“Negara itu seperti rumah jagal raksasa atau kuburan yang mahaluas, di mana semua aspirasi riil, semua kekuatan hidup sebuah negeri, masuk secara suka rela di bawah bayang-bayang abstraksi tersebut, untuk membiarkan diri mereka dibunuh dan dikubur”
(Mikhail Bakunin)
Penalaut.com - Pada akhir Agustus hingga awal September kemarin, Indonesia benar-benar “gelap gulita”. Gelombang aksi meledak di berbagai daerah. Jalanan tak pernah sepi. Gedung dan tempat-tempat umum dilahap api. Semua itu karena rakyat sudah jengah dengan tingkah-polah pejabat publik yang congkak. Padahal selama ini kebijakan mereka belum menyentuh sendi-sendi kehidupan rakyat. Keadilan dan kesejahteraan sekedar menjadi bualan kekuasaan semata. Dan kita kerap terkecoh oleh tipu daya mereka.
Beberapa saat setelah “Aksi Reset Indonesia” itu, polisi kemudian meringkus sejumlah aktivis dan “orang biasa” yang diduga menjadi “otak” dan provokator kerusuhan. Mereka dituduh menghasut massa untuk melakukan tindakan “anarkis”. Selain itu pihak polisi juga menyita barang bukti dari beberapa tersangka, seperti buku, yang dianggap memuat paham dan strategi gerakan Anarkisme.
Fenomena ini terjadi di beberapa daerah, seperti: Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jakarta. Pihak kepolisian sampai saat ini masih berusaha melacak siapa aktor di balik demonstrasi itu, dan hendak menyapu habis kelompok yang selalu disebut sebagai “dalang” keonaran: kaum anarko.
Fakta di atas semakin memperkeruh keadaan Tanah Air. Seolah-olah negara tidak pernah memberi kita waktu jeda untuk sejenak melakukan refleksi, dan mengheningkan cipta atas tragedi yang menimpa saudara-saudara kita—yang gugur di medan perjuangan.
Fakta di atas semakin memperkeruh keadaan Tanah Air. Seolah-olah negara tidak pernah memberi kita waktu jeda untuk sejenak melakukan refleksi, dan mengheningkan cipta atas tragedi yang menimpa saudara-saudara kita—yang gugur di medan perjuangan.
Alih-alih membenahi sistem politik dan situasi sosial, negara (pemerintah) justru sibuk mencari “kambing hitam” di balik demonstrasi
Alih-alih membenahi sistem politik dan situasi sosial, negara (pemerintah) justru sibuk mencari “kambing hitam” di balik demonstrasi. Padahal aksi itu disebabkan oleh mereka sendiri: kecongkakan mereka, kelakukan mereka, dan ketidakhadiran mereka di setiap masalah kita. Bukankah wajar kalau rakyat kemudian marah dengan keadaan semacam ini?
Negara juga tampak (sangat) bernafsu mencari siapa “dalang” di balik kerusuhan di berbagai daerah itu. Selama ini, menurut negara, aktor di setiap kericuhan (merusak fasilitas umum) demonstrasi adalah “kaum anarko”. Oleh karena itu, pihak kepolisian saat ini tengah “mengamankan” orang-orang atau kelompok “anarkis” yang dituduh sebagai “biang kerok” kerusuhan demonstrasi Agustus-September kemarin.
Negara juga tampak (sangat) bernafsu mencari siapa “dalang” di balik kerusuhan di berbagai daerah itu. Selama ini, menurut negara, aktor di setiap kericuhan (merusak fasilitas umum) demonstrasi adalah “kaum anarko”. Oleh karena itu, pihak kepolisian saat ini tengah “mengamankan” orang-orang atau kelompok “anarkis” yang dituduh sebagai “biang kerok” kerusuhan demonstrasi Agustus-September kemarin.
Kekuasaan seperti sedang mencari sesembahan untuk “tuhan” mereka. Sebab, setiap persoalan akan rampung, kalau mereka mampu menemukan “tumbal” di antara kerumunan rakyatDalam konteks semacam itu, kekuasaan seperti sedang mencari sesembahan untuk “tuhan” mereka. Sebab, setiap persoalan akan rampung, kalau mereka mampu menemukan “tumbal” di antara kerumunan rakyat. Dengan kata lain, kepercayaan publik akan kembali pulih setelah mereka dapat menangkap dan “menyembelih” aktor di balik kerusuhan itu.
Negara Jagal: Elite Kekuasaan Mencari “Tumbal”
Setelah aksi meledak di berbagai daerah di Indonesia, kekuasaan (negara) segera menciptakan narasi besar sebagai salah satu cara agar mereka “selamat” dari amuk-amuk massa. Narasi besar (grand narrative) atau metanarasi itu juga berdampak pada “penindasan” terhadap sebagian kelompok masyarakat, dalam konteks masalah belakangan ini: “kaum anarko”. Dan memang demikian tujuan utama penciptaan narasi kekuasaan.Sebuah metanarasi diciptakan, menurut Lyotard, untuk melegitimasi sesuatu dan menundukkan cara pandang manusia. Secara fungsional, narasi bermaksud menuntun manusia untuk memahami dan melakukan sesuatu (Lyotard, 1984: 23). Sehingga narasi kekuasaan itu bersifat manipulatif dan hegemonik.
Dalam konteks saat ini, negara sedang menciptakan seonggok narasi yang menghegemoni masyarakat untuk menuduh, membenci, dan bahkan menindas satu kelompok, kaum anarko. Secara konsisten negara membangun narasi tentang “bahaya” kaum anarko tersebut. Dengan segenap perkakas yang dimiliki negara, seperti hukum, media, lembaga, dan lain-lain, narasi tentang “bahaya Anarkisme” dapat dengan mudah menghegemoni masyarakat. Dan terbukti, saat ini negara memburu mereka dengan dalih menangkap “dalang” kerusuhan.
Kekuasaan (negara) tidak perlu menampakkan “wajah”-nya secara telanjang. Ia cukup menggerakkan dua instrumen penting: ulama-intelektual dan Polri. Kedua entitas ini sangat ampuh dalam mendengungkan narasi kekuasaan. Karena, sebagaimana dikatakan Althusser, dua entitas itu termasuk ke dalam Aparatus Ideologi Negara (Ideological State Apparatuses, ISA) dan Aparatus Represi Negara (Repressive State Apparatus, RSA). Kelompok ulama-intelektual (agama dan pendidikan) tergolong ke dalam ISA, sementara Polri-TNI (hukum) termasuk dalam RSA (Althusser, 1971: 143-44).
Dalam konteks saat ini, negara sedang menciptakan seonggok narasi yang menghegemoni masyarakat untuk menuduh, membenci, dan bahkan menindas satu kelompok, kaum anarko. Secara konsisten negara membangun narasi tentang “bahaya” kaum anarko tersebut. Dengan segenap perkakas yang dimiliki negara, seperti hukum, media, lembaga, dan lain-lain, narasi tentang “bahaya Anarkisme” dapat dengan mudah menghegemoni masyarakat. Dan terbukti, saat ini negara memburu mereka dengan dalih menangkap “dalang” kerusuhan.
Kekuasaan (negara) tidak perlu menampakkan “wajah”-nya secara telanjang. Ia cukup menggerakkan dua instrumen penting: ulama-intelektual dan Polri. Kedua entitas ini sangat ampuh dalam mendengungkan narasi kekuasaan. Karena, sebagaimana dikatakan Althusser, dua entitas itu termasuk ke dalam Aparatus Ideologi Negara (Ideological State Apparatuses, ISA) dan Aparatus Represi Negara (Repressive State Apparatus, RSA). Kelompok ulama-intelektual (agama dan pendidikan) tergolong ke dalam ISA, sementara Polri-TNI (hukum) termasuk dalam RSA (Althusser, 1971: 143-44).
Narasi besar kekuasaan tersebut, secara implisit, memiliki konsekuensi yang sangat serius. Ia tidak hanya berfungsi mendisiplinkan cara berpikir dan tindakan, melainkan juga berpotensi “membunuh” sebagian besar masyarakat. Kita tentu masih ingat dengan sejarah kelam G30SNarasi besar kekuasaan tersebut, secara implisit, memiliki konsekuensi yang sangat serius. Ia tidak hanya berfungsi mendisiplinkan cara berpikir dan tindakan, melainkan juga berpotensi “membunuh” sebagian besar masyarakat. Kita tentu masih ingat dengan sejarah kelam Gerakan 30 September (G30S). Sebuah tragedi enam jenderal terkemuka di Indonesia dan satu ajudan dibunuh oleh tim kecil tentara. Ketujuh jenazah itu lalu dibuang ke sumur kering di kebun karet bernama: Lubang Buaya (Robinson, 2018: 54). Pasca kejadian ini, negara (di bawah kekuasaan Soeharto) membuat metanarasi bahwa PKI adalah “dalang” di balik G30S.
Dalam The Jakarta Method (2020), kekuasaan (baca: Orde Baru) membuat narasi besar tentang bagaimana “setan komunis” (a demonic communist) hendak mengambil alih negara dengan cara menyiksa dan membunuh prajurit militer—yang baik dan takut kepada Tuhan (God-fearing military men). Narasi besar itu, menurut Vincent Bevins, sudah menjadi bagian dari “agama nasional” di bawah kediktatoran Soeharto (Bevins, 2020: 134).
Kemudian, salah seorang sejarawan UI dan Kepala Pusat Sejarah ABRI sejak 1964, Nugroho Notosusanto, menulis tentang percobaan kup (kudeta) 30 September 1965. Versi sejarawan ABRI ini dijadikan “sejarah resmi” Orde Baru dan ditransformasikan ke dalam berbagai produk kebudayaan, seperti film, novel, diorama, monumen, relief, dan buku pegangan siswa (Herlambang, 2014: 138; Bevins, 2020).
Sehingga, narasi kekuasaan itu mengilhami militer menggambarkan jutaan orang seperti setan, sebab mereka menggunakan nalar semacam ini: “G30S sama dengan PKI dan siapa saja yang diasosiasikan dengan PKI (berarti) sama dengan kejahatan mutlak” (Roosa, 2008: 35-6). Dan karena narasi itulah, lebih dari setengah juta orang mati dibunuh “atas nama negara”. Pembunuhan massal tersebut menggunakan instrumen militer dan milisi sipil “anti-komunis” dengan langkah-langkah sistematis dan rahasia (Roosa, 2008: 31). Coba bayangkan, pembunuhan sistematis ini disebabkan oleh metanarasi kekuasaan!
Memahami fakta sejarah di atas, tentu kita tidak mungkin menganggap remeh sebuah narasi. Apalagi narasi itu dibuat oleh negara (kekuasaan). Sehingga narasi tentang “bahaya Anarkisme” yang digaungkan oleh kekuasaan belakangan ini, secara sistemik sangat merugikan dan menindas orang-orang atau kelompok yang dituding sebagai “anarkis”. Karena, dalam nalar kekuasaan, setiap huru-hara yang terjadi, harus ada “tumbal” untuk dijadikan sesembahan.
Mereka dimarginalisasi melalui arus narasi, dikriminalisasi melalui hukum, dan dibunuh atas nama kedaulatan negara. Padahal, kalau kita mau jujur, secara historis negara pernah menjadi “rumah jagal” bagi orang-orang tak berdosa. Demikian semakin membenarkan tesis Bakunin dalam The Paris Commune and the Idea of the State (1871):
“Negara itu seperti rumah jagal raksasa atau kuburan yang mahaluas, di mana semua aspirasi riil, semua kekuatan hidup sebuah negeri, masuk secara suka rela di bawah bayang-bayang abstraksi tersebut, untuk membiarkan diri mereka dibunuh dan dikubur” (dalam Dolgoff, 1972: 269)Kekuasaan tidak mau mengoreksi diri dan enggan “merasa bersalah” atas peristiwa yang terjadi kemarin. Mereka justru sibuk membuat narasi besar tentang “bahaya Anarkisme”, menyita buku-buku, dan membungkam suara-suara kritis yang selama ini menganggu kenyamanan mereka. Padahal, semua masalah sesungguhnya bermuara pada mereka: elite kekuasaan. Dan bukan suatu kemustahilan, jika suatu saat stigma terhadap kaum anarko itu berujung “pembunuhan”—seperti yang dialami anggota, simpatisan, dan orang-orang yang “dituduh” PKI.
Anarkophobia: Sebuah Penindasan Terhadap Anarkisme
Menurut Kapolda Jawa Barat, Irjen Pol. Rudi Setiawan, aksi kemarin telah disusupi kelompok Anarkisme dan berafiliasi dengan jaringan internasional. Keberadaan mereka (kaum anarko) tidak hanya di Jawa Barat, tetapi juga di daerah lain, sehingga Polda Jabar segera melakukan koordinasi dengan Polda Metro Jaya, Polda Jawa Tengah, Polda Jawa Timur, serta Maber Polri, Bareskrim, dan Densus 88 untuk melacak aktor intelektual di balik jaringan tersebut (Humas Polri, 16 September 2025).Kaum anarko itu kemudian ditahan hingga hari ini, dan pihak kepolisian terus mencari barang bukti, seperti buku, yang menunjukkan bahwa mereka menganut paham Anarkisme. Beberapa admin akun media sosial juga ditangkap karena dianggap melakukan provokasi.
Namun, kalau kita membaca narasi yang digaungkan Aparatus Represi Negara itu, kita akan menemukan apa yang saya sebut: “penindasan interpretatif”. Hal ini dapat kita telusuri dari cara mereka memahami Anarkisme. Bagi mereka, Anarkisme (selalu) identik dengan kerusuhan, kekerasan, dan penjarahan—seperti pernyataan Presiden Prabowo di Istana Merdeka, 31 Agustus 2025.
Dengan pemahaman semacam itu, kekuasaan secara sistematis “memburu” kelompok anarko di berbagai tempat. Mereka ditahan dan akan dijadikan “tumbal” untuk menuntaskan persoalan Tanah Air. Segala cara ditempuh untuk melacak keberadaan kaum anarko ini. Sebab, bagi kekuasaan, mereka adalah “otak” di balik kerusuhan Agustus-September kemarin. Demikian mirip dengan “Tragedi G30S” di atas. Bagaimana negara membuat narasi besar, dan kemudian narasi itu dimunculkan ke publik, sehingga negara dapat mengambil langkah-langkah hukum untuk “menindas” mereka yang disebut “anarkis”.
Dengan pemahaman semacam itu, kekuasaan secara sistematis “memburu” kelompok anarko di berbagai tempat. Mereka ditahan dan akan dijadikan “tumbal” untuk menuntaskan persoalan Tanah Air. Segala cara ditempuh untuk melacak keberadaan kaum anarko ini. Sebab, bagi kekuasaan, mereka adalah “otak” di balik kerusuhan Agustus-September kemarin. Demikian mirip dengan “Tragedi G30S” di atas. Bagaimana negara membuat narasi besar, dan kemudian narasi itu dimunculkan ke publik, sehingga negara dapat mengambil langkah-langkah hukum untuk “menindas” mereka yang disebut “anarkis”.
Negara membuat narasi besar, dan kemudian narasi itu dimunculkan ke publik, sehingga negara dapat mengambil langkah-langkah hukum untuk “menindas” mereka yang disebut “anarkis”
Media massa saat ini menjadi instrumen paling canggih dalam menyebarkan narasi “bahaya Anarkisme”. Oleh sebab itu, saat ini kita bisa melihat, bagaimana negara dan lembaga-lembaga terkait sedang “gencar” menarasikan bahaya kelompok tersebut. Mereka juga sangat perlu menyita buku-buku berhaluan “kiri” sebagai bukti keberadaan kaum anarko di Indonesia. Jika mengikuti logika kekuasaan ini, bisa jadi nanti segala sesuatu yang dianggap berhubungan dengan Anarkisme disita dan dilarang oleh negara. Bagaimana mungkin negara melarang hal itu, sementara secara intrinsik kehidupan kita mengandung nilai-nilai anarkistik dan komunistik?
