BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Keadilan di Bawah Bayang Kekuasaan: Refleksi terhadap Abolisi dan Amnesti

Penalaut.com
- Keputusan Presiden untuk memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto mempertontonkan semakin kaburnya batas antara hukum dan kekuasaan. Dua tindakan yang secara hukum sah ini justru membuka ruang tafsir yang jauh lebih kompleks dalam ranah etika dan politik. Di tengah lemahnya institusi penegak hukum dan memburuknya integritas demokrasi, keputusan ini seolah menegaskan bahwa hukum tak lagi berdiri tegak sebagai penengah yang netral, melainkan lentur mengikuti arah angin kekuasaan.

Abolisi dan amnesti memang dapat dilihat sebagai bentuk koreksi terhadap ketimpangan atau potensi kriminalisasi. Namun, ketika dua tindakan tersebut diberikan dalam konteks politik yang sensitif, sulit untuk tidak mencurigai adanya kompromi demi stabilitas kekuasaan atau konsolidasi elite. Alih-alih memulihkan keadilan secara substansial, kebijakan ini justru memperlihatkan wajah hukum yang politis, bukan dalam arti berpihak pada rakyat, tetapi berpihak pada kebutuhan dan kepentingan kekuasaan itu sendiri. Di sinilah kita menyaksikan paradoks, bahwa hukum digunakan untuk memperbaiki ketidakadilan, tapi sekaligus berpotensi mengabaikan prinsip keadilan itu sendiri.

Abolisi Tom Lembong: Cermin Retak Wajah Peradilan

Pemberian abolisi kepada Tom Lembong menjadi semacam pengakuan terbuka bahwa proses hukum terhadapnya mengandung cacat serius, baik secara prosedural maupun substansial. Jaksa dan hakim dalam perkara ini memaksakan pemidanaan tanpa pembuktian mens rea, atau niat jahat, yang menjadi syarat mutlak dalam hukum pidana. Dengan diabaikannya asas geen straf zonder schuld (tidak ada hukuman tanpa kesalahan), maka hukum telah keluar dari rel keadilan yang seharusnya dijaga.

Lebih memprihatinkan, dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa hal yang memberatkan bagi Lembong adalah karena ia terkesan lebih mengedepankan ekonomi kapitalis dibanding sistem demokrasi dan ekonomi Pancasila. Ini bukan hanya tidak relevan secara hukum, tapi juga membingungkan dan kontraproduktif. Sistem hukum pidana tidak pernah dibangun untuk menghukum pandangan ekonomi seseorang, selama tidak melanggar hukum yang berlaku. Menggunakan penilaian ideologis sebagai dasar pemberatan hukuman adalah bentuk penyalahgunaan wewenang yudisial, yang mengancam kebebasan berpikir dan kebebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi.

Dalam sistem hukum yang ideal, seseorang tidak boleh dinyatakan bersalah tanpa bukti yang sangat kuat. Seperti ditegaskan oleh Prof. Eddy di Mahkamah Konstitusi, bahwa dalam perkara pidana pembuktian harus lebih terang dari cahaya (in criminalibus, probationes debent esse luce clariores). Artinya, keyakinan hakim dan jaksa harus bersandar pada bukti yang meyakinkan, bukan pada opini ideologis, asumsi, atau preferensi politik. Ketika hal ini diabaikan, proses hukum kehilangan objektivitas, dan keadilan berubah menjadi instrumen pembalasan atau pelabelan.

Oleh karena itu, jaksa dan hakim dalam perkara ini patut diperiksa, tidak hanya untuk mengoreksi kasus Lembong, tapi juga sebagai langkah penting dalam memulihkan integritas dan profesionalitas lembaga peradilan.

Amnesti Hasto Kristiyanto: Wajah Buram Keadilan

Berbeda dari abolisi Tom Lembong yang merupakan koreksi terhadap ketidakadilan, amnesti kepada Hasto Kristiyanto justru menjadi simbol kompromi kekuasaan atas pelanggaran serius terhadap prinsip demokrasi. Waktu pemberian amnesti yang berdekatan dengan pernyataan dukungan dari partai PDIP kepada Presiden Prabowo, hal ini menimbulkan spekulasi kuat mengenai adanya muatan politis.

Keputusan tersebut juga memicu normalisasi pembelaan terhadap pelanggar hukum lain, termasuk koruptor. Hal ini terlihat jelas ada beberapa narasi pembenaran dan normalisasi terhadap kejahatan luar biasa (extraordinary crime) di media sosial seperti Facebook maupun media lainnya. Ini jelas mencederai upaya jangka panjang dalam membangun sistem hukum yang tegas, konsisten, dan bebas dari tekanan kekuasaan sebagaimana yang disampaikan mantan penyidik KPK, Novel Baswedan.

​Hukum dalam Pusaran Kekuasaan

Dua kebijakan ini memperlihatkan betapa penegakan hukum di Indonesia sedang mengalami krisis arah dan otoritas moral. Dalam satu sisi, Presiden harus turun tangan untuk memperbaiki kerusakan dalam sistem hukum melalui abolisi dan sisi lainnya, adanya dugaan bahwa Presiden menggunakan kewenangannya untuk memberi pengampunan kepada politisi yang kini partainya kembali mendukung pemerintahan presiden.

Berkaitan dengan argumentasi sebelumnya, profesor hukum asal Amerika Serikat, Lawrence Friedman, menyatakan bahwa untuk menilai apakah penegakan hukum berjalan efektif dan berhasil maka diperlukan pemahaman terhadap sistem hukum yang mencakup tiga komponen utama, diantaranya: substansi hukum (isi atau norma hukum), struktur hukum (lembaga dan aparat penegak hukum), dan budaya hukum (pola pikir serta perilaku masyarakat terhadap hukum). Pandangan ini juga diperkuat oleh Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof. Mahfud MD, yang berpendapat bahwa secara umum, substansi hukum di Indonesia sudah cukup memadai. Namun, masih terdapat kelemahan pada aspek struktur dan budaya hukum, yang menyebabkan penegakan hukum belum mampu memberikan kepastian dan keadilan secara optimal.

Sementara itu, Soerjono Soekanto, pakar di bidang sosiologi hukum, menegaskan bahwa keberadaan hukum tidak dapat dipisahkan dari dukungan masyarakat, aparat penegak hukum, serta budaya hukum yang mendukung. Tanpa ketiganya, hukum tidak akan berfungsi secara efektif.

Dalam kasus Lembong dan Hasto, persoalan utama bukan terletak pada isi atau aturan hukumnya, melainkan pada siapa yang menjalankan dan bagaimana penegakannya dilakukan. Pelaksana hukum yang tidak berintegritas serta budaya hukum yang permisif menjadi akar dari lemahnya keadilan. Ini menunjukkan bahwa tantangan terbesar bangsa bukan hanya menyusun aturan yang baik, tetapi membangun sistem hukum yang dijalankan oleh aparat yang jujur, adil, dan bebas dari pengaruh kekuasaan. Untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, kita memerlukan sistem hukum yang tidak hanya kuat secara formal, tapi juga dihormati dan dipercaya publik karena dilaksanakan secara konsisten dan bermartabat.


Oleh: Gufron Maswain
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak