BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Pendidik Sebagai Produsen Wacana: Reposisi Peran Guru Dalam Arus Budaya Velocity

Penalaut.com
- Mari kita mulai dengan sebuah pengakuan berdosa, bahwa dahulu, banyak dari kita menganggap guru itu seperti Google versi offline—bisa dicari kapan pun. Mereka berdiri di depan kelas dengan kapur di tangan, suara serak-serak basah karena kebanyakan menasihati anak-anak yang lebih sibuk menggambar hati di buku tulis daripada mencatat rumus fisika.

Tapi zaman telah berubah, kapur berubah jadi whiteboard marker (atau stylus tablet bagi yang sudah hijrah digital), absen tulis tangan berubah jadi scan barcode. Dan murid? Jangan tanya. Mereka lebih hafal gerakan dance TikTok daripada gerakan pramuka. Lebih cepat menangkap istilah "POV" daripada "POK" (pokok pikiran).

Di sinilah letak tantangannya. Guru tak bisa lagi sekadar jadi penjaga gawang kurikulum. Ia harus naik level — menjadi produsen wacana di tengah arus budaya velocity yang melaju seperti motor Beat tanpa knalpot dan rem.

Apa itu budaya velocity? Kalau kamu pernah buka TikTok dan merasa tiga jam berlalu seperti tiga menit, itulah velocity. Dunia ini kini tidak sabaran. Segalanya serba cepat, serba pendek, dan seringkali serba tidak penting. Informasi datang seperti tukang parkir di mall: cepat, ramai, dan kadang bikin bingung kita sebenarnya mau ke mana.

Menurut Jean Baudrillard, kita hidup dalam dunia hiperrealitas: ketika simulasi menggantikan kenyataan. Konten bukan lagi cermin dunia, tapi dunia itu sendiri. Anak-anak kita lebih percaya review skincare dari influencer daripada guru biologi yang lulusan S2.

Velocity menciptakan masyarakat yang terjebak dalam konsumsi simbol dan ilusi, bukan makna sejati. Di sinilah peran guru diuji: apakah ikut hanyut, atau jadi jangkar kesadaran?

Masuklah Jürgen Habermas dengan teori tindakan komunikatif dan ruang publik. Intinya, Habermas percaya bahwa komunikasi adalah komunikasi yang terbebas dari dominasi—berbasis argumen rasional, bukan likes dan viralitas.

Guru bisa mengambil peran ini: menciptakan ruang kelas sebagai miniatur ruang publik. Tempat di mana murid belajar tidak sekadar menyimak, tapi berbicara, berargumen, mendengarkan, dan yang terpenting adalah berpikir kritis. Tentu, dengan sedikit bumbu candaan, karena jujur saja: teori tanpa tawa itu seperti teh tawar tanpa gula—pahit, Bung!

Kalau Habermas ngajak kita berdialog, maka Paulo Freire ngajak kita untuk membebaskan diri dari belenggu pendidikan gaya kolonial. Freire menolak konsep pendidikan "gaya bank" di mana guru menyetor pengetahuan dan murid menjadi rekening pasif yang tinggal menerima transfer.

Guru, kata Freire, harus jadi fasilitator kesadaran kritis. Artinya? Ya, guru harus bikin murid melek sosial, bukan sekadar hafal RPP. Di era velocity ini, guru harus membantu murid memfilter mana konten yang sekadar sensasi, mana yang substansi. Mana yang satire, mana yang satire-satirean.

Bayangkan guru sebagai DJ (yes, Disc Jockey). Tapi bukan untuk pesta ulang tahun, melainkan pesta intelektual. Guru hari ini meremix nilai-nilai luhur dengan medium kekinian: membahas filsafat Stoikisme lewat anime, menjelaskan kapitalisme dengan studi kasus Shopee haul.

Murid tidak cukup hanya "mendengar" — mereka harus ikut "menari" dalam irama berpikir. Dan untuk itu, guru harus menjadi produser wacana, bukan tukang baca slide PowerPoint.

Kini, strategi paling relevan bagi pendidik adalah menjadi Gurutainment: perpaduan guru dan hiburan yang bukan asal lucu, tapi cerdas dan bermakna. Guru boleh bercanda, tapi tetap punya sense of mission: memupuk nalar dan nurani.

Karena jika guru tidak ikut memproduksi narasi, maka narasi akan diproduksi oleh algoritma. Dan kita tahu, algoritma tidak peduli apakah konten itu mendidik atau tidak—selama engagement-nya tinggi, ya lanjut!

Reposisi peran guru hari ini adalah soal keberanian: berani keluar dari zona nyaman pedagogi lama, masuk ke arena wacana digital yang penuh jebakan, dan menciptakan ruang-ruang kecil tempat murid bisa berpikir dan berbicara — tanpa takut salah, tanpa takut tak viral.

Karena sesungguhnya, di zaman velocity ini: siapa yang tidak memproduksi wacana, akan hidup dalam wacana yang diproduksi orang lain.

Dan tentu kita tak mau anak-anak kita hidup hanya dalam konten yang viral tapi dangkal. Maka, mari jadi guru yang bukan hanya mengajar, tapi juga menggugah — dengan humor, makna, dan keberanian berpikir.


Oleh: David Yogi P.

Referensi:

Habermas, Jürgen. The Theory of Communicative Action. Boston: Beacon Press, 1984.

Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum, 1970.

Baudrillard, Jean. Simulacra and Simulation. Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994.

Jenkins, Henry. Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York: NYU Press, 2006.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak