Banyak orang mungkin akan menuduh pilihanku sebagai bentuk pengabaian, bahkan dianggap tidak nasionalis. Tetapi bagiku, nasionalisme bukan sekadar berdiri tegak mendengar pidato atau menyanyikan lagu kebangsaan sekali setahun.
Nasionalisme adalah tentang keberanian melihat kenyataan pahit bangsa ini, meski itu menyakitkan
Dan kenyataan itu jelas: setelah delapan dekade lebih merdeka, kemerdekaan itu belum benar-benar dirasakan oleh semua anak negeri.
Yang benar-benar “merdeka” hanyalah mereka yang berada di lingkaran elite. Mereka bisa bebas menikmati kekayaan negeri ini, bebas melanggengkan kekuasaan, bebas dari himpitan ekonomi yang mencekik rakyat kecil. Sementara petani di sawah masih dihargai murah jerih payahnya, buruh masih diperas tenaganya dengan upah minim, nelayan masih berjuang melawan tengkulak, dan mahasiswa masih harus berhadapan dengan biaya pendidikan yang kian melangit.
Setiap 17 Agustus, kita diingatkan tentang pahlawan yang mengorbankan jiwa dan raga demi sebuah kemerdekaan. Tapi mari jujur: bukankah penghianatan terbesar terhadap mereka adalah ketika kemerdekaan itu diperdagangkan oleh segelintir orang? Korupsi yang merajalela, hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, politik yang hanya melayani kepentingan kelompok tertentu—semua itu adalah bentuk penjajahan baru.
Yang benar-benar “merdeka” hanyalah mereka yang berada di lingkaran elite. Mereka bisa bebas menikmati kekayaan negeri ini, bebas melanggengkan kekuasaan, bebas dari himpitan ekonomi yang mencekik rakyat kecil. Sementara petani di sawah masih dihargai murah jerih payahnya, buruh masih diperas tenaganya dengan upah minim, nelayan masih berjuang melawan tengkulak, dan mahasiswa masih harus berhadapan dengan biaya pendidikan yang kian melangit.
Setiap 17 Agustus, kita diingatkan tentang pahlawan yang mengorbankan jiwa dan raga demi sebuah kemerdekaan. Tapi mari jujur: bukankah penghianatan terbesar terhadap mereka adalah ketika kemerdekaan itu diperdagangkan oleh segelintir orang? Korupsi yang merajalela, hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, politik yang hanya melayani kepentingan kelompok tertentu—semua itu adalah bentuk penjajahan baru.
Kita memang sudah tidak dijajah oleh bangsa asing, tetapi kita masih terjajah oleh kerakusan bangsa sendiriDi sawah, aku merenung. Padi-padi yang tumbuh itu adalah simbol kemandirian, ketekunan, dan kehidupan rakyat. Sawah adalah sumber pangan, sumber kehidupan, bahkan sumber peradaban. Ironisnya, para petani yang menjaga sawah justru menjadi kelompok paling terpinggirkan. Upacara boleh saja megah, tetapi tanpa menghargai keringat petani, apa arti kemerdekaan? Tanpa keadilan sosial yang nyata, apa arti pekik “merdeka”?
Aku tidak menyesal memilih sawah daripada upacara. Karena bagiku, sawah lebih jujur daripada pidato para elit. Di sawah, aku melihat kerja keras yang nyata, bukan janji kosong. Di sawah, aku melihat masa depan bangsa ini masih mungkin tumbuh, meski terus ditekan oleh kebijakan yang seringkali lebih memihak kepentingan pemodal daripada rakyat jelata.
Kemerdekaan bukan seremonial tahunan. Ia adalah janji yang seharusnya ditepati setiap hari: janji keadilan, janji kesejahteraan, janji kebebasan yang bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia
Selama janji itu masih dikhianati, selama rakyat kecil masih dibiarkan terjajah oleh ketimpangan, maka bagiku, merdeka hanyalah kata kosong.
Dan kemarin, ketika bangsa ini berbaris di lapangan upacara, aku berdiri di tengah sawah, menunduk di atas tanah, dan di sanalah aku justru merasakan makna merdeka yang sesungguhnya: kesadaran bahwa perjuangan ini belum selesai.
Dan kemarin, ketika bangsa ini berbaris di lapangan upacara, aku berdiri di tengah sawah, menunduk di atas tanah, dan di sanalah aku justru merasakan makna merdeka yang sesungguhnya: kesadaran bahwa perjuangan ini belum selesai.
Oleh: Lalu Muhammad Salikurrahman
Posting Komentar