BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Wayang dan Krisis Identitas Budaya Pada Generasi -Z Muda Indonesia

Penalaut.com -
Kebudayaan merupakan simbol varisan dan makna hidup. Seperti yang ditulis oleh, Prof. Dr. Alo Liliweri (2019: 8), bahwa budaya merupakan wujud dari seluruh kompleks pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat, dan kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan semangat bangsa indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal.

Salah satu Budaya lokal yang ada sampai saat ini adalah Wayang seni pertunjukkan tradisional yang telah ada sejak zaman dahulu. Pada Tahun 2003 UNESCO yang telah menetapkan wayang kulit sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity pada tahun 200 — sebuah pengakuan dunia atas kekayaan budaya indonesia.

Wayang Kulit bukan hanya suatu tontonan saja. Ia sarat akan nilai-nilai filosofi, spiritualitas, moral, dan etika. Dibalik setiap karakter atau lakon pada wayang, menggambarkan kisah perjuangan manusia, konflik batin dan pencarian kebenaran. Nilai-nilai ini menjadi tombak simbol cerminan kehidupan secara nyata disegala zaman. Dengan inilah membuat wayang kulit menjadi taburan penting sebagai bentuk simbol kesatuan dan keberagaman, menggabungkan unsur-unsur universal dengan karakteristik lokal secara unik.

Sayangnya perkembangan zaman yang serba modern saat ini pada Era Globalisasi membuat budaya wayang kulit kian terabaikan berdasarkan survei lembaga kebudayaan Nusantara 2024. Tercatat hanya 35 % anak muda dari kalangan gen z yang memahami budaya wayang kulit dan lebih dari 60 % tertarik pada versi modern daripada budaya tradisional (seperti remix musik atau konten gaya hidup serba modern).

Serba-serbi masalah tersebut memberikan pengaruh terhadap budaya lokal, yang bisa berujung pada kerisis kecintaan pada budayanya sendiri, sehingga akan kehilangan identitas nya sendiri, dilenyapkan oleh perkembangan zaman dan mengedepankan gaya hidup mereka, kesenian daerah sering kali dianggap tidak penting, dan tidak sesuai dengan selera mereka. Hal ini akan menimbulkan sikap Acuh-Tak acuh atau tidak peduli. Faktor lingkungan juga memiliki pengaruh besar terhadap Generasi Z yang hidup mereka serba modern dan jarang ikut serta atau bersinggungan dengan dunia kesenian daerah . Kehidupan urban yang sibuk membuat mereka lebih fokus terhadap budaya yang serba populer.

Faktor lain berupa Kurangnya Dukungan dan Publikasi. Rendahnya sorotan pada kesenian budaya wayang kulit, membuat budaya wayang kulit tidak diberikan dukungan secara optimal, maka budaya ini berasa asing dan tidak populer di negeri indonesia sendiri, perihal ini bisa disebabkan karena ketidakcukupan dukungan dari pemerintah, dalam memperomosikan budaya lokal seperti wayang kulit melalui platform digital, pengadaan pelatihan, dana yang tidak cukup, problem semacam ini menjadi tantangan berat. Sehingga wayang kulit akan menjadi tidak relevan atau tidak populer kehilangan daya pikatnya.

Lantas bagaimana untuk mengatasi kerisis identitas budaya pada kalangan Generasi Z Indonesia pada saat ini, langkah ini membutuhkan secara kolektif dan melibatkan berbagai pihak. Terutama Pendidikan, khususnya pendidikan islam, harus berupaya untuk memberikan ruang dan integrasi pada proses pembelajaran yaitu dengan menggabungkan budaya lokal dan pendidikan islam, khusunya wayang kulit, agar siswa bisa menanamkan nilai-nilai spiritual, moral, akhlak, budi dan luhur melalui penerapan di sistem pendidikan, upaya ini bisa memberikan langkah secara solutif agar budaya wayang kulit dapat digemari dan dilestarikan.

Selain itu konten wayang kulit dalam bentuk animasi, podcast atau video pendek dapat membuka peluang besar agar dapat menjangkau remaja melalui platform digital (media sosial), tidak kalah penting juga peranan keluarga penting, keluarga menjadi jembatan utama dalam hal memberikan edukasi (pemahaman) agar anak dapat mencintai budaya sejak usia dini dengan landasan ini anak tidak akan kehilangan ideologisnya terhadap budaya sendiri. Dengan begitu budaya bukan hanya di kenang tetapi dihidupkan kembali.

Wayang kulit bukan sekadar seni, tetapi memiliki nilai filosofis dan jati diri bangsa. Jika generasi z muda terus melalaikan (abai), maka dampak besar kita akan kehilangan akar nilai dan karakter. Mencintai budaya bukan berarti anti-modern, tetapi justru itu fondasi untuk tetap teguh di tengah arus global. Wayang harus dihidupkan kembali—bukan untuk masa lalu, tapi demi masa depan.


Oleh: Rafi Pradipa (Magister Manajemen Pendidikan Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak