BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Waringin Sungsang Jawa: Kritik “Sinisme” Orientalis dan Meluruskan Ajaran Sunan Kalijaga

Penalaut.com
- Selama ini sumber literatur modern yang mengulas tentang Islam Jawa masih disajikan melalui “lanskap” Barat. Paradigma orientalis masih menjalar dalam pengetahuan sejarah jati diri bangsa kita, terutama mengenai Islam dan Jawa. Jika kita membaca karya-karya antropolog Barat (orientalis), seperti Clifford Geertz dan Paul Stange, tentang Islam Jawa, maka yang kita temukan justru “sinisme” dan polarisasi antara “Jawa” dan “Islam”. Seolah-olah, menjadi Jawa dan menjadi Muslim adalah dua hal yang saling bertabrakan.

Dalam Islam Observed (Chicago Press, 1971: 29), misalnya, Geertz memandang keislaman Sunan Kalijaga hanyalah sebuah “keyakinan publik yang ditugaskan kepadanya”. Kemudian, cerita pertemuan antara Raden Mas Said (Sunan Kalijaga) dengan Sunan Bonang, menurut interpretasi Geertz, adalah awal mula R.M Said masuk Islam (mualaf).

Pendapat itu kemudian dikutip oleh Paul Stange dalam bukunya, Kejawen Modern: Hakikat dalam Penghayatan Sumarah (LKiS, 2008). Menurut kesimpulan Stange, setelah mengutip pendapat Geertz, bahwa keislaman Sunan Kalijaga lebih pada “lapisan luar ketimbang di dalam batin kehidupannya” (Stange, 2008: 5).

Pendapat dua antroplog Barat mengenai Sunan Kalijaga di atas oleh Nur Khalik Ridwan disebut “sinisme orientalis”. Sebagai ikhtiar untuk “melawan” interpretasi kolonial (Barat) terhadap khazanah Islam Jawa itu, Nur Khalik Ridwan menulis buku yang berjudul Waringin Sungsang Jawa: Sunan Kalijaga dan Para Muridnya (IRCiSoD, 2025). 

Dalam buku ini, ia memberikan kritik kepada para orientalis yang mengkaji masyarakat Jawa, khususnya Islam, dengan pendekatan sinkretik. Sebab, pendekatan sinkretisme ini justru menciptakan jurang pemisah antara Islam dan Jawa, sehingga kesimpulan yang dihasilkan kurang tepat—untuk tidak mengatakan “salah”.

Dalam rangka membantah “sinisme orientalis” itu, Nur Khalik Ridwan (selanjutnya ditulis Nur Khalik) bertolak dari dua pertanyaan dasar: pertama, apakah benar keislaman Sunan Kalijaga hanya berubah pada aspek “cangkang” (luar) saja? kedua, apakah pertemuan Sunan Kalijaga dengan Sunan Bonang dianggap sebagai awal mula Sunan Kalijaga masuk Islam?

Dengan merujuk sumber-sumber lokal, Nur Khalik membuktikan bahwa keislaman Sunan Kalijaga ialah lahir dan batin.

“Sumber-sumber babad menyebutkan, bahwa revolusi batiniah yang terjadi dalam Sunan Kalijaga, pertama setelah bertemu dengan Sunan Bonang, kemudian Sunan Gunung Jati, Maulana Maghribi, dan Nabi Khidir. Beberapa babad yang membicarakan hal ini di antaranya: Babad Segaluh (versi jilid 1-3), Serat Suluk Walisana, Suluk Linglung, beberapa babad yang lain, dan karya-karya yang dinisbahkan kepada Sunan Kalijaga sendiri yang bercerita tentang Nabi Khidir dan Sunan Bonang” (hal. 7).

Selain itu, berkenaan dengan pendapat pemualafan (masuk Islam) Sunan Kalijaga kepada Sunan Bonang, Nur Khalik membantah hal itu. Menurutnya, pertemuan Sunan Kalijaga dengan Sunan Bonang lebih pada fase di mana Sunan Kalijaga menerima ajaran-ajaran makrifat tasawuf dari Sunan Bonang. Dan secara tegas, Nur Khalik menyatakan:

“Sunan Kalijaga adalah anak dari Penguasa Majapahit di Tuban, yang memang seorang muslim, dan karenanya sejak kecil (Sunan Kalijaga) sudah muslim, meskipun dalam perjalanan hidupnya mengalami kejutan-kejutan perubahan spiritual” (hal. 10).

Hal tersebut merupakan sanggahan (kritik) Nur Khalik terhadap pandangan sinisme kaum orientalis yang mendekati Islam Jawa dengan pendekatan sinkretik. Buku Waringin Sungsang Jawa ini adalah kajian Nur Khalik yang berusaha mendekati Islam Jawa dengan pendekatan pribumisasi Islam. Fokus kajian buku ini lebih kepada ilmu sufistik yang dikembangkan Sunan Kalijaga (dan para muridnya) yang dikenal dengan “Waringin Sungsang”.

Mafhum bagi kita, selama ini, Waringin Sungsang sering kali dikaitkan atau dipahami oleh sebagian masyarakat kita sebagai sebuah ajian mistis atau kesaktian. Ilmu ajian yang bisa melumpuhkan lawan tanpa perlu kontak fisik dengan cara mengaktifkan “energi” spiritual dalam tubuh. Bahkan, ajian Waringin Sungsang ini dapat dipelajari dengan syarat-syarat tertentu.

Oleh karena itu, Nur Khalik juga berusaha untuk meluruskan stigma semacam itu dengan mengkaji secara komprehensif dan kritis warisan Sunan Kaljaga itu melalui pembacaan terhadap sumber-sumber lokal. Dalam buku ini, Nur Khalik mengupas tentang ilmu Waringin Sungsang yang dikembangkan lebih lanjut di tengah masyarakat Jawa oleh murid-murid Sunan Kalijaga. Untuk memahami ngelmu ini, Nur Khalik menyajikan dua inti ilmu Sunan Kalijaga yang harus dimiliki manusia Jawa.

Pertama, Sunan Kalijaga mengajarkan ngelmu kaweruh yang menjadi aspek penting dalam pembentukan masyarakat Jawa, salah satunya tentang Dzat yang Maha Kuasa. Melalui kesadaran rahsa (rahasia) di dalam diri manusia Jawa, Dzat yang Maha Kuasa itu dapat dirasakan kehadirannya sebagai Rahsa Jati (Allah). 

Kemudian, metode untuk mempermudah sampai pada kesadaran Rahsa Jati itu dengan mempelajari ngelmu tarek (cara yang dilakukan oleh kaum tarekat). Metode ini juga dipahami sebagai “ndadar tekad ing kauripan” (tekad di dalam mengarungi kehidupan), yang memiliki arti tetap menjalani kehidupan sebagaimana manusia pada umumnya, namun perjalanan yang dilakukan juga dengan mengolah nafas, anfas, dan nufus (juga tanafas) sebagai cermin dari ruh manusia (hal. 57).

Kedua, ajaran yang disampaikan Sunan Kalijaga juga berkenaan tentang Baitul Makmur. Menurut para sufi, Baitul Makmur ini memiliki dua pengertian: (1) sebagai tempat yang dimakmurkan oleh para malaikat yang terletak di langit terdekat menghadap Ka’bah di bumi, dan sebagian makna di langit keempat atau ketujuh; (2) sebagai hati (qalbu) dan kelembutan rahasia (sirr) para arifin yang dipenuhi rahasia-rahasia hubungan cinta dan kedekatakan kepada Allah Swt (hal. 60). 

Dengan Baitul Makmur inilah, manusia Jawa dapat mengenal tajalli Dzat-Nya, dan kehidupannya akan dipenuhi dengan berbagai kebaikan dan pemakmuran yang mencerminkan akhlak cinta serta kedekatan kepada-Nya.

Menurut Nur Khalik dalam buku ini, dua hal di atas merupakan inti dari ajaran Sunan Kalijaga yang menjadi laku dari perjalanan batin dan jasmani manusia Jawa. Alhasil, warisan ilmu Sunan Kalijaga ini dikembangkan oleh sebagian muridnya yang disebut dengan Waringin Sungsang.

Serat Centhini merupakan sumber utama yang menyebut dengan istilah tersebut. Secara ilustratif, Waringin Sungsang ini digambarkan sebagai sebuah “pohon beringin yang akarnya di atas dan buah-daun-rantingnya di bumi”. Sebagaimana interpretasi Nur Khalik, maksud dari ilmu ini ialah agar masyarakat Jawa tetap “terhubung” kepada Dzat yang Maha Hidup, namun tetap mengamalkan ilmu itu untuk memperbaiki diri dan peradaban Jawa dalam konteks sosial-kemasyarakatan.

Buku ini menarik dibaca dalam konteks kekinian (Indonesia). Selain untuk mengatasi krisis spiritual masyarakat modern, juga dapat menjadi tawaran konseptual dalam rangka memperbaiki situasi dan kondisi bangsa kita akhir-akhir ini. Waringin Sungsang Jawa, adalah khazanah leluhur kita yang nyaris dilupakan. Selain itu, apa yang dikupas dalam buku ini bisa dianggap sebagai ikhtiar dekolonialisasi atas interpretasi sejarah orientalis yang mengaburkan “jati diri” kita sebagai bangsa yang berdaulat. Atau, dengan ungkapan lain, spirit pembacaan yang dilakukan Nur Khalik ini lebih dekat dengan “poskolonial”.

Dengan memahami Waringin Sungsang, kita dapat menjadi “manusia Indonesia” yang kokoh secara spiritual, moral, dan sosial. Kita tidak hanya didorong untuk memperbaiki pranata sosial dan politik, namun juga terus meningkatkan kualitas diri dengan cara “menghadirkan” Tuhan dalam hati dan setiap derap langkah kita. Bisa jadi, berbagai persoalan yang belakangan terjadi di Tanah Air, disebabkan oleh kesombongan kita: semua bisa diatasi oleh kecanggihan teknologi buatan manusia. Padahal, kita hanyalah hamba yang lemah dan sama sekali tidak memiliki kuasa atas jagad raya ini.

Sunan Kalijaga melalui ajaran Waringin Sungsang mengajarkan kepada kita, bahwa untuk memperbaiki diri dan peradaban bangsa, hati kita harus senantiasa nyambung kepada Dzat Yang Maha Hidup (Tuhan).

Jika seluruh manusia Indonesia, terutama pemimpin, mengamalkan ajaran Sunan Kalijaga ini, maka kita akan benar-benar menyongsong “Indonesia Emas”. Sebab, “akar” dan “buah-daun-ranting” kita kokoh. Alhasil, semua persoalan yang kita hadapi dan segala krisis yang sedang terjadi saat ini, mampu kita atasi.***


Oleh: Dendy Wahyu Anugrah

Spesifikasi Buku:

Judul:
Waringin Sungsang Jawa: Sunan Kalijaga dan Para Muridnya
Penulis: Nur Khalik Ridwan
Penerbit: IRCiSoD
Cetakan: I, Februari 2025
Tebal: 332 halaman
ISBN: 978-623-8108-98-5
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak