Mereka yang mengalami toxic parenting ini sering kali menyimpan luka batin yang dalam, yang dampaknya tak hanya memengaruhi masa kecil mereka, tapi juga masa depan mereka.
Dalam kasus nyata yang saya kaji, seorang anak laki-laki hidup di tengah keluarga di mana kehadirannya dianggap sebagai beban.
Dalam kasus nyata yang saya kaji, seorang anak laki-laki hidup di tengah keluarga di mana kehadirannya dianggap sebagai beban. Ia berbeda secara fisik dan perilaku dari saudara-saudaranya, dan kelahiran yang terlalu berdekatan dengan saudaranya membuat sang ibu merasa tertekan dan khawatir akan karirnya. Akibatnya, anak ini sering mendapat stigma negatif sebagai nakal dan sulit diatur, hingga mempengaruhi perilaku sosialnya di sekolah.
Fenomena ini jauh lebih dari sekadar konflik keluarga biasa; ini adalah potret nyata dari masalah sosial serius yang disebut toxic parenting. Ketika ruang keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan penuh cinta, berubah menjadi ladang luka, anak-anak kehilangan banyak hal: kasih sayang, pengakuan, dan yang paling krusial, kepercayaan pada diri mereka sendiri.
Diagnosis Kasus
Dari sudut pandang patologi sosial, pola asuh seperti ini merupakan penyakit yang merusak fungsi keluarga sebagai unit sosial utama. Secara ideal, keluarga (seharusnya) menjadi sumber dukungan yang menyediakan kasih sayang dan perhatian secara adil kepada setiap anggotanya.Namun, dalam kasus ini, ibu gagal memenuhi peran tersebut. Pengabaian dan perbandingan negatif yang terus-menerus melanggar prinsip keadilan dan norma moral yang harusnya dijunjung tinggi dalam hubungan keluarga.
Ketidakseimbangan pengasuhan ini tidak hanya mengabaikan hak-hak emosional anak, tetapi juga mengarah pada kekerasan psikologis yang berbahaya. Memberi label negatif, mengucilkan, dan membandingkan anak secara destruktif sebenarnya adalah bentuk kekerasan yang halus tapi berdampak dalam. Ini bukan hanya persoalan kegagalan individu, tetapi juga kegagalan sosial yang harus menjadi perhatian bersama.
Analisis Penyebab
Untuk memahami mengapa pola toxic parenting ini muncul, penting untuk melihatnya dari berbagai sudut pandang teori sosial dan psikologi:- Burnout Emosional (Herbert Freudenberger): tekanan dan kelelahan yang dialami ibu akibat kehamilan beruntun dan peran ganda mengurangi kemampuannya dalam merespons kebutuhan anak dengan optimal.
- Role Strain (William J. Goode): ibu yang harus menjalani peran bertumpuk sebagai pengasuh dan pekerja merasa tertekan secara psikologis, yang berimbas pada pola asuh yang kurang sehat.
- Disorganisasi Sosial (Clifford Shaw dan Henry McKay): Keluarga tanpa dukungan sosial dan institusional yang kuat rentan mengalami disfungsi, yang memengaruhi stabilitas dan pola pengasuhan.
- Labeling Theory (Howard Becker): anak yang terus diberi label negatif seperti “nakal” cenderung menginternalisasi identitas tersebut, sehingga perilakunya mengikuti label itu.
- Teori Psikososial (Erik Erikson): kurangnya pengakuan dan dukungan emosional menghambat perkembangan identitas dan rasa percaya diri anak, membuatnya sulit tumbuh secara sehat secara mental.
- Strain Theory (Robert K. Merton): tekanan budaya dan sosial yang menuntut keseragaman dan prestasi dapat mendorong perilaku perbandingan yang destruktif dalam pola asuh.
Faktor-faktor ini saling terkait dan memperkuat satu sama lain, membentuk pola toxic parenting yang sulit diputus tanpa intervensi yang tepat dan berkelanjutan.
Dampak Kasus
Dampak toxic parenting tidak hanya dirasakan oleh anak secara personal, tapi juga meluas ke keluarga dan masyarakat:- Pada anak: mereka berisiko mengalami gangguan psikologis seperti rendah diri, kecemasan, dan depresi. Rasa terasing dan kurangnya pengakuan dapat menimbulkan luka batin yang mempengaruhi kepribadian dan kemampuan sosial anak di masa depan.
- Dalam keluarga: ketegangan dan konflik berkepanjangan sering muncul akibat kurangnya empati dan komunikasi yang sehat. Suasana rumah menjadi tidak kondusif dan penuh tekanan.
- Di lingkungan sosial: anak yang frustrasi bisa menunjukkan perilaku menyimpang sebagai cara mencari perhatian dan pelarian dari luka emosional yang dialami.
- Jangka panjang: pola toxic parenting yang tidak ditangani dapat diwariskan dari generasi ke generasi, menciptakan siklus problematik yang sulit diputus.
Pandangan Pribadi
Menurut saya, toxic parenting bukan hanya masalah individu antara ibu dan anak, tetapi juga menunjukkan kegagalan sistem sosial untuk memberikan dukungan yang memadai kepada keluarga. Anak yang tumbuh tanpa pengakuan dan kasih sayang akan berusaha mencari perhatian dengan cara apapun, meskipun itu bisa berujung pada perilaku negatif.Toxic parenting bukan hanya masalah individu antara ibu dan anak, tetapi juga menunjukkan kegagalan sistem sosial untuk memberikan dukungan yang memadai kepada keluarga.
Di sisi lain, ibu yang mengalami tekanan emosional dan fisik berlebihan membutuhkan perhatian dan dukungan agar dapat menjalankan perannya dengan baik.
Hal ini menandakan bahwa solusi harus bersifat holistik, memperhatikan kebutuhan anak sekaligus kondisi dan kesejahteraan orang tua.
Solusi yang Dapat Ditempuh
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang menyeluruh dan berkelanjutan:- Edukasi parenting berkesadaran untuk meningkatkan pemahaman orang tua bahwa setiap anak unik dan membutuhkan pendekatan yang sesuai dengan karakternya.
- Pendampingan psikologis bagi anak dan orang tua, melalui konseling untuk memulihkan kelelahan emosional dan membangun kembali kepercayaan diri serta keterampilan mengatur emosi.
- Peran guru dan konselor sekolah sebagai penyedia ruang aman di lingkungan pendidikan yang memungkinkan anak berekspresi secara positif. Penguatan dukungan sosial dari komunitas dan keluarga besar untuk membantu meringankan beban pengasuhan dan menciptakan lingkungan yang suportif.
- Kampanye anti perbandingan destruktif yang digagas oleh media dan lembaga pendidikan guna mengedukasi masyarakat luas tentang bahayanya praktik tersebut.
Penutup
Membangun keluarga yang sehat dan penuh kasih sayang bukan hanya tanggung jawab individu, tapi juga tanggung jawab sosial dan institusional. Dengan mengedepankan pola asuh yang inklusif dan penuh empati, kita dapat membantu anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang kuat, percaya diri, dan berdaya.Membangun keluarga yang sehat dan penuh kasih sayang bukan hanya tanggung jawab individu, tapi juga tanggung jawab sosial dan institusional.
Semoga tulisan ini menjadi pengingat bahwa setiap anak berhak mendapatkan ruang untuk dicintai dan dihargai, bukan hanya menjadi obyek perbandingan yang menyakitkan.
Oleh: Mahda Syarifah, Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi, UIN Sunan Ampel Surabaya
Posting Komentar