Penalaut.com - Denpasar, Sebanyak 21 awak kapal perikanan (AKP) atau anak buah kapal (ABK) KM Awindo 2A di Pelabuhan Benoa, Bali, diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Mereka dijanjikan gaji Rp 3–3,5 juta per bulan, namun kenyataannya hanya menerima Rp 35 ribu per hari atau sekitar Rp 1.050.000 per bulan.
Kasus ini terungkap setelah Tim Advokasi Perlindungan Pekerja Perikanan (TANGKAP) bersama LBH Bali melakukan pendampingan hukum kepada 21 korban. Laporan resmi sudah diterima SPKT Polda Bali pada 23 Agustus 2025 dengan nomor: STTLP/591/VIII/2025/SPKT/POLDA BALI.
Para korban berusia 18–47 tahun direkrut melalui Facebook oleh calo dari berbagai daerah, antara lain Depok, Lampung, Surabaya, Jakarta, Pandeglang, Tangerang, Bandung, Bogor, Brebes, Madiun, Temanggung, Boyolali, Cirebon, hingga Cilacap.
Mereka dijanjikan bekerja sebagai AKP dengan gaji Rp 3–3,5 juta per bulan, kasbon Rp 5–6 juta, serta fasilitas tunjangan tanpa potongan. Sebagian korban bahkan dijanjikan posisi lain, seperti di Unit Pengolahan Ikan (UPI) bagian pengemasan atau di kapal penampung (collecting).
Namun, nyatanya mereka ditempatkan di kapal cumi dengan upah harian jauh di bawah janji. Sebelum diberangkatkan ke Bali, para korban sempat ditampung di sebuah rumah di Pekalongan, Jawa Tengah, lalu dikirim ke Pelabuhan Benoa untuk bekerja di laut.
Setibanya di Bali, korban langsung dimasukkan ke KM Awindo 2A tanpa akses turun ke daratan. Selama di atas kapal, mereka diminta bekerja tanpa fasilitas pelindung, hanya diberi makan dua kali sehari, dan konsumsi yang sangat minim.
“Nasi dan enam bungkus mi sayur harus dibagi untuk 30 orang. Kondisi ini jelas tidak manusiawi,” ungkap I Gede Andi Winaba, Kuasa Hukum Korban dari TANGKAP sekaligus PBH LBH Bali.
Korban juga dibebankan utang Rp 2,5 juta yang disebut biaya lepas tali. Identitas berupa KTP dan telepon genggam mereka ditahan oleh calo. Lebih jauh, para ABK juga didatangi oknum Polairud Pelabuhan Benoa bersama calo yang mendata serta memfoto satu per satu korban.
Dua hari kemudian, mereka kembali datang untuk membagikan Perjanjian Kerja Laut (PKL), yang dipaksa ditandatangani korban tanpa diberi kesempatan membaca isi perjanjian.
Selama berlayar mencari cumi, para ABK harus bekerja hingga 14 jam per hari selama 8–10 bulan. Waktu istirahat sangat terbatas, hanya dua kali untuk makan, tanpa jaminan kesehatan.
“Salah satu korban perlu waktu lama, bahkan harus memohon-mohon agar bisa mendapatkan pengobatan ke darat setelah cedera di kapal,” ujar Siti Wahyatun, Kuasa Hukum Korban dari TANGKAP.
Mirisnya, meski salinan PKL yang diterima tim advokasi mencantumkan gaji sesuai UMR Bali, kenyataan di lapangan sangat berbeda.
“Gaji yang diberikan berbeda dengan apa yang tertulis di PKL. Di atas kertas sesuai UMR, tapi kenyataannya mereka hanya menerima Rp 35 ribu per hari,” jelas Siti.
Kasus dugaan TPPO ini kini dalam tahap penyidikan di Polda Bali. LBH Bali dan TANGKAP melaporkan tujuh pihak yang diduga terlibat, terdiri dari tiga orang dari perusahaan, tiga agen/calo, satu oknum polisi berinisial PS dari Polairud Pelabuhan Benoa.
“Kasus ini sudah memenuhi unsur TPPO. Kami mendesak negara untuk menindak seluruh aktor, termasuk perusahaan, calo, dan oknum aparat yang terlibat,” kuasa hukum korban. Beberapa pasal yang disangkakan antara lain Pasal 331 KUHP, Pasal 335 KUHP, Pasal 38 KUHAP, dan Pasal 378 KUHP. (Zak)
Posting Komentar