yang makin mendominasi dan menyeruak minta dikeluarkan.
 
"Sudah, sana pulang, Ibu. Saya capek denger drama ini!"

"Begini, gimana kalau kamu ikut saya lalu berbicara langsung kepada Nita? Biar jelas apakah cerita ini fakta atau tidak."
 
"Cih, permainan apa ini. Ibu pengen saya masuk ke dalam perangkap itu, kan!" Suara Rendi meninggi sekali menampakan amarahnya. Ibu terkejut begitu mendengarnya.
 
Sementara, di TV, tayangan tersebut belum juga beralih. Justru, menampakan beberapa bukti bahwa sang cewek hanyalah membual. Rendi yang sudah semakin kesal berdiri dan menendang meja di depannya.

PRAK!

"Keluar!"

Rendi mengeluarkan dan melemparkan segepok uang berwarna merah dari dompetnya menuju tubuh Ibu Nita. "Begini saja, ini uang Ibu ambil dan jangan pernah kembali lagi."
 
Ibu Nita terdiam memandangi Rendi. Matanya merah dan berkaca kaca bahwa inilah sosok sebenarnya dari pria yang disukai anaknya. Dia memendam kekecewaan teramat besar.
 
"Coba hitung jumlahnya, Ibu!"

"Ini kan yang ibu cari? Atau kurang?"

Guntur di luar sana menggelagar kencang lalu suatu suara dan hentakan dari belakang menancap tubuh ibu. Adit menusuk ibu itu dengan golok tepat di bagian punggung menembus dada. Darah menetes membasahi baju Ibu Nita lalu membuatnya terkujur kaku dan tergeletak lemas di lantai. Tidak berhenti, Rendi ikut menimpa kepala Ibu Nita dengan vas bunga yang berada di hadapannya.
 
"Prakkk...Mampus, rasain!"

"Biar saja. Dia ini penipu", ucap Adit setelah menyimak dan membuat golok bersarang di tubuh ibu Nita.

Mereka berdua memperhatikan tubuh Ibu Nita yang dapat dipastikan sudah tidak bernyawa. Lalu, suara dari saku celana Ibu Nita berdentum kencang. Rendi raih hape Ibu Nita lalu melihat nama yang sedang menelpon "Nita Sayang".

Rendi tolak panggilan itu lalu mulai membacai pesan pesannya. Mata Rendi tertuju ke arah riwayat pesan antara Ibu dan anaknya: "Ibu di mana? Nita bawa hadiah buat ibu, kan hari ini ulang tahun. Rendi juga hari ini ulang tahun. Nih, aku bawain hadiah buat dia."
 
Nita melampirkan hadiah itu. Satu hadiah sebuah gaun panjang berwarna putih untuk ibunya, lalu sebuah lukisan yang terurai rapih tentang sepasang kekasih. Lukisan itu menginsyarakan Rendi dan Nita yang sedang berada di bawah pohon tiduran saling berpelukan menatap matahari yang hendak tenggelam.
 
Di bawahnya tertulis: Rendi dan Nita. Selamanya.

Rendi termangu. Dia merenungkan apa yang baru saja dia lakukan, lalu tangis juga membasahi kulit wajahnya. Dia membunuh Ibu dari sosok yang paling dicintainya!

"Terus gimana, Dit?"

Adit melongo. Tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Di balik kejadian itu, TV kini berganti memaparkan berita kriminal pembunuhan. Seorang pemuda dihukum mati karena menghabisi Ibu dari kekasihnya.


Oleh: Muhamad Anugrah Putra
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak