Pena Laut - Bilamana suatu saat kita sedang bengong, dan tiba-tiba membayangkan kelak kalau sudah punya anak, rasanya ingin sesekali menunjukkan padanya foto-foto kita di masa silam, kemudian menceritakannya dengan konyol tentang kebanggaan impulsif itu. Bapak/ibumu dulu seorang aktivis, nak!. Padahal, ya, begini-begini saja hidup kita ini. Enggak kurang, tapi kurang banget. Sesekali ngopi diselingi sambatan karena habis ketiban sial, sekali waktu juga dipenuhi syukur setelah dapat untung bukan alang-kepalang meskipun sekali dua, dan tentu pernah mengalami dikecewakan pemerintah dan pimpinan—nah, ini yang terjadi hampir setiap hari.
Yang saya pikirkan tentang PMII Banyuwangi hari ini kira-kira seperti itu. Alumninya bercerita kehebatan mereka dulu sewaktu menjadi kader. Pun kadernya juga cuma bisa bilang bagus-bagus—seperti membaca puisi Wiji Thukul yang berjudul Bagus-Bagus. Walau enggak paham, yang penting bagus-bagus. Tapi yang paling saya ingat betul adalah mereka bilang begini; "kita adalah organisasi yang besar! maka jangan goblok!" Apa bukti organisasi ini besar? Apakah karena benderanya kelebihan kain sekian meter dari organisasi lain? Atau jaringan alumninya yang besar? Atau apa?
Orang hari ini tentu tidak menyebutnya sebagai pengibulan massal, melainkan doktrinasi, katanya. Tapi saya tidak ambil pusing, sebab sudah jadi adat organisasi, barangkali. Kalau kata Mbah Mahbub, sebagian kebanyakan sebagian lagi kesedikitan. Melawan ini bukan berarti melawan status quo, tapi melawan status WhatsApp belaka. Tidak perlu ditanggapi terlalu serius.
Sejarah itu memang sangat penting. Saya mencoba berasumsi, mengapa terjadi fenomena ‘doktrinasi’ yang demikian? karena memang belum ada sejarah ‘resmi’ sepak terjang gerakan PMII Banyuwangi. Saya tanya tukang becak pun mereka enggak mungkin tahu. Wong kalau ingin masuk kepengurusan saja perlu setor curriculum vitae (daftar riwayat hidup), lah ini organisasinya malah belum punya daftar riwayat. Sayang sekali organisasi yang mengaku sudah ‘besar’ ini ternyata belum punya catatan sejarah, pantas kalau tiap kepengurusan selalu diwarnai konflik—bahasa halusnya dinamika—yang hampir serupa wujudnya. Lalu apa yang mau diceritakan selain pamer ‘pencapaian’? Membosankan sekali.
Tapi meski demikian, dengan kemantapan hati yang sangat, tetap saya lanjutkan saja kelakar ini seadanya, untuk mencoba membuktikan kebesaran organisasi yang diserukan di banyak kesempatan itu. Syukur-syukur kalau bisa, tapi kalau tidak, lebih baik saya kembalikan interpretasinya kepada para pembaca yang budiman.
Mengapa?
Duduk perkaranya begini. Memang forum-forum kaderisasi masih rutin digelar. Mapaba masih selalu membuka pintu pendaftaran tiap kali mahasiswa baru datang, PKD juga selalu eksis dengan jumlah peserta yang melimpah, PKL pun demikian. Tapi yang jadi soal, apakah semua itu memang benar-benar berdampak nyata? Pun, kalau sedang membahas rapat tahunan atau konferensi yang bikin pening itu, semangatnya menggebu sekali, seolah sedang menyiapkan strategi perang. Kalau boleh dikata, mungkin Dilan, panglima tempur itu, insecure melihat kita yang begitu antusiasnya. Bahkan sampai lupa sholat, kadang. Namun sering kali hasil diskusinya berhenti di muka. Setelah forum bubar, bubar pula itu niat pendalaman perjuangannya. Mati pula hasrat gerakannya.Secara historis, memang PMII Banyuwangi telah lahir sejak 1964, bukan usia yang muda mengingat umur dosen di kampus saya sudah banyak yang setua itu. Menurut kutipan sejarah yang ditulis Komunitas Pegon dalam akun Facebook-nya, Sahabat Untung Maksum ditunjuk menjadi ketua pertama PMII Banyuwangi, kemudian setelah satu tahun, beliau digeser oleh Sahabat Slamet Gusnadi (Komunitas Pegon, 2018). Namun karena meletusnya untran-untran politik pemilihan bupati yang melibatkan PCNU Banyuwangi dengan PKI kala itu, PMII Banyuwangi mengalami kekosongan kepengurusan sejak 1966-1990 (Az., 2024). Konon, untran-untran itu sudah diangkat ke dalam layar lebar. Bukan main, memang. Mungkin itu penggalan di luar sejarah—yang masih berkorelasi dengan—PMII Banyuwangi yang bisa kita nikmati, dan hanya bisa diambil pelajarannya saja (Merdeka.com, 2024).
Kekosongan ini bukan karena ketuanya enggak becus ngurus organisasi. Apalagi karena molor konferensi, saya yakin bukan sebab demikian. Melainkan karena dominasi lawan ideologinya, organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan PKI, yakni CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang agresif terhadap organisasi mahasiswa berbasis agama dalam konstelasi politik kampus, hingga mengakibatkan PMII terpaksa mengubah haluan geraknya menjadi underground, dan mengalami seperti Eropa pada masa dark age, PMII kehilangan sejarah gerakannya selama kurang lebih 24 tahun itu (Komunitas Pegon, 2018).
Pun nasib baik masih menimpa kader PMII Banyuwangi sekarang, jika mau menelusuri sepak terjang organisasinya di banyak laporan media tentang aksi-reaksi PMII Banyuwangi dalam kancah politik, pengawalan kebijakan, dan pembelaan terhadap—yang akrab ditelinga kita—kaum mustadh’afin. Pastilah sudah banyak menemukannya. Sekalipun berita ini bisa saja pesanan, tapi yang jelas ada produknya. Jika tidak ada produknya, itu bukan pesanan namanya, orang sekarang menyebutnya sebagai strategi politik media. Ada-ada saja, memang. Sudah macam janji 19 juta lapangan kerja saja.
Histori ini kalau kita hayati, pastilah membawa kepada pemahaman bagaimana seharusnya menjadi kader yang memiliki integritas tinggi. Tidak gampang goyah, pragmatis, oportunis. Lalu mewariskan nilai-nilai baik yang harus dituangkan dalam rumusan-rumusan kaderisasi. Bukan hanya ikut kurikulum belaka tanpa adanya kontekstualisasi kultur.
Lantas, Ini Bagian Pentingnya...
Yang saya pahami dari Nietzche membahas genealogi dalam On the Genealogy of Morals (1886) hanya sebatas definisinya saja. Tapi Nietzche tetaplah Nietzche, ia menulis dengan gaya aforisme yang bikin mumet kepala, dan anehnya gaya bahasanya itu membawa kita sampai pada substansi. Walaupun saya baru dapat memahami genealogi melalui Foucault setelah membaca proposal tesis sahabat saya—Dendy Wahyu, bahwa genealogi merupakan metode penelanjangan sejarah sekelompok manusia untuk menemukan ide yang tumbuh subur di dalam kelompok tersebut. Artinya, genealogi menyingkap budaya, ideologi, dan habit yang terjadi dalam suatu kelompok dan rentan waktu tertentu. Perlu saya klarifikasi juga agar sahabat saya yang suka marah-marah itu tidak tersinggung, bahwa saya menulis ini juga akibat baca sampai habis proposal tesisnya. Terima kasih banyak untuk itu.Jadi begini saja singkatnya, genealogi dengan sejarah itu berhubungan, walaupun proyek kerja mereka berbeda-beda ranahnya. Genealogi bekerja di wilayah analisis ide, sedangkan sejarah hanya membahas peristiwa. Dalam konteks PMII Banyuwangi, yang saya paparkan di atas adalah sejarahnya, kisah-kisahnya. Sedangkan di bagian ini, saya mencoba menelaah seadanya kemampuan saya, tentang ide-ide dalam konsepsi mental PMII Banyuwangi berdasarkan data-data sejarah yang tidak seberapa itu.
Pertama, kekosongan gerakan akibat perbedaan ideologi dengan CGMI. Kita tahu bersama-sama bahwa PMII itu anak ideologisnya NU. Mau dilihat dari segi mana pun, pasti iya. Labudda. Tidak bisa tidak. Meskipun sebagai anak nakal, dia keluar rumah dan bikin rumah sendiri. Ini membuktikan kemandirian PMII sebagai organisasi yang isinya mahasiswa, independensi—kalau kata orang pintar.
Pun PMII Banyuwangi yang waktu itu masih baru lahir, tiba-tiba dapat saingan yang sudah kuat kakinya. Ibarat perang bantal, sudah jelas pasti akan kalah dan terjungkal pingkal hanya dengan satu sampai dua pukulan saja. Namun persaingan ideologi dengan CGMI itu membuktikan bahwa PMII Banyuwangi sebagai anak, masih memegang erat keyakinan orang tuanya secara ideologis. Tidak oportunis. Sehingga memilih bermain senyap dulu selama 24 tahun, daripada memilih berkoalisi dengan lawan politiknya.
Tapi sayang seribu sayang. Kita temui sekarang PMII Banyuwangi hobi sekali berjabat tangan dengan siapa pun. Alih-alih mengambil jalur partisipatif, saya justru menduga mereka sudah kena mobilisasi. Pengkondisian. Kalau mau dibela dengan dalih 'pilihan politik', silakan saja. Bebas. Tapi apa iya? Kalau pilihan politik berbasis ideologi, saya rasa tidak akan semudah itu kalau memang benar-benar independen atau interdependen. Dan kalau PMII Banyuwangi sekarang pulang ke pangkuan PCNU Banyuwangi lagi secara struktural, siapa yang tahu?
Kedua, gerakan sosial PMII Banyuwangi bisa kita telusuri di banyak laporan dari media daring, salah satunya yang paling menarik adalah PMII Banyuwangi pernah melancarkan aksi protes tambang di gunung Tumpang Pitu. Tapi sayang sekali, berita ini telah dihapus dan tidak dapat diakses. Justru karena itu, fakta ini menarik. Keberpihakan PMII secara ideal seharusnya dapat kita lacak dari relasi uniknya dengan NU dan negara, bahwa secara genealogis PMII merupakan hasil dari keinginan NU untuk memiliki kaum intelektual muda untuk melawan kepemimpinan nasional maupun regional daerah. Tapi lagi-lagi ini relasi kuasa struktural, siapa yang mampu mengendalikan arah gerak organisasi kalau bukan pejabat-pejabatnya dan dedengkot-dedengkotnya? Bagaimana kalau mulai dari PCNU Banyuwangi telah memilih jalan mobilisasi daripada partisipasi-kritis, dan diikuti oleh anak nakalnya yang sudah jadi anak baik sekarang? Wallahua’lam.
Ketiga, sebagai dasar api gerakan, lantas bagaimana jalan panjang epistemologi PMII Banyuwangi? Sudah saya beberkan di awal bahwa akibat dari sejarah yang belum terstruktur, mengakibatkan kerangka epistemologi PMII Banyuwangi akhirnya masih buram. Tercecer, dan berjalan sendiri-sendiri sesuai keinginan kepengurusan tertentu saja. Kekurangan ini menghasilkan relasi kekuasaan yang terlalu kuat. Kalau boleh dikata, setiap kekuasaan baru akan melahirkan kebenaran baru dan nilai-nilai baru. Pantas saja riweh-nya hanya ketika konferensi atau rapat tahunan. Sebab memang belum memiliki panduan khusus untuk membentuk suatu aturan, sistem, dan prosedur kerja organisasi. Padahal ketiga syarat wajib dalam membentuk wacana itu berperan penting dalam melahirkan maupun mengontrol arah gerak organisasi. Sehingga apabila suatu kepengurusan dengan sekonyong-konyong melakukan tindakan yang senewen, siapa pun bisa mengontrolnya sesuka hati. Tidak perlu menunggu arahan ‘senior’.
Anugrah, D. W. (2025, April 23). Pena Laut Media.
Diambil kembali dari www.penalaut.com:
https://www.penalaut.com/2025/04/gerakan-mahasiswa-ujung-timur-jawa-apa.html
Az., F. S. (2024, Maret 31). Akun Instagram
@multiperspektif. Diambil kembali dari www.instagram.com:
https://www.instagram.com/p/C5KZ3fbJZrN/?img_index=1
Komunitas Pegon. (2018, April 17). Laman Facebook Komunitas Pegon. Diambil kembali dari Facebook.com: https://www.facebook.com/Komunitas.Pegon/photos/fragmen-pmii-banyuwangi-masa-masa-awalhari-ini-merupakan-peringatan-ke-58-hari-l/1804209549885911/?locale=ar_AR
Merdeka.com. (2024, Februari 06). Merdeka.
Diambil kembali dari Merdeka.com:
https://www.merdeka.com/jatim/diangkat-jadi-film-layar-lebar-begini-potret-kelam-perebutan-kekuasaan-di-banyuwangi-tahun-1965-85206-mvk.html#:~:text=Terpilihnya%20Suwarno%20Kanapi%20sebagai%20Bupati%20Banyuwangi%20yang%20diusung%20PKI%20membuat%20lawan%2D
Posting Komentar