Di antara kebun monokultur itu, orang utan yang dahulu berayun bebas, kini kehilangan rantingnya. Ia memandang dengan mata sendu, menyimpan pertanyaan yang tak pernah kita jawab ke manakah rumahnya pergi? Bekantan yang setia menghuni tepian sungai kian sulit menemukan pohon pengikat, sebab akar-akar tua ditebang hingga ke dasar tanah.
Sungai yang dahulu jernih bagai cermin langit, kini keruh, penuh endapan tanah galian dan limbah. Udara yang dahulu harum bunga hutan kini bercampur debu dari jalan tambang. Kalimantan, yang pernah disebut paru-paru dunia, perlahan berubah menjadi paru-paru yang sesak, batuk oleh nafsu manusia.
Kalimantan, yang pernah disebut paru-paru dunia, perlahan berubah menjadi paru-paru yang sesak, batuk oleh nafsu manusia
Kata “pembangunan” sering digaungkan sebagai mantra. Tetapi pembangunan macam apa yang menukar ribuan tahun rimba dengan puluhan tahun keuntungan? Kata “kemajuan” kerap dijunjung tinggi. Tetapi kemajuan macam apa yang membuat air tak lagi bisa diminum, udara sulit dihirup, dan satwa hanya dikenang dalam buku pelajaran? Pertanyaan-pertanyaan itu bergaung dari batang-batang yang tumbang.
Kini, Ibu Kota Nusantara berdiri di jantung Kalimantan. Ia dibanggakan sebagai kota hijau, kota masa depan. Gedung-gedung dirancang megah, jalan-jalan ditarik lurus, dan segala pujian berhamburan. Tetapi, di balik megahnya rencana itu, ada hutan yang telah hilang. Ada sarang burung yang hilang, ada liang tanah yang ditinggalkan sunyi. Apa arti keberlanjutan bila orang utan hanya tersisa di poster promosi wisata?
Kalimantan tidak pernah menolak perubahan. Ia hanya ingin dihormati. Ia telah memberikan segalanya seperti kayu yang menyeberangi samudra, batu bara yang menyalakan lampu-lampu kota jauh di luar pulau, sawit yang mengisi botol-botol minyak di pasar, bahkan tanahnya sendiri untuk sebuah ibu kota baru.
Kalimantan tidak pernah menolak perubahan. Ia hanya ingin dihormati.
Tetapi sejauh mana kita membalas pemberian itu dengan menjaga jantungnya tetap berdetak? Sejauh mana kita menakar pembangunan tanpa melupakan rumah yang telah ada ribuan tahun lebih dulu daripada kita?
Sejarah akan mencatat, bahwa pada abad ini, manusia pernah diberi kesempatan memilih menjaga rimba atau merobohkannya demi keuntungan sesaat. Bila kita memilih yang kedua, maka kelak anak cucu hanya akan mengenal orangutan dari gambar di buku, mendengar bekantan hanya dari dongeng orang tua, dan membaca nama Kalimantan seperti membaca kisah yang telah punah.
Dan mungkin, pada saat itu, barulah kita sadar, bahwa hutan yang hilang tak (akan) pernah kembali, sungai yang tercemar tak lagi jernih, satwa yang punah tak akan terlahir lagi. Kita akan belajar dengan cara yang paling pahit, bahwa keserakahan manusia bukanlah tanda kemajuan, melainkan tragedi paling sunyi yang pernah ditulis oleh bumi.
Oleh: Vingky Dwi Putra
Posting Komentar