Penalaut.com - Sebagai organisasi, PMII akan selalu berada pada situasi yang rumit dan rentan terhadap “keretakan” yang serius. Pelbagai masalah muncul di dua jalur: struktural dan kultural. Kedua jalur ini memiliki masalah masing-masing, dan tentu memiliki perbedaan “metode” penyelesaian. Sederhananya, di dalam wadah PMII, kita selalu dihadapkan seabrek masalah. Itulah yang acap kali kita sebut “dinamika”.
Namun,
tidak semua masalah di PMII itu ujug-ujug datang “tanpa diundang”.
Selama ini, dinamika dalam tubuh PMII juga sering disebabkan oleh tingkah polah
segelintir kader. Mereka memang sengaja menciptakan masalah untuk kepentingan
pribadi atau kelompok semata. Atau, dengan bahasa lain, mereka “sengaja” ngobrak-ngabrik
PMII demi kepuasan sesaat. Fenomena semacam ini jelas mencederai nilai dan
visi-misi PMII. Sebab, secara historis, PMII digerakkan oleh “idealisme yang
berorientasi pada situasi yang selalu menghendaki adanya perubahan ke arah
perbaikan bangsa, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, Pancasila, dan
UUD 1945” (Alfas, 2015: 6).
Mafhum
bagi kita, PMII “hadir” dalam sejarah Tanah Air sejak era Orde Lama, Orde Baru,
Reformasi, hingga saat ini. Sudah barang tentu ia, sebagai organisasi
mahasiswa, telah menikmati “asam-garam” di sepanjang perjalanan Indonesia. Dan
PMII juga memiliki peranan penting dalam “membangun Indonesia”, baik di wilayah
sosial-politik, agama, budaya, dan lain-lain. Oleh sebab itu, adalah sebuah
kejumudan akut, jika memandang PMII sebatas organisasi politik kampus.
Pandangan semacam inilah yang saat ini menyeruak (secara faktual) di kalangan
kader PMII.
Adalah sebuah kejumudan yang akut, jika memandang PMII sebatas organisasi politik kampus. Pandangan semacam inilah yang saat ini menyeruak (secara faktual) di kalangan kader PMII
Secara
implisit, fenomena itu akan menimbulkan dampak yang cukup serius: dapat
meruntuhkan sendi-sendi ideologis, nilai, dan citra diri PMII. Sehingga,
menurut saya, kita perlu memahami kembali persoalan-persoalan dasar yang kerap
kali kita anggap sepele, atau bahkan kita abaikan dalam berproses di
PMII. Namun, dalam tulisan ini, saya hanya akan membahas persoalan klise
ini: untuk apa kita aktif di PMII?
Struktural vs Kultural: Penindasan dalam Tubuh PMII
Sebelum
menjawab pertanyaan di atas, kita harus menengok kondisi kader-kader PMII melalui
dikotomi “struktural” dan “kultural”. Sebagaimana yang telah diketahui, PMII adalah
organisasi mahasiswa yang berjalan di dua jalur struktural (kepengurusan) dan kultural
(kaderisasi). Maksud dari dikotomi semacam ini bukan berarti mereduksi kompleksitas
bangunan PMII, melainkan lebih kepada pemilahan wilayah semata. Sebab,
bagaimanapun, “kehidupan” PMII bergantung pada dua jalur ini. Dan dikotomi struktural-kultural
juga dapat membantu kita dalam memahami masalah yang terjadi di PMII.
Pertama, istilah “struktural” dapat dipahami sebagai sebuah jalur
kepengurusan di dalam organisasi PMII. Seperti “bapak”-nya, NU, organisasi mahasiswa
nahdliyin ini memiliki hierarki kepengurusan, seperti Pengurus Rayon (PR),
Pengurus Komisariat (PK), Pengurus Cabang (PC), Pengurus Koordinator Cabang (PKC),
dan Pengurus Besar (PB). Keempat struktur kepengurusan itu memiliki wilayah “garapan”
yang berbeda-beda: dari fakultas (kampus) hingga skala nasional dan internasional.
Secara
umum, kader-kader PMII kiwari banyak mengejar “karir” di jalur struktural ini. Mereka
memulai langkah-langkah politis dari Rayon atau Komisariat. Biasanya, mereka memiliki
“guru” (mentor) siasat politis ketika masih menjadi kader. Namun ketertarikan kader
terhadap spektrum politik praktis di dalam organisasi ini disebabkan oleh atmosfer
kaderisasi di mana ia berproses (Rayon atau Komisariat). Melalui bimbingan mentor
(pengkader), mereka kemudian lihai dalam melakukan gerakan-gerakan politis. Bahkan
terlihat seperti politikus kelas wahid.
Dari
hal di atas, kita dapat melihat bagaimana sebuah habitus dapat memengaruhi cara
berpikir dan tindakan seseorang. Habitus ini juga menjadi sebab kemampuan linguistik
dan wacana yang dikemukakan seseorang. Konsep tentang habitus dipopulerkan
oleh Bourdieu. Menurut filsuf Prancis ini, habitus merupakan produk sejarah yang
menghasilkan praktik-praktik individual dan kolektif—sesuai skema yang dibawa oleh
sejarah itu sendiri (Bourdieu, 1977: 82). Dalam konteks PMII, habitus politis
praktis (transaksional) lebih dominan di wilayah struktural. Sehingga kader-kader
yang memiliki orientasi politis di struktur organisasi PMII bisa disebut: Kader
Strukturalis.
Kader
Strukturalis di PMII saat ini cukup banyak. Ketertarikan mereka dalam pergulatan
strategi dan taktik manipulasi antar-kader mulai meningkat. Mencerap warisan Machiavellian
dan teknik perang Sun Tzu dari “mentor”, lambat laun Kader Strukturalis lihai menyusun
dan melakukan manuver-manuver politis. Fenomena gerakan (politis) Kader Strukturalis
ini bisa kita temui dari tingkat Rayon hingga Pengurus Besar. Mereka memang sengaja
dikader untuk menjadi seekor serigala yang sewaktu-waktu bisa menikam orang lain,
bahkan “sahabat”-nya sendiri.
Kedua, istilah “kultural” bisa dimaknai sebagai jalur ideologi,
nilai-nilai, dan kaderisasi di PMII. Berbeda dengan jalur pertama, jalur kultural
ini lebih fokus pada kualitas kader, membangun habitus yang sesuai dengan mazhab
dan manhaj PMII. Sehingga wacana, tindakan, dan cara berpikir kader-kader
yang berada di wilayah ini tampak berbeda dengan kader yang suka di wilayah struktural
(kepengurusan).
Selain
Kader Strukturalis, di PMII juga memiliki kader “tandingan” (antitesis dari tipologi
pertama): Kader Kulturalis. Mereka ini yang memiliki spirit kritis-transformatif,
sibuk dengan tumpukan buku, diskusi, dan advokasi sosial. Secara umum, Kader Kulturalis
lebih gandrung pada penyemaian ideologi dan nilai-nilai PMII ketimbang urusan politik
praktis. Kita bisa menemui mereka di kedai kopi, lingkar studi ilmiah, atau di tempat-tempat
yang nyaris tiada obrolan “bagaimana meraih kekuasaan”.
Kalau
mereka membahas kekuasaan, kita akan menjumpai celetukan kritis dan letupan keresahan
atas kondisi “rumah”-nya yang telah mengalami dekadensi ideologi dan nilai.
Sederhananya, Kader Kulturalis menjadi antitesis Kader Strukturalis di internal
PMII. Karena orientasi dan gerakan mereka seolah tidak pernah memiliki titik temu.
Pemahaman “kuasa” keduanya, misalnya, cenderung berbeda satu sama lain. Kader Strukturalis
memandang kuasa sebagai suatu “batu loncatan” karir ke depan. Sementara di mata
Kader Strukturalis, kuasa adalah sarana untuk menyemai benih-benih kritisisme dan
pembebasan.
Dari
dua tipologi kader itulah, setidaknya, kita dapat memahami kondisi PMII saat ini.
Sebab, kedua jalur itu seperti “ruh” dan “jasad”. Ketika tidak ada jasad, di mana
tempat untuk ruh. Dan jika ruh tidak ada, maka jasad sekedar bangkai tanpa arti.
Hanya saja, kondisi PMII sekarang ini, sejauh pembacaan saya, lebih didominasi oleh
(tradisi) Kader Strukturalis. Segala wacana dan praktik politis cenderung dominan
di PMII. Banyak kader yang lebih memilih kekuasaan daripada menjaga ideologi PMII.
Begitu banyak kader yang lebih mengikuti “arahan senior” ketimbang membaca tumpukan
buku dan diskusi.
Banyak kader yang lebih memilih kekuasaan daripada menjaga ideologi PMII. Begitu banyak kader yang lebih mengikuti “arahan senior” ketimbang membaca tumpukan buku dan diskusi
Konsekuensi
dari fenomena (politik praktis) tersebut adalah, membuat wilayah kultural menjadi
“sepi”. Tidak banyak kader yang sibuk men-design sistem kaderisasi dan gerakan
PMII dalam menghadapi perubahan zaman. Fakta ini bisa kita lihat di berbagai daerah.
Keresahan Kader Kulturalis hampir sama: dekadensi nilai-nilai PMII. Para kader lebih
suka dengan jabatan strategis dan popularitas daripada harus tertatih-tatih menjaga
legacy PMII.
Dominasi
kader politis di PMII semacam itu merupakan keadaan yang sangat mengkhawatirkan.
Memang, kader PMII tidak boleh bersikap apolitis. Tidak demikian maksud saya. Yang
dimaksud di sini, kader yang hanya berorientasi politis praktis (kekuasaan) di PMII—untuk
kepentingan pribadi atau golongan. Mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
kekuasaan di PMII. Bahkan, kalau perlu, mencederai ideologi PMII dan menindas sahabatnya
sendiri. Demikianlah potret penindasan di dalam tubuh organisasi kita saat ini.
Menjadi PMII: Bergerak di Jalur yang “Sepi”
Penindasan
(terselubung) akibat “akrobat” politis sahabat-sahabat PMII (Kader Strukturalis)
merupakan ironi di PMII. Saya tidak perlu lagi membubuhkan seabrek teori dan pisau
analisis untuk membedah fenomena semacam itu di sini. Saya hanya akan mengajak sahabat-sahabat
untuk merenungkan satu hal: mengapa kita aktif di PMII? Pertanyaan ini penting kita
jawab dulu, sebelum kita ndakik-ndakik persoalan lain.
Menurut
saya, sebagai ikhtiar menjawab pertanyaan di atas, dan sekaligus menjawab problem
internal di dalam tubuh PMII, kita perlu membedakan hal ini: “atas nama PMII” dan
“menjadi PMII”. Dua kalimat ini sekilas hampir sama, namun kalau kita membaca secara
cermat, kita akan menemukan perbedaan dan signifikansinya.
Jika
kita menggunakan “atas nama PMII”, kecenderungan yang terjadi adalah politisasi,
kapitalisasi, atau segala tindakan yang berpotensi menginjak-injak nilai PMII. Sedangkan
“menjadi PMII” merupakan tujuan kita (sebagai kader) untuk menuju Insan Ulul
Albab. Dengan “atas nama”, kita mudah terjebak ke dalam politisasi PMII: menunggangi
organisasi demi kepentingan pribadi. Dan kemudian kita akan melakukan segala cara
untuk meraih keinginan kita. Secara sederhana, melalui “atas nama”, PMII sekedar
kita jadikan batu loncatan belaka.
Sementara
berbeda dengan “menjadi PMII”. Sebab, kalimat ini memiliki tujuan untuk terus-menerus
berusaha semaksimal mungkin menjadi kader (insan) yang dikehendaki PMII itu
sendiri: mengaktualisasikan nilai-nilai PMII; bertindak demi mencapai cita-cita
PMII; dan mengontekstualisasikan ideologi (mazhab-manhaj) PMII. Kader yang
memiliki niat “menjadi PMII” akan lebih disibukkan dengan aktualisasi nilai, konsisten
belajar, dan peduli dengan kondisi organisasi. Bahkan, mereka tidak terlalu tertarik
dengan “ontran-ontran” politik yang dilakukan Kader Strukturalis.
Sebagai
ikhtiar membangkitkan kembali spirit dan tradisi intelektual PMII, kita perlu membenahi
tujuan kita di PMII. Di setiap wacana dan gerakan yang kita lakukan, seharusnya
dalam konteks “menjadi PMII”, bukan “atas nama PMII”. Karena jika mengatasnamakan
PMII, bisa jadi kita akan terjerumus ke dalam jurang kesesatan dan malah menindas
sahabat-sahabat kita di PMII. Coba lihat, berapa banyak kader yang mengatasnamakan
PMII demi mendapatkan keuntungan materil? Berapa banyak kader yang mengatasnamakan
PMII justru melupakan jalur kultural? Oleh karena itu, kita perlu membenahi tujuan
kita aktif di PMII dengan “menjadi PMII”. Kalau kita memiliki orientasi “menjadi
PMII”, kita akan lebih fokus pada kualitas diri dan mengembangkan organisasi.
Kita perlu membenahi tujuan kita aktif di PMII dengan “menjadi PMII”
Perspektif
semacam ini mirip dengan konsep filsafat Heidegger. Filsuf eksistensialis ini mempunyai
dua istilah dalam memahami manusia secara eksistensial: Dasein dan das
Man. Dalam Heidegger dan Mistik Keseharian (2016), Dasein adalah
seseorang yang “selalu menjadi” (mewujudkan diri dan mencari jati dirinya) (Hardiman,
2016: 85). Dasein ini akan menjadi otentik jika ia membuka diri terhadap
“Ada”-nya dengan mencandra, mencerap, atau merefleksi kesehariannya secara mendalam
. Sementara das Man, adalah seseorang yang larut dalam cara “mengada” orang
lain (Hardiman, 2016: 72). Maksudnya, das Man adalah seseorang yang terbawa
arus keseharian, hidup secara repetitif, tanpa merenungi “Ada”-nya atau kehidupannya.
Dengan
menggunakan perspektif Heideggerian di atas, berarti kita harus menjadi Dasein,
bukan das Man. Kita, sebagai kader PMII, harus senantiasa “menjadi PMII”
dalam keseharian, dan bahkan sampai akhir hayat. Karena “menjadi PMII” tidak bisa
ditempuh selama tiga-empat tahun. Selama hidup, kita harus berusaha menjadi Ulul
Albab dengan berpijak pada Nilai Dasar Pergerakan (NDP), mazhab dan manhaj
Ahlussunnah wal Jama’ah, dan menuju cita-cita yang selalu digaungkan di PMII.
Kemudian,
dengan tujuan “menjadi PMII” itulah, kita dapat memperbaiki kondisi PMII saat ini—dominasi
dan penindasan Kader Strukturalis. Selain itu, kita juga “menghidupkan” kembali
tradisi dan nilai-nilai PMII yang selama ini telah tertimbun kepentingan politis
sahabat-sahabat kita sendiri. Dengan demikian, secara terbuka saya katakan: kita
harus menjadi PMII, bukan mengatasnamakan PMII!
Dendy Wahyu Anugrah, Bukan Alumni Muda-Tua PMII Banyuwangi
Bacaan Lanjut
Alfas,
Fauzan, PMII dalam Simpul-simpul Sejarah Perjuangan, cet. 3 (Jakarta: PB
PMII & Intimedia, 2015)
Bourdieu,
Pierre, Outline of A Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University
Press, 1977)
Hardiman,
Budi, Heidegger dan Mistik Keseharian (Jakarta: KPG, 2016)
Posting Komentar