Namun keadaan berubah drastis tatkala muncul proyek raksasa bernama pembangunan taman wisata di sekitar wilayah mereka. Dari total area wisata yang konon mencapai keluasan 300 hektar lebih, sekitar 80 persen lahannya berada di wilayah desa. Sebagian besar area yang kini menjadi taman wisata ternama itu, dulunya adalah ladang, kebun, dan pemukiman warga desa.
Lahan-lahan itu perlahan berpindah tangan. Pemilik modal datang dengan tawaran harga yang menggoda. Mereka membawa proposal bernama “pembangunan wisata” yang konon katanya akan membawa harum nama desa. Banyak warga menjual tanahnya karena tergoda dengan tawaran harga, ataupun desakan kebutuhan ekonomi yang kian menggurita.
Dalam waktu singkat, ruang hidup masyarakat desa pun berubah. Ladang yang dulu ditanami jagung, ketela, kopi dan aneka tanaman kebun, kini berubah menjadi lahan wisata lengkap dengan sarana hotel, pertokoan modern, café, dan tempat hiburan.
Perluasan dan Tekanan
Ketika taman wisata itu berkembang pesat, kebutuhan akan lahan tambahan pun meningkat. Investor mulai memperluas proyek untuk membangun hotel, pertokoan modern, jalan baru, dan berbagai fasilitas pendukung lainnya. Dalam tahap inilah, area Desa Harapan Makmur kembali menjadi target.Berbeda dengan dulu, kali ini penawaran harga tidak lagi sekadar iming-iming. Berbagai instrumen kekuasaan mulai bekerja. Surat-surat izin keluar dengan cepat, aparat keamanan sering datang dalam agenda “pengamanan proyek”, dan beberapa warga yang menolak menjual tanahnya mulai mendapatkan tekanan.
Bagi investor, lahan Desa Makmur tak ubahnya ruang bisnis yang harus “dikapitalisasi”. Tapi bagi warga, tanah itu adalah bagian dari kehidupan mereka. Ketika kepemilikan berubah, makna sosial, budaya dan ekologis desa pun ikut bergeser.
Munculnya Perlawanan
Di tengah arus modal itu, Pak Sastro, sang kepala desa Harapan Makmur, memilih untuk tidak diam. Sebagai mantan aktivis lingkungan, ia tahu betul apa yang akan terjadi jika seluruh lahan berpindah tangan. Ia memahami bahwa pembangunan yang tidak mengindahkan keseimbangan alam akan berujung pada kerusakan ekologis dan kemiskinan warga.Pak Sastro menolak memberikan izin atas beberapa proyek perluasan wisata yang dianggap merusak kawasan hijau dan sumber air. Keputusan itu membuatnya berhadapan langsung dengan pemilik modal dan aparat keamanan. Sejak saat itu, tekanan kepadanya datang bertubi-tubi.
Ia beberapa kali dipanggil ke pengadilan atas tuduhan korupsi dana desa dan “penyalahgunaan wewenang”. Namun bukannya lari dari panggilan para penegak hukum, Pak Sastro datang setiap kali ada panggilan. Banyak kolega yang menyerankannya untuk tidak mengindahkan panggilan kepolisian ataupun kejaksaan. Tapi, Pak Sastro tetap teguh pendirian, selalu datang untuk hadapi keadilan. Di kalangan warga, mereka tahu: tuduhan itu hanyalah cara untuk menjatuhkan sosok yang dianggap menghalangi arus modal.
Meskipun terus mendapat tekanan, Pak Sastro tidak menyerah. Ia menggunakan jalur hukum untuk memperkuat posisinya. Pada tahun 2022, ia menginisiasi lahirnya Peraturan Desa Nomor 7 Tahun 2022 tentang Pelestarian dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
Peraturan Desa Sebagai Benteng
Peraturan itu menjadi bentuk nyata dari perlawanan desa terhadap ekspansi semena-mena kaum kapital. Isinya mencakup: (1) perlindungan kawasan hutan dan sumber air; (2) larangan membuang limbah atau menebang pohon sembarangan; (3) perlindungan terhadap satwa dan tumbuhan dilindungi; dan (4) pembentukan Satgas Lingkungan Desa sebagai lembaga pengawasan.Perdes ini bukan hanya aturan administratif, tetapi bentuk keberanian politik desa. Dalam rapat desa, Pak Sastro mengatakan, “kalau tanah ini hilang, anak-cucu kita tidak punya tempat lagi. Kita bisa kehilangan lebih dari sekadar tanah, kita kehilangan hidup”. Langkah ini membuatnya semakin diisolasi. Beberapa aparat daerah menilai kebijakannya “menghambat investasi”. Tapi di sisi lain, warga mulai sadar bahwa peraturan itu melindungi mereka dari perampasan halus yang terjadi atas nama pembangunan.
Ketegangan Sosial di Dalam Desa
Konflik ini tidak hanya antara desa dan investor, tetapi juga di dalam tubuh masyarakat sendiri. Sebagian warga yang sudah menjual tanahnya mendukung investor dan menganggap kepala desa terlalu kaku. Sementara kelompok lain tetap setia mendukungnya karena khawatir seluruh tanah desa akan hilang.Kondisi ini menimbulkan fragmentasi sosial. Musyawarah desa sering kali memanas, dan perpecahan kecil mulai muncul di antara warga. Elite lokal diadu domba, dan isu tentang “korupsi Kepala Desa” menjadi alat untuk menggoyang legitimasi pemerintah desa.
Namun Pak Sastro tetap bersikap terbuka. Ia mengizinkan diskusi publik, menghadirkan akademisi dan pegiat lingkungan untuk menjelaskan arti penting ekologi bagi masa depan desa. Ia berupaya menjadikan konflik ini bukan sekadar pertentangan antara pihak pro dan kontra, tetapi sebagai ruang belajar bersama tentang arti pembangunan berkelanjutan.
Tanda-Tanda Kerusakan Alam
Sementara konflik terus berlangsung, alam mulai menunjukkan gejalanya. Debit air sungai di pinggiran desa berkurang. Beberapa ladang menjadi kering. Suhu udara meningkat karena pepohonan di perbukitan ditebang untuk perluasan area wisata. Warga juga mulai mengeluh: lahan mereka yang tersisa menjadi lebih gersang, dan hasil panen tidak lagi seperti dulu.Kondisi ini menggambarkan hubungan langsung antara kekuasaan dan kerusakan lingkungan. Alam rusak bukan karena ketidaktahuan masyarakat, melainkan karena intervensi ekonomi-politik yang mengubah cara mereka berhubungan dengan ruang hidup.
Dari sisi ekonomi, investor memang mendatangkan uang. Tetapi dari sisi ekologis, pembangunan ini justru menciptakan ketimpangan baru. Warga kehilangan akses terhadap air, tanah, dan udara bersih—sesuatu yang tak bisa dibeli kembali dengan uang.
Dampak Sosial dan Kultural
Konflik berkepanjangan juga mengubah wajah sosial desa. Pemuda-pemudi yang dulu bekerja di ladang kini lebih memilih pekerjaan di sektor wisata. Tradisi gotong royong perlahan hilang, berganti dengan sistem upahan. Desa yang dulu hidup dari alam kini hidup di bawah tekanan pasar. Nilai-nilai komunal melemah karena orientasi masyarakat bergeser pada ekonomi instan.Dalam kerangka Ulrich Beck (1992), situasi ini menggambarkan risk society—masyarakat modern yang menciptakan risiko ekologis dan sosial akibat sistemnya sendiri. Pembangunan yang tidak berpihak pada lingkungan menciptakan krisis jangka panjang yang tidak mudah dipulihkan.
Antara Hukum, Modal, dan Masa Depan
Kasus Desa Harapan Makmur menunjukkan bahwa konflik antara pembangunan dan pelestarian lingkungan bukan sekadar persoalan teknis, tetapi persoalan kekuasaan. Ketika modal memiliki akses terhadap kebijakan dan hukum, masyarakat kecil sering menjadi korban. Namun, keberadaan Kepala Desa seperti Pak Sastro telah membuktikan, bahwa masih ada ruang untuk melawan, meskipun terbatas.Perjuangan seperti itu seharusnya tidak menjadi beban satu orang. Idealnya, negara berpihak pada masyarakat yang mempertahankan kelestarian lingkungan, bukan pada modal yang menghancurkannya. Yang dibutuhkan saat ini bukan sekadar investasi, tetapi model pembangunan yang berkeadilan dan ramah lingkungan—pembangunan yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan warga desa.
Betul, pembangunan seharusnya tidak hanya berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, tetapi tentang keberlanjutan hidup bersama. Karena sesungguhnya, masa depan pembangunan bukan diukur dari seberapa luas hotel berdiri, tetapi dari seberapa lama air di sungai bisa tetap mengalir, seberapa teduh pohon bisa tumbuh, dan seberapa lama manusia mampu hidup berdampingan dengan alam tanpa saling melukai.
Oleh: M. Khusna Amal (Wakil Rektor I Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember)



Posting Komentar