Kita bisa melihat bagaimana kekuasaan saat ini memaknai ideologi Anarkisme secara serampangan. Mereka juga menuduh kaum anarko sebagai “biang kerok” kerusuhan dan penjarahan di kediaman pejabat publik. Selain itu, mereka juga menganggap bahwa kaum anarko bekerja sama dengan jaringan internasional untuk melancarkan aksi-aksi “anarkis” (istilah kekuasaan) dalam setiap demonstrasi. Padahal, semakin mereka membangun sebuah narasi, menangkap, dan menyita buku-buku, semakin tampak jelas bahwa mereka fobia dengan Anarkisme.
Sikap kekuasaan secara berlebihan terhadap kaum anarko adalah sebuah gejala “Anarkophobia”Sikap kekuasaan yang “berlebihan” terhadap kaum anarko itu, menurut saya, adalah sebuah gejala “Anarkophobia”. Mereka (elite kekuasaan) memang semula alergi dengan ideologi ini. Bahkan salah satu founding father bangsa kita, Sukarno, juga sangat alergi dengan ideologi Anarkisme—saya telah membongkar bagaimana kecacatan nalar Bung Karno memahami Anarkisme dalam “Sukarno & Anarkisme: Kritik atas Pandangan Bung Karno tentang Anarkisme” (LSF Discourse, 2025). Fobia ini berlangsung sangat lama, dan terus ditanamkan ke kepala generasi muda kita agar mereka menjauhi dan bahkan membenci ideologi Anarkisme.
Kita bisa melihat bagaimana kekuasaan saat ini memaknai ideologi Anarkisme secara serampangan. Mereka juga menuduh kaum anarko sebagai “biang kerok” kerusuhan dan penjarahan di kediaman pejabat publik. Selain itu, mereka juga menganggap bahwa kaum anarko bekerja sama dengan jaringan internasional untuk melancarkan aksi-aksi “anarkis” (istilah kekuasaan) dalam setiap demonstrasi. Padahal, semakin mereka membangun sebuah narasi, menangkap, dan menyita buku-buku, semakin tampak jelas bahwa mereka fobia dengan Anarkisme.
Semakin mereka (negara) membangun sebuah narasi, menangkap, dan menyita buku-buku, semakin tampak jelas bahwa mereka fobia dengan Anarkisme
Dengan demikian, kekuasaan (negara) telah menunjukkan perasaan takut yang berlebihan terhadap hal-hal yang berbau Anarkisme. Inilah yang saya sebut “Anarkophobia”. Salah satu cara agar ketakutan mereka bisa diredam, ialah dengan membuat narasi tentang “bahaya Anarkisme” dan menangkap satu per satu kaum anarko di berbagai daerah. Bahkan mereka terus melacak jaringan kelompok itu di ranah internasional.
Namun, di hadapan publik, mereka (negara) menampakkan diri secara heroik karena telah menangkap “biang kerok” kerusuhan itu, dan dengan begitu, kepercayaan masyarakat terhadap negara akan segera pulih.***
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah, “Bukan” Seorang Anarkis
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah, “Bukan” Seorang Anarkis
Daftar Bacaan
Anugrah, Dendy Wahyu, “Sukarno & Anarkisme: Kritik atas Pandangan Bung Karno tentang Anarkisme”, LSF Discourse, 22 Juli 2025Lyotard, Jean-Francois, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (UK: Manchester University Press, 1984)
Althusser, Louis, “Ideology and Ideological State Apparatuses: Notes towards an Investigation” dalam Lenin and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review Press, 1971)
Bevins, Vincent, The Jakarta Method: Washington’s Anticommunist Crusade & The Mass Murder Program That Shaped Our World (New York: PublicAffairs, 2020)
Herlambang, Wijaya, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Seni dan Sastra (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2013)
Robinson, Geoffrey B., The Killing Season: A History of The Indonesian Massacres, 1965-1966 (Oxford: Princeton University Press, 2018)
Roosa, John, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, terj. Hersri Setiawan (Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hastra Mitra, 2008)
Dolgoff, Sam (editor), Bakunin on Anarchy: Selected Works by the Activist-Founder of World Anarchism (New York: Vintage Books, 1972)
Posting Komentar