BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Keadilan di Bawah Bayang Kekuasaan: Dinamika Kasus Impor Gula

Penalaut.com -
Dalam negara hukum yang ideal, proses penegakan hukum seharusnya berjalan secara independen, bebas dari intervensi kekuasaan dan menjunjung tinggi asas keadilan. Namun, di Indonesia sering kali jauh dari harapan tujuan hukum. Dalam satu dekade terakhir ini kita dipertontonkan perkara hukum menyeret tokoh-tokoh berpengaruh, baik dari kalangan politikus, pengusaha, maupun pejabat publik lainnya. Sehingga sistem hukum nasional bukan hanya diuji dari sisi profesionalisme dan integritas aparat penegak hukum, tetapi juga dari kemampuannya menahan tekanan politik dan opini publik yang membentuk persepsi kelompok masyarakat.

Salah satu kasus yang mencerminkan persoalan tersebut adalah masalah impor gula yang menyeret Tom Lembong dan pengusaha Tonny Wijaya. Beberapa pakar berpendapat bahwa ini bukan perkara penyalahgunaan jabatan, melainkan bentuk diskresi kebijakan yang sah. Kebijakan ini diambil dalam konteks menjaga stabilitas pasokan dan harga gula nasional, sebuah keputusan strategis yang menjadi bagian dari tanggung jawab seorang pejabat publik. Membungkus diskresi seperti ini sebagai pelanggaran hukum justru berbahaya, karena mengaburkan batas antara tindakan administratif dan tindak pidana. Jika setiap kebijakan yang dinilai menguntungkan pihak tertentu dianggap sebagai kejahatan, maka muncul pertanyaan: apakah semua pejabat negara yang pernah dan akan membuat keputusan serupa harus diproses hukum? Tentu ini adalah masalah yang harus diperjelas agar hukum senantiasa menjadi jalan menuju kebenaran.

​Diskresi Kebijakan Berakhir di Meja Hijau

Penegakan hukum tidak boleh melupakan konteks dan urgensi kebijakan. Jika tidak, keberanian pejabat publik dalam mengambil keputusan penting bisa tergerus oleh ketakutan kriminalisasi. Dalam kasus impor gula, keputusan yang diambil melalui rapat koordinasi lintas kementerian seharusnya dilihat sebagai hasil kolektif, bukan beban satu individu. Jika diskresi kebijakan dianggap tindak pidana tanpa mempertimbangkan proses pengambilan keputusan bersama, maka akan muncul ketidakpastian hukum dalam setiap langkah administratif negara.

Diskresi adalah bagian dari wewenang pejabat publik, bukan bentuk penyimpangan. Bila tidak ada bukti adanya niat jahat atau keuntungan pribadi, pemidanaan justru akan menciptakan efek jera yang salah dan pejabat akan enggan mengambil risiko bahkan dalam keadaan mendesak, sehingga hal ini akan menimbulkan masalah besar yang bisa mengganggu stabilitas Negara.

Penegakan Hukum Dalam Bias Kekuasaan

Kasus ini menjadi sorotan besar setelah Hotman Paris Hutapea mempublikasikan risalah rapat antar kementerian yang menjadi dasar keputusan impor oleh PT PPI dan dalam sidang pun terungkap bahwa tidak ada bukti bahwa Tom Lembong menerima keuntungan pribadi. Namun, dakwaan tetap diajukan atas dugaan memperkaya pihak lain melalui kebijakan tersebut.

Pertanyaannya, mengapa hanya satu orang yang dijerat hukum? Mengapa pejabat lain yang ikut menyetujui dalam forum resmi tidak diproses? Ketika kebijakan kolektif disederhanakan menjadi tanggung jawab personal, ini menimbulkan dugaan kuat akan adanya ketimpangan atau bahkan intervensi politis dalam proses hukum. Pola seperti ini membuat hukum tampak sebagai alat seleksi kepentingan, bukan sebagai penjaga marwah keadilan.

Hukum dan Ancaman terhadap Demokrasi

Dalam sistem hukum yang ideal, seseorang tidak boleh dinyatakan bersalah tanpa bukti yang sangat kuat. Seperti ditegaskan Prof. Eddy di Mahkamah Konstitusi, dalam perkara pidana, pembuktian harus lebih terang dari cahaya (in criminalibus, probationes debent esse luce clariores). Artinya, keyakinan penuntut umum dan hakim harus didasarkan pada bukti yang benar-benar meyakinkan, karena menyangkut hak dasar seseorang. Namun dalam praktik, prinsip ini kerap diabaikan ketika perkara hukum terseret kepentingan politik. Proses hukum bisa kehilangan objektivitas, dan pembuktian menjadi longgar demi kepentingan kekuasaan. Pandangan Prof. Eddy menjadi pengingat penting bahwa keadilan hanya bisa ditegakkan jika hukum bebas dari intervensi dan dijalankan secara jujur serta transparan.

Berkaitan dengan argumentasi sebelumnya, profesor hukum asal Amerika Serikat, Lawrence Friedman, menyatakan bahwa untuk menilai apakah penegakan hukum berjalan efektif dan berhasil, diperlukan pemahaman terhadap sistem hukum yang mencakup tiga komponen utama: substansi hukum (isi atau norma hukum), struktur hukum (lembaga dan aparat penegak hukum), dan budaya hukum (pola pikir serta perilaku masyarakat terhadap hukum). Pandangan ini juga diperkuat oleh Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof. Mahfud MD, yang berpendapat bahwa secara umum, substansi hukum di Indonesia sudah cukup memadai. Namun, masih terdapat kelemahan pada aspek struktur dan budaya hukum, yang menyebabkan penegakan hukum belum mampu memberikan kepastian dan keadilan secara optimal. Sementara itu, Soerjono Soekanto, pakar di bidang sosiologi hukum, menegaskan bahwa keberadaan hukum tidak dapat dipisahkan dari dukungan masyarakat, aparat penegak hukum, serta budaya hukum yang mendukung. Tanpa ketiganya, hukum tidak akan berfungsi secara efektif.

Dari ketiga pandangan tersebut, terlihat bahwa masalah utama penegakan hukum di Indonesia bukan terletak pada aturannya, tapi pada pelaksana dan budaya hukumnya. Maka, reformasi harus mencakup perbaikan kelembagaan dan peningkatan kesadaran hukum.

Di Indonesia, politik dan hukum memiliki peran krusial dalam menentukan arah penegakan keadilan. Ketika hukum dijadikan alat untuk mengkriminalisasi lawan politik, hal tersebut bukan hanya mencederai prinsip-prinsip hukum yang adil, tetapi juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dalam konteks kasus impor gula, apabila proses hukum dijalankan tanpa transparansi dan keadilan, maka hal ini dapat meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi hukum, serta menjadi ancaman serius bagi kelangsungan demokrasi.

"Hukum merupakan jantung kemanusiaan, oleh karena itu, penggunaan kekuasaan untuk menindas oposisi adalah kejahatan yang membabibuta."


Oleh: Gufron Maswain
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak