Hasto Kristiyanto, sebelumnya didakwa terlibat dalam kasus suap terkait perkara dugaan korupsi harun masiku. Selain suap, ia juga didakwa oleh jaksa KPK telah merintangi penyidikan kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan Komisioner KPU tersebut. Pada tanggal 25 Juli 2025, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Korupsi Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 3,5 tahun penjara dan denda Rp. 250.000.000 kepada Hasto usai terbukti bersalah. Namun, di sisi lain, majelis hakim menyatakan Hasto tak terbuki merintangi penyidikan sesuai dengan apa yang didakwakan jaksa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Di lain kasus, Tom lembong, divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp. 750.000.000 subsider 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Jakarta. Tom, dinyatakan bersalah atas kasus korupsi terkait penerbitan izin impor gula yang tidak sesuai prosedur, sehingga berakibat pada kerugian negara sebesar Rp. 194,72 miliar. Majelis hakim menyebut Tom Lembong lalai serta tidak cermat dalam menerbitkan PI dan Operasi Pasar (OP). Namun, dalam putusannya, hakim tidak menyebutkan adanya mens rea untuk menikmati hasil korupsi, justru hakim menudingnya karena ia menerbitkan kebijakan yang mendukung ekonomi kapitalis.
Putusan Tom Lembong membuat publik menjadi gaduh. Setidaknya terdapat 3 sorotan dalam kasus yang dijalani Tom: tidak adanya aliran dana hasil korupsi; mens rea; dan tudingan condong terhadap ekonomi kapitalis. Tak tanggung-tanggung, banyak tokoh penting yang berkomentar atas kasus ini, termasuk eks Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, yang menilai putusan hakim terdapat kesalahan.
Kedua kasus di atas banyak menjadi perhatian. Khalayak ramai menilai kasus tersebut sangat kental dengan nuansa politik. Apalagi setelah Prabowo memberikan amnesti terhadap Hasto, dan abolisi terhadap Tom Lembong, yang implikasinya mengisyaratkan pembebasan atas dua kasus orang tersebut.
Tudingan publik atas upaya pembebasan dua tokoh politisi tersebut rasanya bukan tanpa pijakan, mengingat dua orang itu pernah berhadapan langsung di saat kontestasi Pemilu 2024 yang dimenangkan oleh rezim saat ini. Hasto, sebagai Sekretaris Jenderal PDI-P yang mengusung Ganjar-Mahfud kala itu, dan mantan Menteri Perdagangan, yaitu Tom Lembong yang bergabung dengan Tim Nasional Pemenangan Capres-Cawapres Anis-Muhaimin.
Dugaan nuansa politik itu semakin meyakinkan, barangkali, setelah istana juga memberikan klarifikasi bahwa pemberian amnesti dan abolisi tersebut ditujukan untuk persatuan bangsa. Kemudian, Ketua MPR Ahmad Muzani memberikan penjelasan, seperti yang dikutip dalam Planet Merdeka, bahwa pemberian itu bertujuan agar “stabilitas” politik dan sosial dapat terjaga dengan baik.
Budi Pego dan Spanduk “Siluman” Komunisme
Mungkin, 23 Januari 2018 merupakan penanggalan yang tidak pernah hengkang dalam ingatan Budi Pego. Di tanggal itu, Budi Pego, yang bernama asli Heri Budiawan menerima pil pahit ketika Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi menjatuhi hukuman kepadanya 10 bulan penjara atas tuduhan menyebarkan ajaran Komunisme.Majelis Hakim menjeratnya dengan Pasal 107 ayat (a) UU No. 27 Tahun 1999 tentang perubahan kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanan negara. Pasal 107a itu berbunyi: “Barang siapa melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk perwujudannya diancam hukum pidana 12 tahun penjara.”
Meskipun ia divonis hukuman lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntutnya tujuh tahun penjara, tetap saja, kebebasannya sebagai manusia harus terenggut sebab suatu hal yang ia sendiri merasa tidak pernah melakukannya.
Pria yang akrab disapa Budi Pego ini, adalah petani dan pedagang buah naga asal Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran. Sebelum menjadi petani dan pedagang buah naga, ia juga pernah menjadi pekerja migran Indoneisa di Arab Saudi. Sembari menjadi petani, sejak 2014, Budi Pego juga aktif dalam penolakan tambang yang akan merangsak di gunung-gunung sekitar wilayah rumahnya.
Tahun 2017 adalah awal dari mimpi buruk yang akan dialami Budi Pego di kemudian hari. Saat itu Budi, bersama dengan warga yang lain, menggelar aksi protes dengan memasang spanduk penolakan tambang emas Tumpang Pitu di sepanjang pantai Pulau Merah. Dari Desa Sumberagung hingga Kantor Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi.
Keeseokan harinya, aparat mendatangi mereka dan menuduh aksi itu disisipi logo mirip “Palu-Arit”. Padahal mereka tidak merasa membuat logo itu. Bahkan, saat pembuatan spanduk aksi itu, mereka diawasi langsung oleh Babinsa dan Babinkamtimbas Kecamatan Pesanggaran.
Spanduk “siluman” itu akhirnya menjadi misteri. Hingga laki-laki lulusan madrasah tsanawiyah ini dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi. Spanduk yang berlogo “Palu-Arit” tersebut tidak pernah berhasil dihadirkan. Dari delapan spanduk yang disita jaksa, ternyata tak satu pun berlogo “Palu-Arit” (Unggraini, 2019).
Seperti yang tertulis di awal, Budi Pego divonis di pengadilan tingkat pertama 10 bulan penjara, lalu dinaikkan tingkat banding di pengadilan tinggi Jawa Timur, dan (tetap) menjatuhkan hukuman yang sama. Namun, sampai ditingkat kasasi Hakim Agung menjatuhi Budi, seorang pendekar silat Pagar Nusa di bawah naungan Nahdlatul Ulama ini, dengan hukuman lebih berat dari putusan Hakim tingkat pertama, yakni 4 Tahun penjara.
Perjuangan Mendapatkan Amnesti
Budi pego sempat menghirup udara kebebasan pasca menjalani hukuman 10 bulan penjara. Meskipun pada 2018 Mahkamah Agung (MA) memberikan putusan kasasi terhadap Budi Pego, namun kala itu tak kunjung dieksekusi.Meski ia berada dalam bayang-bayang kembali dijebloskan dalam jeruji besi, ia masih memiliki sikap yang sama seperti dulu: menolak tambang emas PT. Merdeka Copper Gold Tbk lewat anak perusahaan, PT Bumi Suksesindo dan PT Damai Sukses Indo yang beroperasi di Gunung Tumpang Pitu, dan menargetkan gunung di sebelahnya, Gunung Salakan, sebagai ekspansi ektraktivisme-nya.
Budi sadar, bahwa ia tidak menginginkan ruang hidupnya rusak. Oleh sebab itulah, ia bersama warga yang lain memutuskan untuk terus memperjuangkan kehidupan yang layak, dan tanpa dihantui “kutukan” alam setiap hari.Lima tahun berselang, dari jarak terakhir Budi Pego dibebaskan, akhirnya proses penahanan yang didasarkan pada putusan kasasi tersebut baru dijalankan. Pada sore hari, 23 Maret 2023, Budi dijemput paksa oleh belasan orang—yang belakangan baru diketahui, mereka adalah polisi—beserta Kejaksaan Negeri Banyuwangi, dan setelah itu ia dibawa di Lapas Banyuwangi.
Melansir Forbanyuwangi, sekitar 16 Maret 2023, Tim PT. Bumi Suksesindo dengan kawalan Polresta Banyuwangi, Kodim Banyuwangi, dan Satpol PP survei pemetaan geologis di Gunung Salakan—yang tak jauh dari Gunung Tumpang Pitu. Kemudian pada 21 Maret 2023, sekitar pukul 22.00 WIB, sembilan orang berkendara tiba-tiba merusak spanduk penolakan tambang emas yang sudah bertahun-tahun terpasang di rumah Budi Pego.
Kasus penangkapan ini akhirnya menuai respon dari Komnas HAM. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, kemudian segera melayangkan surat kepada Presiden Republik Indonesia kala itu, Joko Widodo, untuk memberikan amnesti bagi Budi Pego, aktivis penolak tambang di Tumpang Pitu. Selain itu, istri Budi Pego bersama keluarga juga sempat mengunjungi beberapa lembaga untuk meminta dukungan terhadap Budi, dengan harapan amnesti dapat segera diberikan oleh Presiden.
Namun, nyatanya, surat itu tak kunjung terbalas. Perjuangan mendapatkan amnesti untuk Budi Pego, tidak pernah diberikan oleh Presiden Jokowi.
Belajar dari Budi Pego: Menyalakan Api Perjuangan!
Budi Pego tidak bernasib seperti Hasto yang menjadi petinggi partai. Sewaktu bebas dari teralis jeruji, Budi tidak pernah ditangisi oleh petinggi nasional sebagaimana yang dialami Hasto—yang ditangisi oleh Megawati di Kongres PDI-P pasca kebebasannya. Namun, Budi boleh bangga, sebab ia ditangisi oleh sekian banyak orang yang memiliki nasib sama.Budi Pego juga bukan Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan, yang dibela oleh bejibun tokoh tersohor. Tapi, Budi tetap menjadi pemantik bagi setiap orang yang gundah terhadap kondisi ketidakadilan yang ia alami.
Beda Budi dengan keduanya (Hasto dan Tom), mereka mendapat pengampunan karena menjadi pertimbangan untuk kestabilan politik dan kekuasaan. Sementara Budi Pego? Tidak.
Budi Pego bukanlah bagian elite kekuasaan. Ia adalah petani yang menginginkan lingkungan hidupnya terjaga demi keberlanjutan anak-cucu nanti. Namun, ia tetap sebagai bagian warga negara yang haknya harus dipenuhi.
Dua kasus di atas setidaknya dapat ditelaah, bahwa ketiadaan akses politik akan mempengaruhi kondisi. Seperti halnya Budi Pego yang hanya petani, ia tidak diberikan kesempatan untuk memilih bagaimana ia mengatur ruang hidupnya bersama warga yang lainnya. Bukannya membuka ruang yang demokratis, ia malah dikriminalisasi, hingga negara pun seolah menutup mata dan telinga—berbeda dengan kasus Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong yang secara cepat disikapi.
Dengan kondisi timpangnya akses hukum seperti ini, penting terdapat penguatan politik warga negara sebagai subjek aktif yang juga dapat ikut menentukan pilihan hidupnya. Warga bukan hanya di posisikan sebagai penerima hak, tetapi juga aktor aktif yang berpartisipasi dalam mengurus segala kebutuhannya. Oleh karena itu, penting bagi negara membalik cara melihat agar tidak cenderung men-simplifikasi pandangan (state simplification) bahwa Indonesia adalah panggung untuk mementaskan lakon pembangunan dan investasi yang demikian dominan dalam cara pandang pengelola negara saat ini. Semua harus kembali pada tujuan negara ini didirikan.
Mereka memiliki mandat sebagai pemenuh kebutuhan publik (provider) atau bahkan pembebas warga negara (liberator) dari belenggu kesengsaraan, terutama membebaskan dari sistem keagrariaan yang menindas dan eksploitatif. Demikian diharapkan untuk melahirkan “manusia Indonesia Baru” yang merdeka (Nashih Luthfi dalam PPC & RTSP, 2023).
Budi Pego adalah “wajah” manusia Indonesia Baru
Budi Pego adalah “wajah” dari manusia Indonesia Baru yang merdeka itu. Ia menghadirkan dirinya untuk bersikap terhadap kondisi yang dihadapinya, yaitu dengan menolak pertambangan yang dinilai akan menghancurkan manusia dan lingkungan hidup mereka. Meski apa yang Budi lakukan itu tidak membuat negara kemudian “peduli” dan memberikan akses yang adil serta pemenuhan hak sebagai warga negara Indonesia.
Dari kasus Budi Pego atau Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong, kita dapat belajar, bahwa siapa pun bisa “kena”—jeratan hukum dan lingkaran otoritarianisme kekuasaan. Dan, dari mereka, kita juga bisa melihat, bahwa perbedaan kelas juga dapat menentukan seberapa hidup ini menjadi ruang tawar-menawar. Maka, jangan menunggu belas kasih dari negara, tapi berjuanglah seperti Budi Pego dengan gagah memperjuangkan hak-haknya.
Budi Pego dan Tumpang Pitu adalah dokumen perjuangan kewargaan yang menanti terciptanya keadilan. Apimu akan selalu abadi, Budi!
Dari kasus Budi Pego atau Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong, kita dapat belajar, bahwa siapa pun bisa “kena”—jeratan hukum dan lingkaran otoritarianisme kekuasaan. Dan, dari mereka, kita juga bisa melihat, bahwa perbedaan kelas juga dapat menentukan seberapa hidup ini menjadi ruang tawar-menawar. Maka, jangan menunggu belas kasih dari negara, tapi berjuanglah seperti Budi Pego dengan gagah memperjuangkan hak-haknya.
Budi Pego dan Tumpang Pitu adalah dokumen perjuangan kewargaan yang menanti terciptanya keadilan. Apimu akan selalu abadi, Budi!
Oleh: Samsul Muarif, Kader FNKSDA
Bacaan Lanjut
Unggraini, Ika Ningtiyas, Menambang Emas di Tanah Bencana: Liputan Mendalam Konflik Sumber Daya Alam di Pesisir Selatan Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Yogyakarta: Resist Book, 2019
Luthfi, Ahmad Nashih, “Membaca Perjuangan Rakyat Pakel dalam Perspektif Politik Kewargaan” dalam PPC & RTSP, Atas Nama Pakel. n.p: PPC, 2023
Unggraini, Ika Ningtiyas, Menambang Emas di Tanah Bencana: Liputan Mendalam Konflik Sumber Daya Alam di Pesisir Selatan Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Yogyakarta: Resist Book, 2019
Luthfi, Ahmad Nashih, “Membaca Perjuangan Rakyat Pakel dalam Perspektif Politik Kewargaan” dalam PPC & RTSP, Atas Nama Pakel. n.p: PPC, 2023
Posting Komentar