Namun, di balik semangat itu, muncul kegelisahan yang tak kalah penting: mengapa setiap kali isu tentang pesantren mencuat, begitu banyak orang merasa harus segera bersuara? Apakah pembelaan tersebut lahir dari kesadaran yang mendalam, atau sekadar cerminan FOMO (Fear of Missing Out) sosial untuk tidak tertinggal dari percakapan moral yang sedang ramai di ruang publik?
Banyak orang merasa perlu segera menanggapi isu agar tidak dianggap tidak peduli. Akibatnya, ruang digital sering kali dipenuhi dengan opini yang terburu-buru sebelum sempat diolah secara mendalam
Saya memaknai kalimat itu sebagai refleksi atas situasi hari ini, bahwa yang paling cepat bereaksi sering dianggap paling peduli, sementara mereka yang memilih diam untuk berpikir kerap disalahpahami sebagai acuh. Dalam arus semacam ini, refleksi sering tersisih oleh reaksi, dan solidaritas berubah menjadi performa sosial. Banyak yang takut kehilangan kesempatan tampil, ketimbang kehilangan kesempatan memahami. Fenomena ini menunjukan bagaimana kecepatan sering kali menggantikan kedalam dalam budaya digital saat ini.
Dalam konteks pembelaan terhadap pesantren, media sosial sering kali hanya menjadi ajang performa moral bagi seseorang, bukan ruang dialog yang mendalam. Hal semacam ini tentu dapat berakibat pada perdebatan tentang pesantren yang kerap berhenti pada kontestasi citra, bukan pada pencarian kebenaran yang sesungguhnya.
Namun, kendati demikian, tidak semua yang bersuara tentang pesantren melakukannya karena dorongan FOMO sosial. Banyak di antara mereka yang berbicara berlandaskan kejujuran dan tanggung jawab, menjaga marwah pesantren dengan kesadaran penuh. Tulisan ini tidak bermaksud merendahkan semangat itu, melainkan mengingatkan bahwa “keberpihakan yang sejati menuntut kedalaman berpikir”. Solidaritas yang matang bukanlah yang paling cepat bersuara, melainkan yang paling tenang memahami konteks sebelum berpendapat.
Keberpihakan yang sejati menuntut kedalaman berpikir
Mengenai hal ini, menurut saya kita perlu menengok kembali pandangan Hannah Arendt tentang tindakan moral. Dalam pandangan filsuf kelahiran Jerman itu, tindakan moral sejati tidak lahir dari sekadar mengikuti arus, melainkan dari kemampuan manusia untuk berpikir dan berdialog dengan dirinya sendiri sebelum bertindak di hadapan publik.
Dalam konteks pembelaan terhadap pesantren, refleksi ini menjadi penting, sebab membela pesantren seharusnya tidak berhenti pada sikap reaktif, akan tetapi berangkat dari kesadaran yang mendalam bahwa pesantren bukan hanya simbol keagamaan yang harus di jaga atau dibela, melainkan juga ruang kemanusiaan yang mengikuti dinamika zaman. Dengan begitu, setiap peristiwa yang terjadi dapat dimaknai bukan sebagai celaan, tetapi sebagai proses evaluasi dan berbaikan bersama.
Kesadaran reflektif semacam ini penting dimunculkan ketika merespons berbagai anggapan bahwa kultur pesantren sarat dengan feodalisme. Pandangan semacam ini kerap datang dari pembacaan luar yang tidak memahami struktur sosial di dalamnya. Dalam konteks ini, sikap santri pada kiai atau guru bisa dijadikan contoh. Padahal, bagi santri, penghormatan terhadap kiai bukanlah bentuk keterpaksaan, melainkan kesadaran spiritual dan kultural yang berakar pada keyakinan akan keberkahan ilmu.
Kesadaran reflektif semacam ini penting dimunculkan ketika merespons berbagai anggapan bahwa kultur pesantren sarat dengan feodalisme. Pandangan semacam ini kerap datang dari pembacaan luar yang tidak memahami struktur sosial di dalamnya. Dalam konteks ini, sikap santri pada kiai atau guru bisa dijadikan contoh. Padahal, bagi santri, penghormatan terhadap kiai bukanlah bentuk keterpaksaan, melainkan kesadaran spiritual dan kultural yang berakar pada keyakinan akan keberkahan ilmu.
Penghormatan terhadap kiai bukanlah bentuk keterpaksaan, melainkan kesadaran spiritual dan kultural yang berakar pada keyakinan akan keberkahan ilmu
Namun, hal itu tentu tidak berarti bahwa seluruh praktik di dalam pesantren tidak ada celah sama sekali. Sebagai lembaga sosial, pesantren juga memiliki ruang-ruang yang perlu dievaluasi. Karena itu, berbagai peristiwa yang mencuat ke publik semestinya dibaca bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai kesempatan untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan tanggung jawab moral.
Pada akhirnya, membela pesantren bukan sekadar tentang menjaga nama baik lembaga, tetapi tentang meneguhkan makna kemanusiaan yang hidup di dalamnya. Pesantren lahir dari semangat keilmuan, keikhlasan, dan tanggung jawab moral yang harus terus dipelihara di tengah perubahan zaman. Maka, pembelaan yang sejati bukanlah yang paling keras bersuara, melainkan yang paling jernih berpikir dan paling sabar memperbaiki.
Pada akhirnya, membela pesantren bukan sekadar tentang menjaga nama baik lembaga, tetapi tentang meneguhkan makna kemanusiaan yang hidup di dalamnya. Pesantren lahir dari semangat keilmuan, keikhlasan, dan tanggung jawab moral yang harus terus dipelihara di tengah perubahan zaman. Maka, pembelaan yang sejati bukanlah yang paling keras bersuara, melainkan yang paling jernih berpikir dan paling sabar memperbaiki.
Sebab cinta terhadap pesantren sejatinya tidak diukur dari seberapa cepat kita bereaksi, tetapi dari seberapa dalam kita memahami dan menumbuhkan nilai-nilai yang menjadikannya tetap relevan bagi kehidupan manusia hari ini.
Oleh: Nur Laili, Mahasiswa Program Magister PAI UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Posting Komentar