Penalaut.com - Sore itu kami sampai di ndalem Kiai Nur Khalik Ridwan. Seorang kiai yang enggan disapa “kiai”. Dalam salah satu kesempatan, Kiai Nur Khalik pernah mengatakan demikian: “Kalau saya K-nya itu kang, bukan kiai, sebab lebih muda dari Kiai Jadul Maula yang lebih senior dari saya. Beliau sudah haji pula,” kelekar beliau.
“Berarti kita doakan sama-sama, semoga sebentar lagi beliau naik haji,” tandas Kiai Jadul Maula yang seketika di-aamiini oleh para santri dan audien saat diskusi buku Waringin Sungsang Jawa di PP. Budaya Kaliopak Yogyakarta, 29 April 2025 lalu.
Kiai Nur Khalik adalah seorang kiai yang menganut paham (tasawuf) Malamatiyah, salah saru aliran tarekat yang mengedepankan kebersahajaan di tengah-tengah masyarakat serta memiliki sikap andhap asor, tawadhu', dan terus-menerus mengikis kesombongan dalam diri.
Setiba kami di rumah beliau, tampak dari depan rumah Kiai Nur Khalik berdindingkan joglo yang dihiasi ornamen ukiran kriya seni Jawa. Rumah beliau berada di pedesaan asri yang masih terdengar cuitan burung di kala senja hendak berganti malam.
Tepat setelah kami memarkir motor, beliau langsung hengkang berdiri dari tempat duduk dan meninggalkan kitab dan laptop yang memuat kalimat-kalimat yang tersusun rapih anggitan beliau. Tulisan itu adalah ilmu yang Allah ajarkan kepada Nabi Adam melalui nama-nama-Nya yang pusatnya adalah Nur Muhammad.
Hampir semua orang yang berkunjung dan silaturahim ke beliau, mereka akan menjumpai Kiai Nur Khalik sedang asyik menulis. Inilah rutinitas yang dilakukan beliau setiap hari: sejak pagi, siang, sore, hingga malam hari. Kecintaannya terhadap ilmu tidak hanya dibuktikan dengan perpustakaan pribadi yang berisi buku-buku, namun juga dengan karya-karya beliau yang lebih dari lima puluh buku, di usianya yang tak lagi muda.
Kecintaannya terhadap ilmu tidak hanya dibuktikan dengan perpustakaan pribadi yang berisi buku-buku, namun juga dengan karya-karya yang lebih dari lima puluh buku, di usianya yang tak lagi muda
Kiai Nur Khalik menyambut kami dan mempersilahkan duduk di emperan rumahnya, dengan segala ubo rampen dan makanan ringan. “Silakan dibuka, jangan sungkan-sungkan, dipaceti (dimakan, dicicipi). Tak tinggal sek diluk,” kata beliau seraya masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian dua gelas kopi hitam mendarat di meja kami; panas dan hitam membaur menjadi satu dalam secangkir gelas ukiran. Kopi hitam itu laksana seorang sufi yang ditempatkan, berbaur di manapun akan menyesuaikan tempatnya. Tanpa menghilangkan esensinya, dan terus-menerus bersama Gusti Allah.
Tepat di depan kami, dinding ukiran rumah beliau ada sebuah tulisan: “NDiko Publishing-Joglo Kesengsem”. Dengan logo “iwak telu sirah sanunggal” (tiga ikan satu kepala), sebagaimana lambang Kacirebonan (Kesultanan Kacirebonan) dan ilustrasi daripada ajaran Tarekat Syattariyah yang memiliki makna: ora pecah (kebersatuan), baik antara adam (manusia), Muhammad (syariat), dan Allah. Antara jasad, ruh, dan Allah maupun kesatuan tauhid antara zat, sifat, dan af’al. Atau bisa diartikan dengan wihdatul wujud, sebagaimana yang terdapat dalam Kitab Babon Petarekatan.
“Baru selesai kuliah?” kata beliau kepada kami. “Mboten Yai, (kami) mantun ngopi niki, di warkop.” Jawab kami kepada beliau. “Temanmu, Den [Dendy]?”. “Enggeh, Yai, alumni Ma’had Aly piyambak-e,” ujar temanku. “Enggeh, Yai. Kulo alumni Pondok Pesantren Ma’had Aly Raudhatul Muhibbin asuhan KH. Luqman Hakim,” aku menambahi.
“Saya dulu pernah bertemu Kiai Luqman Hakim sewaktu di UII. Saat itu UII sedang mengadakan acara dan Kiai Luqman Hakim menjadi pembicara,” seloroh Kiai Nur Khalik. “Jurusan sampean apa di sana?” tanya Kiai Nur Khalik kemudian. “Tasawuf, Yai,” jawabku singkat. Kemudian beliau bertanya kepadaku: “Sudah ngajuin (mengajukan) judul tesis?”. “Sampun, Yai. Kemarin kulo hendak meneliti konsep tajrid dan asbab Ibn Athaillah dan ditinjau menggunakan pemikiran Ibn Ajibah, tapi dereng ditampi.”
“Sekarang lagi pakai syatahat sufi ditinjau dari dekonstruksi Derrida,” sambungku. “Seharusnya pakai hermeneutika,” sahut Kiai Nur Khalik, “bukan dekonstruksi Derrida. Karena syatahat itu memang bukan kehendak sufi itu sendiri, melainkan kehendak Allah. Dan sang sufi tidak kuat untuk mengendalikannya, sehingga keluarlah kalimat-kalimat yang seakan menyalahi aturan syariat, sehingga terjadilah perbedaan satu sama lain. Oleh karena itu, menurut saya, paling pas kalau pakai hermeneutika. Tapi silakan dicoba saja pakai Derrida, barangkali bisa,” kata beliau sembari menikmati rokok lintingan.
“Atau bisa juga syatahat (dikaji) sebagai etika publik,” sambung beliau, “sebab telah menggoncangkan tatanan dunia, iya kan? Bagaimana ada sesuatu yang telah disepakati kemudian digoncangkan oleh sesuatu yang lain.”
“Syatahat itu manifestasi asma-asma Allah melalui ucapan seorang sufi, sehingga keluarlah nama Allah as-Subbuh, al-Quddus, al-Hannan, dan lain sebagainya, sesuai yang ada dalam diri sufi itu cocoknya apa. Dalam diri ini, ya keluar ini; seperti subhaani-nya Abu Yazid al-Bustami. Abu Yazid itu 'kan tokoh agung yang kemudian dari keturunannya (nasab bil-’ilmi) atau diturunkan kepada Syekh 'Ala al-Daulah al-Simnani dari Tarekat Kubrawi. Konon, disebutkan dalam al-Risalah al-Ghautsiyah karya Syekh Abdul Qadir al-Jailani, suatu ketika 'Ala al-Daulah al-Simnani juga seperti Abu Yazid al-Bustami, hanya saja dengan kalimat dan tampilan syatahat yang berbeda.”
“Atau bisa juga menggunakan Malamatiyah sebagai etika publik, sebab Malamatiyah itu memendam dirinya (self-criticism dan self-blance) untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, seperti kata Ibn Atha'illah: idfin wujudaka fi ardzilhumuul famanabata mimma lamyudfan layatimmu nitaajuhu (pendamlah reputasi dan ambisimu pada tanah kerendahan, sebab segala yang tumbuh dan bermekaran tanpa ditanam tak akan sempurna hasilnya). Sedangkan banyak sekarang orang-orang mencari popularitas akan tetapi kehilangan eksistensinya”.
Setelah memberi asupan intelektual-spiritual kepada kami, kemudian Kiai Nur Khalik bertanya kepadaku. “Asalmu mana, Mas?”. Tak lama kujawab: “Pekalongan, Yai”. “Saya dulu pernah ke sana (Pekalongan), tepatnya ke UIN,” tandas beliau.
Salah seorang teman di sampingku, lantas bertanya kepada Kiai Nur Khalik: “Sakniki lagi nulis nopo, Yai?”. “Sekarang saya nulis tentang Poskolonial Jawa, Mas.” Jawab beliau. Dengan terus menghisap tembakau yang di-linting sendiri, beliau melanjutkan. “Saya itu orang yang tidak bisa pindah-pindah pembahasan, sebelum yang ini (sedang ditulis) selesai. Banyak referensi Barat dalam tulisan ini, Mas. Barat itu sudah lama mengkaji kita dan sampai saat ini. Kajian mereka perlu kita baca secara cermat dan kritis, karenanya dibutuhkan kerja ekstra untuk menelitinya.” Jawaban Kiai Nur Khalik.
“Begitu juga dalam amaliyah. Ketika kalian masih dalam fase belajar, tugas kalian adalah belajar; mendalami dengan benar ilmu-ilmu tersebut sembari terus menulis. Kalau kalian masih dalam fase belajar, kok malah disibukkan dengan hal-hal lain, demikian keliru. Tugas mahasiswa, ya terus belajar,” nasihat Kiai Nur Khalik kepada kami.
Ketika kalian masih dalam fase belajar, tugas kalian adalah belajar; mendalami dengan benar ilmu-ilmu tersebut sembari terus menulis.
Barangkali seperti inilah kehidupan para pecinta ilmu. Setiap hari, kehidupan mereka tidak pernah lepas dari ilmu. Dan sebagai amaliyah, mereka mencurahkan ilmu itu untuk kepentingan sosial-masyarakat, seperti Kiai Nur Khalik Ridwan ini. Bagaimana tidak, setelah kemarin beliau menerbitkan buku Waringin Sungsang Jawa: Sunan Kalijaga dan Para Muridnya (IRCiSoD, 2025), kini sudah meneliti dan menulis topik lain.
Dari beliau, kita mendapatkan pelajaran berharga: belajar tidak pernah mengenal usia. Kiai Nur Khalik Ridwan, sampai saat ini, terus belajar dan menulis. Beliau tetap produktif, meski usia tak lagi muda. Wallahu a’lam.(*)
Oleh: M. Fatih Qosdana, Santri PP. Ma’had Aly Raudhatul Muhibbin. Sekarang sedang menempuh Program Magister AFI UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta



Posting Komentar