BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Sang Pencerah dan Surat Kaleng: Kritik atas Narasi Sejarah KH. Ahmad Dahlan di Banyuwangi

“Orang Blambangan tak pernah mengenal menyerah, perang terus dan terus perang sampai ketika Mataram ditaklukan oleh Sultan Agung, permberontakan terus terjadi.”

Penalaut.com - Kutipan di atas merupakan tulisan A. Khoirul Anam dalam sebuah tulisan di NU Online yang bertajuk: Pengislaman oleh VOC (2008). Tulisan ini merupakan pencerapan Anam terhadap paparan sejarawan NU, Agus Sunyoto, di suatu acara lokakarya yang digelar tujuh belas tahun silam. Dalam artikel itu, ia menegaskan sikap resistensi Wong Blambangan ketika VOC melakukan upaya islamisasi di ujung timur Pulau Jawa itu.

Islam, di mata VOC Belanda, merupakan alat penjajahan yang ampuh. Mengapa demikian? Karena VOC tidak mengenal agama. Yang dia tahu adalah untung dan menang. Mereka datang, melihat, dan kemudian menaklukkan. Sebagaimana ungkapan Julius Caesar yang terkenal di Barat: Veni, Vidi, Vici (saya datang, saya melihat, saya menaklukkan). Oleh karena mereka (VOC) tidak mengenal agama, maka segala cara mereka lakukan untuk untung dan menang. Termasuk memperalat Muslim. Ketika mengalahkan pemberontakan di Aceh, misalnya, VOC menggunakan pasukan dari Madura yang beragama Islam.

Kita tahu, Kerajaan Blambangan adalah salah satu wilayah pemeluk agama Hindu. Proses islamisasi di Blambangan oleh beberapa pihak melalui proses yang sangat panjang, dan tidak mungkin membaca sejarah islamisasi itu menafikan aspek-aspek politis dan kebudayaan. Jika ditilik ke belakang, sejauh ini, terdapat dua jalur penggerak pengislaman Blambangan: akar rumput (masyarakat) dan elite kekuasaan (Anugrah, 2025: 59-61). Dua jalur ini juga (mirip) yang disoroti oleh Denys Lombard saat menganalisis penggerak Islam di Jawa (jaringan maritim-agraris dan kaum borjuis-pedagang) dalam Nusa Jawa: Silang Budaya Vol. II (2005: 84-148).

Proses islamisasi itu dihadapkan oleh sikap orang-orang Blambangan yang “menolak” kedatangan “agama baru”. Kasus itu bisa kita lihat dalam islamisasi yang dilakukan oleh Syekh Maulana Ishak dan VOC Belanda. Bahkan sikap resistance masyarakat Blambangan itu juga dihadapi oleh KH. Ahmad Dahlan, ketika beliau datang di Bumi Blambangan, Banyuwangi, pada tahun 1919. Tujuan KH. Ahmad Dahlan kala itu untuk mengisi pengajian yang diadakan di tengah kota Banyuwangi. Alkisah, beliau mendapatkan “perlawanan” yang cukup besar dari masyarakat Banyuwangi.

Dari kasus KH. Ahmad Dahlan itulah, kemudian saya tertarik untuk melacak lebih jauh sumber-sumber literatur yang menyebutkan cerita di atas. Sebab, sejauh ini, cerita Muhammad Darwis itu masih belum banyak diketahui dan kerap dinarasikan terlalu berlebihan oleh sebagian orang tanpa membubuhkan sumber-sumber yang jelas. Selain melacak sumber-sumber literatur yang ada, saya akan melakukan reinterpretasi (pembacaan kembali) atas sikap orang-orang Blambangan yang selama ini sering dibaca menggunakan “nalar moralis” (benar-salah atau baik-buruk).

Daftar Pembahasan

1) Kiai Ahmad Dahlan, Surat Kaleng, dan Muhammadiyah di Banyuwangi
2) Melacak Sumber Literatur: Mereka yang Membangun Narasi
3) Kerancuan Para Penutur: Sebuah Kritik atas Narasi Sejarah
4) Karakteristik Masyarakat Banyuwangi: Arigan atau Resisten?
5) Sang Pencerah di Negeri Pemberontak: Kiai Ahmad Dahlan dan Surat Kaleng

Tulisan Dendy Wahyu Anugrah dapat dibaca dan diunduh di sini: Sang Pencerah dan Surat Kaleng
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak