Penalaut.com - Beberapa pekan terakhir, ruang digital di Indonesia dipenuhi dengan suara yang sama: keluhan, kritik, bahkan sindiran pedas terhadap pemerintah. Isu yang dibicarakan beragam, mulai dari harga kebutuhan pokok yang terus meroket, tunjangan pejabat yang terasa tidak masuk akal, hingga kebijakan yang dianggap lebih berpihak kepada elite politik ketimbang masyarakat biasa. Satu benang merah dapat ditarik dari semua percakapan ini yaitu kepercayaan rakyat mulai terkikis.
Fenomena semacam ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Sejak lama, masyarakat kerap melontarkan kritik terhadap penguasa, baik secara terbuka maupun terselubung. Namun, di era media sosial, ekspresi ketidakpuasan ini menjadi lebih terlihat, lebih gamblang, dan lebih mudah menyebar. Dari percakapan di warung kopi hingga unggahan di linimasa X (Twitter) dan Instagram, kita bisa melihat bagaimana rasa jenuh terhadap janji-janji yang tak kunjung ditepati makin hari makin kuat.
Seorang pengguna media sosial bahkan dengan sinis menuliskan komentar yang kemudian viral: “Buat apa kita bayar pajak, kalau ujung-ujungnya yang menikmati pejabat?” Kalimat sederhana ini mewakili perasaan banyak orang yang merasa bekerja keras, membayar kewajiban, tetapi tidak mendapat imbal balik yang setimpal dari negara.
Krisis Kepercayaan sebagai Retakan Demokrasi
Krisis kepercayaan seperti ini ibarat retakan kecil di dinding rumah. Pada awalnya mungkin tidak terlalu mencolok, tetapi jika dibiarkan, retakan itu bisa melebar dan akhirnya meruntuhkan bangunan. Dalam konteks demokrasi, kepercayaan publik adalah fondasi yang menopang legitimasi pemerintah. Ketika rakyat tidak lagi percaya, sebesar apapun program yang ditawarkan, sehebat apapun kebijakan yang dirumuskan, ia bisa ditolak hanya karena datang dari pihak yang dianggap tidak kredibel.Dalam konteks demokrasi, kepercayaan publik adalah fondasi yang menopang legitimasi pemerintah
Artinya, krisis ini bukan sekadar soal citra atau popularitas, melainkan menyentuh inti dari relasi antara rakyat dengan pemerintah. Demokrasi bukan hanya prosedur lima tahunan di bilik suara, melainkan sebuah perasaan kolektif bahwa rakyat dan penguasa sedang berada dalam perahu yang sama, berlayar menuju tujuan bersama. Jika rasa percaya itu runtuh, maka kapal besar bernama Indonesia bisa kehilangan arah.
Suara dari Warung Kopi
Di sebuah warung kopi kecil di Surabaya Utara, Ahmad, seorang sopir ojek daring, berbagi keluhannya tentang harga beras yang kian melambung. “Sekilo aja sekarang bikin keringat keluar dulu,” ujarnya sambil menyeruput kopi hitamnya. Ia tertawa getir saat ditanya mengenai kabar tunjangan miliaran rupiah anggota DPR yang sempat heboh. “Kita yang bayar pajak, mereka yang foya-foya. Wajar kalau orang sekarang nggak percaya lagi,” tambahnya.Cerita Ahmad bukan satu-satunya. Di berbagai kota, dari pasar tradisional hingga ruang digital, keluhan serupa menggema. Ada yang disampaikan dengan nada humor, ada pula yang dilontarkan dengan penuh kemarahan. Fenomenanya sama: masyarakat merasa semakin jauh dari para pengambil keputusan. Kebijakan publik seolah tidak menyentuh kebutuhan mendasar rakyat kecil, sementara elite politik asyik dengan kepentingannya sendiri.
Data dan Kenyataan yang Kontras
Namun menariknya, survei Indikator Politik Indonesia pada Mei 2025 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap Presiden Prabowo Subianto masih terbilang tinggi, yakni sekitar 82,7%. Lembaga seperti TNI bahkan menempati posisi teratas dengan angka kepercayaan mencapai 85,7%. Kontrasnya, DPR dan partai politik justru berada di posisi terbawah, masing-masing hanya 71% dan 65,6%.Data ini memperlihatkan sebuah ironi. Rakyat masih menaruh harapan pada figur tertentu atau lembaga yang dianggap dekat dengan rakyat, tetapi di saat yang sama mereka mulai kehilangan percaya terhadap lembaga politik formal. Kondisi ini menunjukkan adanya jurang antara harapan simbolik kepada pemimpin dan kenyataan pahit yang ditampilkan oleh institusi politik.
Dengan kata lain, kepercayaan publik tidak sepenuhnya hilang, tetapi bersifat selektif. Rakyat masih bisa percaya pada sosok tertentu yang dianggap punya integritas, namun sulit percaya kepada lembaga yang dianggap penuh kepentingan dan jauh dari keseharian masyarakat.
Mengapa Rakyat Merasa Jauh?
Ada beberapa faktor yang menjelaskan mengapa krisis kepercayaan ini menguat. Pertama, masalah transparansi. Kebijakan publik sering kali dirumuskan secara elitis, tanpa penjelasan yang terbuka kepada masyarakat. Anggaran triliunan rupiah bisa saja diketok, tetapi rakyat tidak pernah tahu detail pemanfaatannya.Kedua, integritas pejabat publik. Kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang terus berulang membuat masyarakat semakin skeptis. Bagaimana mungkin rakyat percaya, jika hampir setiap bulan ada saja pejabat yang ditangkap KPK?
Ketiga, minimnya partisipasi rakyat. Demokrasi sering kali direduksi menjadi sekadar pemilu lima tahunan. Padahal, rakyat seharusnya dilibatkan dalam setiap proses kebijakan yang menyangkut hidup mereka, baik melalui dialog publik, forum musyawarah, maupun kanal digital yang sehat.
Jalan untuk Memulihkan Kepercayaan
Meski situasi tampak muram, bukan berarti jalan buntu. Ada beberapa langkah konkret yang bisa ditempuh untuk memperbaiki retakan kepercayaan ini. Pertama, transparansi harus menjadi prioritas. Kebijakan publik perlu dijelaskan secara jernih: apa tujuannya, bagaimana mekanismenya, dan apa dampaknya bagi masyarakat. Keterbukaan informasi akan meminimalisir ruang spekulasi dan kecurigaan.Kedua, integritas pejabat publik harus ditunjukkan melalui tindakan nyata. Tidak ada lagi toleransi bagi korupsi, penyalahgunaan anggaran, atau penyalahgunaan kekuasaan. Penegakan hukum harus tegas, adil, dan tanpa pandang bulu.
Ketiga, partisipasi rakyat harus diperluas. Demokrasi sejati adalah ketika suara rakyat tidak hanya terdengar saat pemilu, tetapi juga dalam proses sehari-hari pengambilan kebijakan. Rakyat perlu diberi ruang untuk menyampaikan aspirasi melalui forum, diskusi, hingga platform digital yang sehat dan tidak sekadar menjadi ruang gaduh.
Demokrasi dan Rasa Percaya
Pada akhirnya, demokrasi bukan sekadar prosedur teknis, melainkan perasaan kolektif. Demokrasi berdiri tegak ketika rakyat merasa didengar, dilibatkan, dan dihargai. Sebaliknya, demokrasi rapuh ketika rakyat merasa ditinggalkan.Demokrasi bukan sekadar prosedur teknis, melainkan perasaan kolektif
Kembali ke warung kopi, Ahmad mengangkat cangkirnya sebelum kembali bekerja. “Kalau pemerintah mau dengar rakyat kecil kayak saya, mungkin kita masih bisa percaya,” katanya pelan. Kalimat sederhana itu sesungguhnya menyimpan kunci besar: demokrasi tidak berdiri di atas kursi kekuasaan, melainkan di atas pondasi kepercayaan rakyat.
Dan selama kepercayaan itu masih bisa dipulihkan, rumah demokrasi Indonesia tetap punya harapan untuk berdiri kokoh. Pertanyaannya: apakah pemerintah berani membuka diri sebelum retakan itu menjalar lebih jauh?
Oleh: Imron Rosadi, Dra. Khodijah, M.Si., dan Ahmad Khoirudin, S.Ag. M.Psi
Dan selama kepercayaan itu masih bisa dipulihkan, rumah demokrasi Indonesia tetap punya harapan untuk berdiri kokoh. Pertanyaannya: apakah pemerintah berani membuka diri sebelum retakan itu menjalar lebih jauh?
Oleh: Imron Rosadi, Dra. Khodijah, M.Si., dan Ahmad Khoirudin, S.Ag. M.Psi
Posting Komentar