Penalaut.com - Indonesia sedang berdarah. Di jalan-jalan kota, demonstran yang bersuara kritis ditangkap dan dipukuli. Affan Kurniawan seorang Ojol meregang nyawa setelah dilindas kendaraan taktis polisi. Di media sosial, tersebar video rakyat yang marah menjarah rumah pejabat negara, sebuah gambaran keputusasaan yang lahir dari ketimpangan structural, di gedung parlemen, para wakil rakyat berjoget-joget dengan wajah riang, seolah negeri ini baik-baik saja, sementara jutaan rakyat harus berjuang sekadar untuk makan.
Di tengah kegentingan ini, publik menoleh pada satu kekuatan yang dulu selalu ada di garda depan: Organisasi mahasiswa ekstra kampus (ormek). Mereka yang selama ini menepuk dada sebagai “penjaga moral bangsa”, kini memilih diam. Bungkam. Hilang dari gelanggang perlawanan. Pertanyaannya: mengapa ormek di Banyuwangi yang tergabung dalam aliansi Cipayung yang dahulu menjadi lokomotif perubahan kini justru menjadi penonton yang nyaman?
Sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia mencatat momen-momen emas ketika suara mahasiswa mengguncang kekuasaan. Tahun 1966, mereka menuntut Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang akhirnya melahirkan perubahan rezim. Tahun 1998, gerakan mahasiswa menjadi detonator runtuhnya Orde Baru, mengusir Soeharto yang berkuasa 32 tahun. Bahkan di 2019, mahasiswa turun berjilid-jilid menolak revisi UU KPK, menolak RKUHP, dan melawan berbagai kebijakan yang dianggap mencederai demokrasi.
Tetapi hari ini, saat rakyat dipukul, dipenjara, bahkan dibungkam di jalanan, dimana suara ormek? Organisasi yang dulu lantang bersuara kini seperti kehilangan taring. Apakah idealisme telah dikalahkan oleh pragmatisme? Ataukah kenyamanan kursi kekuasaan lebih menggoda daripada gelombang keringat dan gas air mata di jalanan?
Sosiolog Daniel Dhakidae pernah mengingatkan, “Setiap generasi mahasiswa akan diuji oleh zamannya, dan kehormatan mereka diukur dari keberanian melawan ketidakadilan.” Jika ini benar, maka generasi ormek hari ini sedang gagal dalam ujian moral.
Bisu di Tengah Jeritan Rakyat
Ketika darah rakyat mengalir, para pemimpin ormek yang tergabung dalam aliansi Cipayung Plus sibuk mengurus agenda internal, menggelar rapat untuk membagi posisi struktural, atau bernegosiasi dengan kepentingan politik. Mereka mengumbar jargon di forum-forum diskusi akademik, tetapi menghilang dari barisan perlawanan nyata. Diskusi mereka yang tampak intelektual hanyalah kosmetik untuk menutupi luka moral yang menganga.Lihatlah bagaimana narasi besar yang dulu mereka gaungkan, perjuangan rakyat, keadilan sosial, pengabdian untuk bangsa. Kini menjadi sekadar kata-kata tanpa aksi. Mereka lupa bahwa keberpihakan tidak cukup hanya dengan menyusun pernyataan sikap yang tak pernah dibaca publik. Ia harus hadir di jalanan, berdiri di tengah rakyat, melawan ketidakadilan dengan keberanian, bukan dengan retorika semu.
Sementara itu, di berbagai kota besar, demonstran yang putus asa membakar gedung DPRD. Aksi-aksi demonstrasi memanas. Tetapi absennya ormek pada aliansi Cipayung Plus dalam momen genting ini bukan hanya kegagalan organisasi, tetapi juga kehinaan sejarah. Diam mereka bukan sikap netral. Diam mereka adalah penyerahan diri kepada ketidakadilan.
Dulu, mahasiswa adalah “oposisi permanen” yang tak tersentuh oleh kepentingan pragmatis. Kini, banyak ormek terjebak dalam politik transaksional. Mereka lebih sibuk memoles citra untuk mengamankan akses ke elite politik daripada mendengar jeritan rakyat. Ormek kehilangan otentisitasnya ketika keberanian mereka dikompromikan demi kenyamanan.
Mungkin inilah yang dimaksud Sartre ketika berkata, “Kebebasan tanpa komitmen hanyalah pelarian dari tanggung jawab.” Ormek hari ini bebas berwacana, tetapi komitmen untuk melawan ketidakadilan nyaris nihil. Mereka memilih pelarian dalam bentuk seminar mewah, diskusi akademik yang steril, atau postingan heroik di media sosial yang tidak pernah menyentuh realitas.
Pertanyaannya, apakah ormek masih layak disebut garda moral? Ataukah kini mereka adalah garda modal, yang bergerak hanya ketika ada keuntungan politik, jabatan, atau logistik?
Karl Marx dalam Theses on Feuerbach (1845), mengatakan “Tugas intelektual bukan hanya memahami dunia, tetapi mengubahnya”. Sayangnya, ormek yang tergabung dalam Aliasi Cipayung Plus hari ini seolah memilih menjadi bagian dari ketidakadilan. Mereka bukan lagi kekuatan moral, melainkan pelengkap penderita dalam drama demokrasi yang pincang.
Jika ormek tetap bungkam, sejarah akan mencatat mereka sebagai generasi pengecut. Mereka bukan lagi garda moral, tetapi ormas yang kehilangan ruh. Gelar intelektual progresif hanyalah topeng ketika keberanian untuk bersikap mereka kubur dengan tangan sendiri.
Bangsa ini tidak butuh slogan revolusioner atau seremoni seribu teori. Bangsa ini butuh keberanian moral yang tulus, meski harus menantang arus. Jika ormek gagal menjalankan amanah sejarah ini, biarlah rakyat yang kelak mengadili mereka. Bukan dengan tinta, tetapi dengan ingatan pahit: bahwa ketika negeri ini berdarah, para pemimpin ormek memilih menonton sambil bersembunyi di balik nama besar yang sudah lama kehilangan makna.
Oleh: Slamet Ichlasul A.
Daftar Pustaka:
Dhakidae, D. (2003). Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dhakidae, D. (2003). Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Marx, K. (1845). Theses on Feuerbach. In The German Ideology.
Sartre, J.-P. (1943). Being and Nothingness. Paris: Gallimard.
Soe Hok Gie. (1983). Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES.
Posting Komentar