BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Retorika Manis Pejabat Tak Bisa Mengenyangkan Perut Guru

Penalaut.com
- Publik kembali geram kepada para pejabat negeri. Setelah kasus korupsi laptop menyeret mantan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim, kini muncul kontroversi baru dari Menteri Agama, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar. Dalam acara Pendidikan Profesi Guru (PPG) di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (3 September 2025), ia menyatakan: “Kalau niatnya cari uang, jangan jadi guru. Jadi pedagang, lah!”

Pernyataan ini menimbulkan gelombang kritik. Di tengah isu tunjangan DPR yang fantastis, ucapan tersebut seolah menjadi bensin yang disiram ke bara kemarahan rakyat. Bukan karena guru tidak percaya pada keberkahan, tetapi karena ucapan itu mengabaikan fakta bahwa guru menanggung beban berat, bahkan sering mengorbankan uang pribadi demi kelancaran pembelajaran.

Suara Tokoh Bangsa

Ki Hadjar Dewantara, dalam bukunya Pendidikan (1936), menulis: “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu. Guru haruslah penuntun yang memberi tuntunan hidup.”

Artinya, guru bukan sekadar pekerja, tetapi pembimbing peradaban. Namun pembimbing ini tetap manusia dengan kebutuhan dasar. Menuntut guru hanya berbekal “keberkahan” tanpa kesejahteraan adalah bentuk ketidakadilan.

Tan Malaka, dalam Madilog (1943), menyatakan: “Perut yang lapar tidak dapat diberi makan dengan kata-kata. Kenyang hanya bisa diperoleh dengan roti dan nasi.”

Kutipan ini jelas relevan. Guru tidak bisa disuruh bertahan dengan kata-kata “profesi mulia” atau “penuh keberkahan” semata, tanpa ada kebijakan nyata yang memastikan gaji dan fasilitas yang layak.

Menuntut guru hanya berbekal “keberkahan” tanpa kesejahteraan adalah bentuk ketidakadilan  

H.O.S. Tjokroaminoto, dalam Islam dan Sosialisme (1924), menulis: “Tidak akan ada kebahagiaan bagi rakyat kecil selama keadilan sosial hanya jadi semboyan, bukan perbuatan.”

Guru adalah bagian dari rakyat kecil yang terus menunggu keadilan sosial dari negara. Pidato pejabat tanpa kebijakan nyata hanya menambah luka dan rasa ketidakpercayaan publik.

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dalam bukunya Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006), menegaskan: “Menghormati guru bukan hanya kewajiban moral, tetapi fondasi kemanusiaan. Guru membentuk manusia agar bisa menghargai kemanusiaannya sendiri.”

Jika guru memang dihormati, maka penghormatan itu harus diwujudkan dalam tindakan, bukan hanya retorika.

Dari Retorika ke Kebijakan


Menjadi guru memang bukan jalan pintas untuk kaya. Tetapi bukan berarti guru harus pasrah hidup miskin. Kesejahteraan guru bukan soal tamak, melainkan soal keadilan. Bung Hatta dalam Demokrasi Kita (1960) menegaskan bahwa tujuan bangsa ini adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kesejahteraan guru bukan soal tamak, melainkan soal keadilan  

Jika para pejabat percaya guru penuh keberkahan, mengapa mereka sendiri tidak rela hidup hanya dengan keberkahan tanpa tunjangan fantastis?

Guru adalah garda depan bangsa. Maka, memuliakan guru harus diwujudkan lewat tindakan nyata: gaji layak, perlindungan hukum, dan fasilitas yang memadai. Kata-kata manis tak akan cukup, sebab perut guru dan masa depan murid tidak bisa diisi dengan retorika semata.

Oleh: Akid Waliyudin

Referensi

Dewantara, Ki Hajar. Pendidikan. Yogyakarta: Taman Siswa, 1936.

Tan Malaka. Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika. Jakarta: Lembaga Kebudayaan, 1943.

Tjokroaminoto, H.O.S. Islam dan Sosialisme. Surabaya: Drukkerij Bintang Hindia, 1924.

Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute, 2006.

Hatta, Mohammad. Demokrasi Kita. Jakarta: Pustaka Antara, 1960.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak