BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Menakar Arah Baru Indonesia: Antara Stabilitas, Pertumbuhan, dan Demokrasi yang Teruji

Penalaut.com
- Indonesia tengah berada di persimpangan penting antara menjaga stabilitas moneter, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mempertahankan kualitas demokrasi. Isu-isu mutakhir yang mencuat – mulai dari rencana perluasan mandat Bank Indonesia, kebijakan pemangkasan suku bunga, paket stimulus ekonomi, revisi UU militer, hingga dinamika kabinet – merefleksikan satu persoalan besar: bagaimana pemerintah menyeimbangkan antara kebutuhan mendesak ekonomi dan tuntutan fundamental demokrasi. 

Tujuan dari langkah-langkah kebijakan ini jelas, yakni menciptakan stabilitas makro sekaligus menjawab tekanan sosial politik yang semakin kuat. Namun, keseimbangan tersebut tidak mudah, dan bahkan berpotensi menciptakan risiko baru jika dijalankan secara terburu-buru tanpa partisipasi publik yang memadai.

Pertama, rencana pemerintah untuk memperluas peran Bank Indonesia (BI) agar tidak hanya menjaga stabilitas rupiah, tetapi juga secara eksplisit memprioritaskan pertumbuhan ekonomi, menimbulkan perdebatan serius. Independensi bank sentral merupakan salah satu kunci kepercayaan investor dan stabilitas jangka panjang. Jika BI dipaksa menyesuaikan diri terlalu jauh dengan agenda politik jangka pendek, risiko intervensi politik akan meningkat. Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa bank sentral yang independensinya lemah cenderung menghadapi volatilitas inflasi lebih tinggi dan pelemahan mata uang yang berkepanjangan (Financial Times, September 2025).

Kedua, keputusan BI memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 4,75% merupakan langkah berani sekaligus kontroversial. Di satu sisi, ini diharapkan merangsang permintaan domestik, terutama konsumsi rumah tangga dan investasi sektor riil. Namun, di sisi lain, langkah ini diambil di tengah pelemahan rupiah yang sudah mencapai hampir Rp16.200 per dolar AS pada awal September 2025, sehingga ada risiko pelebaran defisit transaksi berjalan (Reuters, September 2025). Di sinilah dilema klasik muncul: apakah prioritas utama harus mendorong pertumbuhan atau menjaga stabilitas nilai tukar.

Ketiga, pemerintah mencoba menambal risiko ekonomi jangka pendek dengan meluncurkan paket stimulus Rp16,23 triliun. Angka ini, meski terkesan besar, sebenarnya hanya sekitar 0,07% dari total PDB Indonesia yang diperkirakan mencapai Rp23.000 triliun pada 2025. Dengan demikian, dampaknya terhadap pertumbuhan mungkin tidak akan signifikan, apalagi bila dibandingkan dengan besarnya tekanan global. Publik pun menilai stimulus ini tidak cukup, karena tuntutan mereka bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga hak asasi manusia, transparansi anggaran, dan penghentian kriminalisasi demonstran (Reuters, September 2025). Dengan kata lain, kebijakan fiskal tidak dapat menutup defisit kepercayaan publik yang bersifat politis.

Keempat, protes publik semakin terakumulasi dalam isu revisi UU militer yang saat ini tengah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Kritik utama adalah proses revisi yang dianggap tidak transparan dan minim partisipasi. Jika MK menilai bahwa UU ini inkonstitusional dari sisi prosedural, maka kepercayaan masyarakat terhadap check and balance institusi negara dapat meningkat. Namun, jika MK justru membiarkan perluasan peran militer dalam urusan sipil, maka risiko kembalinya “politik keamanan” ala masa lalu semakin terbuka. Situasi ini menempatkan demokrasi Indonesia di ujung tanduk: apakah akan maju dengan tata kelola sipil yang kuat atau mundur dengan kontrol militeristik (Reuters, September 2025).

Kelima, reshuffle kabinet yang melibatkan pergantian pejabat kunci seperti Angga Raka Prabowo sebagai Kepala BKP dan arahan baru Menko Polkam Djamari Chaniago juga menjadi bagian dari strategi pemerintah menata ulang birokrasi di tengah krisis. Pergantian pejabat bisa dipahami sebagai upaya mempercepat eksekusi kebijakan, tetapi juga bisa dibaca sebagai manuver politik untuk mengamankan dukungan internal. Dalam banyak kasus, publik melihat reshuffle lebih sebagai pertunjukan politik ketimbang solusi substantif bagi masalah ekonomi dan sosial (MPN Indonesia, September 2025).

Menurut saya, seluruh dinamika ini menunjukkan satu pola besar: pemerintah sedang mencoba menjahit legitimasi politik lewat kombinasi kebijakan ekonomi dan restrukturisasi kekuasaan. Namun, jika masalah mendasar berupa keterbukaan politik, transparansi anggaran, dan penegakan HAM tidak diatasi, maka setiap kebijakan ekonomi hanya akan bersifat tambal sulam. Bahkan, stimulus fiskal dan moneter bisa kehilangan daya guna karena publik sudah kehilangan rasa percaya. Keberlanjutan kebijakan membutuhkan fondasi politik yang kokoh, bukan hanya angka-angka makro yang tampak meyakinkan di atas kertas.

Dengan demikian, kesimpulannya, arah baru Indonesia sebaiknya tidak sekadar menekankan pertumbuhan ekonomi atau penguatan otoritas eksekutif, tetapi juga harus menempatkan demokrasi dan partisipasi publik sebagai pilar utama. Bank Indonesia yang independen, Mahkamah Konstitusi yang berani, serta kabinet yang akuntabel adalah syarat mutlak untuk memastikan bahwa stabilitas tidak dibeli dengan mengorbankan kebebasan. Pertumbuhan ekonomi hanya akan bermakna bila ditopang legitimasi politik yang kuat dan kepercayaan masyarakat yang terjaga. Di tengah guncangan global dan protes domestik, keseimbangan inilah yang paling mahal nilainya bagi masa depan Indonesia.


Oleh: Nashrul Mu'minin, Content Writer Yogyakarta
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak