BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Setangkai Kangkung di Tengah Duka

Penalaut.com
- Di sebuah kampung kecil di pinggiran Lamongan, hidup seorang lelaki paruh baya bernama Pak Darto. Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar menampakkan sinarnya, ia sudah mendorong gerobaknya yang penuh dengan ikatan kangkung segar dari sawah. Bajunya sederhana, celana kain yang warnanya mulai pudar, dan sandal jepit yang sudah aus di bagian tumit. Namun, dari wajahnya terpancar ketulusan yang sulit disembunyikan.

Kangkung adalah sumber penghidupannya. Ia menjual sayur itu keliling kampung hingga ke pasar kecil di ujung desa. Meskipun hasilnya tidak seberapa, Pak Darto tak pernah mengeluh. Ia selalu berkata pada istrinya, “Yang penting cukup buat makan dan bisa bantu orang lain. Rezeki itu bukan cuma buat diri sendiri.”

Suatu sore, ketika langit tampak muram dan awan hitam menggantung, kabar duka datang dari rumah Bu Minah, tetangga sebelah rumah Pak Darto. Suaminya, Pak Samin, meninggal dunia karena sakit yang sudah lama dideritanya. Suasana kampung berubah sendu. Warga berdatangan, sebagian membawa air, sebagian lagi membawa makanan untuk membantu keluarga yang berduka.

Pak Darto, yang baru saja pulang dari pasar, meletakkan gerobaknya di depan rumah. Ia menatap rumah Bu Minah yang ramai pelayat dengan tatapan iba. Tanpa berpikir panjang, ia segera masuk ke rumah, mengambil beberapa ikatan kangkung segar yang belum sempat dijual, lalu berjalan menuju rumah duka. Sesampainya di sana, ia langsung membantu menyiapkan makanan untuk para tamu. Ia memetik daun-daun kangkung satu per satu, mencucinya, lalu memasaknya di dapur bersama ibu-ibu kampung.

“Pak Darto, panjenengan kok repot-repot bantu? Panjenengan kan juga capek habis jualan,” kata Bu Lastri, salah satu tetangga yang sedang menumis bawang. Pak Darto tersenyum. “Ora opo-opo, Bu. Wong kita iki urip kudu saling ngangkat beban. Kangkung iki ora sepiro regane, tapi semoga iso dadi berkah kanggo sing lagi susah.”

Sejak hari itu, nama Pak Darto semakin dikenal bukan karena kangkungnya yang segar, tapi karena kebaikan hatinya. Setiap kali ada tetangga yang tertimpa musibah—entah kebakaran kecil, anak sakit, atau orang tua meninggal—Pak Darto selalu menjadi orang pertama yang datang membantu. Kadang ia membawa sayuran, kadang tenaga, kadang sekadar hadir menemani dalam diam. “Orang seperti Pak Darto itu langka,” ujar Pak RT suatu ketika. “Rezekinya mungkin tidak besar, tapi hatinya luas sekali.”

Bagi Pak Darto, membantu orang lain bukanlah beban. Ia meyakini bahwa setiap bantuan kecil adalah bentuk rasa syukur atas kehidupan. Ia sering berkata kepada anak-anak muda di kampung, “Kebaikan itu kayak kangkung, tumbuhnya gampang, asal kita mau nyebar benihnya. Ora kudu nunggu sugih, nunggu kuat, sing penting niat.”

Namun, kehidupan tak selalu berjalan mulus. Suatu pagi, kabar mengejutkan datang: rumah Pak Darto terbakar karena korsleting listrik. Semua warga segera berlari ke arah sumber api. Dengan alat seadanya, mereka berusaha memadamkan kobaran api yang melahap rumah sederhana itu. Pak Darto hanya bisa berdiri, menatap rumahnya yang perlahan menjadi abu. Istrinya menangis di pelukannya, sementara tetangga-tetangga yang dulu sering dibantunya kini bergantian menenangkan.

Setelah api padam, rumah itu tinggal puing-puing hangus. Tak ada lagi atap, hanya arang kayu dan abu yang berserakan. Namun, dari reruntuhan itu, warga kampung melihat sesuatu yang menggetarkan hati. Di dekat dapur yang sudah hangus, masih ada satu ikatan kangkung segar yang tak tersentuh api—seolah-olah Tuhan sengaja menyisakannya.

Bu Minah, yang dulu pernah ditolong Pak Darto, mengambil ikatan kangkung itu dan menatapnya sambil meneteskan air mata. “Setangkai kangkung ini saksi kebaikan panjenengan, Pak Darto,” katanya lirih. “Sekarang giliran kami bantu panjenengan.” 

Hari-hari berikutnya, warga kampung bergotong royong membangun kembali rumah Pak Darto. Ada yang menyumbang genting, ada yang menyumbang papan, ada pula yang sekadar memberi tenaga. Dalam waktu singkat, rumah kecil itu berdiri lagi—lebih kokoh, lebih hangat, dan penuh cinta.

Beberapa pekan kemudian, Pak Darto kembali berjualan. Gerobaknya masih sama, tapi di dalamnya kini terselip sebuah doa yang tumbuh dari banyak hati. Setiap kali melewati rumah Bu Minah, anak-anak kecil berlari menyapanya, “Pak Darto, penjual kangkung yang baik hati!” Pak Darto hanya tertawa kecil. “Alhamdulillah, nak. Mugi kabeh tansah sehat, yo.”

Ia terus berjalan di jalan tanah kampung itu, di bawah sinar mentari yang hangat. Gerobaknya berderit pelan, sementara suara burung pagi menambah semarak suasana. Di dalam keranjang kangkungnya, seolah-olah tersimpan pesan sederhana: bahwa kebaikan tak pernah benar-benar hilang, bahkan di tengah duka. Ia mungkin hanya seorang penjual kangkung, tapi dari tangannya tumbuh hijau kebaikan yang menghidupkan hati banyak orang.


Oleh: Fathan Faris Saputro (Koordinator Divisi Pustaka dan Informasi MPID PDM Lamongan)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak