Masalah utama dalam tulisan ini adalah bagaimana sebuah pusaka berbentuk keris dapat dipahami sebagai realitas pengetahuan, bukan hanya benda budaya. Tujuannya adalah mengurai dimensi ontologis yang menjadikan Kanjeng Kyai Slamet sebagai “wahyu” kebudayaan, sementara analisis diarahkan pada bagaimana keris, sebagai artefak budaya, memuat sistem ilmu tersendiri yang hidup dalam struktur Keraton. Dengan demikian, tulisan ini berupaya membuktikan bahwa keris tidak hanya diperlakukan sebagai simbol spiritual-politik, tetapi juga sebagai bentuk pengetahuan yang konkret dalam praktik budaya Jawa (R. Wiradi, Maret 2018).
Dalam kerangka ontologi Jawa, benda tak pernah dianggap mati. Ia memiliki spirit, daya, dan tuah yang bersifat aktif dalam jaringan kosmologis kehidupan. Kanjeng Kyai Slamet dipahami sebagai pusaka yang “urip”—hidup melalui relasi antara raja, keraton, dan masyarakat. Konsep “wahyu keprabon” dalam budaya Jawa menunjukkan bagaimana kekuasaan dianggap berada dalam keselarasan antara manusia dan tatanan kosmis, dan pusaka menjadi penghubung keduanya.
Dalam kerangka ontologi Jawa, benda tak pernah dianggap mati. Ia memiliki spirit, daya, dan tuah yang bersifat aktif dalam jaringan kosmologis kehidupan. Kanjeng Kyai Slamet dipahami sebagai pusaka yang “urip”—hidup melalui relasi antara raja, keraton, dan masyarakat. Konsep “wahyu keprabon” dalam budaya Jawa menunjukkan bagaimana kekuasaan dianggap berada dalam keselarasan antara manusia dan tatanan kosmis, dan pusaka menjadi penghubung keduanya.
Oleh karena itu, realitas pengetahuan dalam keris bukan berasal dari bentuk fisiknya saja, tetapi dari jaringan makna yang terjalin di sekitarnya: ritual penjamasan, sejarah pembuatannya, struktur pamor, hingga legitimasi simboliknya. Keris ini tidak hanya menceritakan masa lalu, melainkan juga memandu struktur pengetahuan pada masa kini (S. Susetyo, Oktober 2019).
Dimensi epistemologis keris dibangun melalui tiga pilar: narasi, ritual, dan kesunyian. Narasi meliputi kisah asal-usul dan silsilah empu pembuatnya yang menjadi pintu masuk memahami dunia pengetahuan Jawa. Ritual merupakan praktik perawatan, penjamasan, dan pembacaan tanda pada keris, yang semuanya mengandung disiplin ilmu tersendiri.
Dimensi epistemologis keris dibangun melalui tiga pilar: narasi, ritual, dan kesunyian. Narasi meliputi kisah asal-usul dan silsilah empu pembuatnya yang menjadi pintu masuk memahami dunia pengetahuan Jawa. Ritual merupakan praktik perawatan, penjamasan, dan pembacaan tanda pada keris, yang semuanya mengandung disiplin ilmu tersendiri.
Sementara itu, kesunyian mengacu pada cara pengetahuan diwariskan bukan melalui dokumen tertulis, tetapi melalui ketelatenan, rasa, dan pengalaman spiritual. Pada titik ini, keris menjadi arsip tak tertulis, semacam manuskrip budaya yang harus dibaca melalui hati dan kepekaan batin. Pengetahuan ini bersifat embodied, berada dalam tindakan dan pengalaman, bukan dalam teks formal (W. Kartapradja, Januari 2017).
Kanjeng Kyai Slamet, sebagai pusaka keraton, memuat struktur ilmu yang dalam. Pamornya yang khas mengandung filosofi harmoni dan perlindungan, sementara bentuknya merepresentasikan keseimbangan antara unsur panas (api pembentukan bilah) dan sejuk (air dalam proses pelarutan).
Kanjeng Kyai Slamet, sebagai pusaka keraton, memuat struktur ilmu yang dalam. Pamornya yang khas mengandung filosofi harmoni dan perlindungan, sementara bentuknya merepresentasikan keseimbangan antara unsur panas (api pembentukan bilah) dan sejuk (air dalam proses pelarutan).
Ontologi keris menempatkan bilah sebagai tubuh yang menyimpan energi kosmis, sementara pamor menjadi “tulisan” yang harus ditafsirkan. Dalam kultur Jawa, struktur pamor bukan dekorasi, melainkan sistem tanda yang memiliki fungsi epistemik. Empu dipandang sebagai ilmuwan sekaligus spiritualis, karena penciptaan keris membutuhkan perpaduan antara pengetahuan metalurgi dan laku tapa (T. Haryanto, Juli 2020).
Analisis data budaya menunjukkan bahwa keris yang diposisikan sebagai pusaka utama keraton memainkan peran penting dalam menjaga tatanan sosial dan legitimasi politik. Dalam perspektif antropologis, Kanjeng Kyai Slamet bekerja sebagai “objek agensi”—benda yang memiliki kemampuan memengaruhi tindakan manusia. Ia dihadirkan pada momen-momen penting seperti Garebeg, penobatan raja, dan ritual keselamatan negara.
Analisis data budaya menunjukkan bahwa keris yang diposisikan sebagai pusaka utama keraton memainkan peran penting dalam menjaga tatanan sosial dan legitimasi politik. Dalam perspektif antropologis, Kanjeng Kyai Slamet bekerja sebagai “objek agensi”—benda yang memiliki kemampuan memengaruhi tindakan manusia. Ia dihadirkan pada momen-momen penting seperti Garebeg, penobatan raja, dan ritual keselamatan negara.
Hal ini memperlihatkan bahwa keris bukan sekadar artefak pasif; ia memiliki fungsi performatif yang berkelanjutan. Dengan demikian, hasil analisis menunjukkan bahwa pusaka ini menjadi medium bagi produksi, reproduksi, dan distribusi pengetahuan keraton kepada masyarakat luas (L. Paramita, Februari 2021).
Dari perspektif filsafat budaya, keris sebagai wahyu budaya menempati posisi unik dalam sistem pengetahuan Jawa. Ilmu tidak dipandang hanya sebagai akumulasi informasi, tetapi sebagai proses spiritual yang berkaitan dengan keselarasan batin. Dalam konteks ini, Kanjeng Kyai Slamet dapat dipandang sebagai manifestasi dari “logos Jawa”—suatu prinsip pengetahuan yang tidak terpisah dari moralitas, kesakralan, dan kosmologi. Keris menjadi medium penyatuan antara manusia dengan jagad raya. Maka, pengetahuan yang dikandung keris bukan bersifat objektif-modern, melainkan relational: selalu terkait dengan etika, kekuasaan, dan spiritualitas (A. Saputra, Mei 2018).
Tujuan kajian budaya atas keris seperti ini bukan untuk membuktikan kekuatan supranatural, tetapi untuk memahami bagaimana masyarakat Jawa membangun, menafsirkan, dan mempraktikkan ilmu—bahkan melalui benda yang tampak sederhana. Hal ini memperlihatkan kompleksitas kebudayaan Jawa: pengetahuan tidak selalu tersimpan dalam buku atau teks akademik, tetapi juga dalam pusaka yang memuat sejarah panjang dan fungsi simbolik. Dengan demikian, keris menjadi sumber epistemik yang tidak boleh direduksi menjadi sekadar artefak museum; ia harus dibaca sebagai sistem pengetahuan yang hidup (R. Prabowo, Desember 2020).
Pada tingkat sosial, keberadaan Kanjeng Kyai Slamet menjadi tanda bahwa keraton tetap memainkan peran sebagai pusat legitimasi budaya dan sumber otoritas moral. Walau dunia modern menggeser pola pikir masyarakat, pusaka seperti ini tetap dihormati, menunjukkan kemampuan budaya Jawa mempertahankan kontinuitas makna. Hasil pengamatan budaya menunjukkan bahwa masyarakat Yogyakarta tidak hanya melihat keraton sebagai institusi tradisional, tetapi sebagai pemelihara warisan ilmu yang mengikat masa lalu dan masa kini. Dengan demikian, posisi keraton sebagai pusat epistemologi tetap relevan ( N. Wibisono, April 2022).
Dari sisi teori ontologi, keris menjadi bentuk realitas pengetahuan yang bersifat “plural”—memiliki lapisan makna material, simbolik, spiritual, dan politis. Keberadaannya tidak bisa direduksi hanya pada satu aspek. Justru kekuatannya terletak pada kemampuannya menyatukan berbagai dimensi tersebut ke dalam satu objek budaya. Dalam hal ini, Kanjeng Kyai Slamet menjadi contoh konkret bagaimana benda budaya dapat menjadi sumber ilmu yang legitim dan dihargai dalam masyarakat Jawa. Ia adalah wahyu dalam bentuk bilah, realitas dalam bentuk pusaka (D. Mulyono, September 2023).
Dari perspektif filsafat budaya, keris sebagai wahyu budaya menempati posisi unik dalam sistem pengetahuan Jawa. Ilmu tidak dipandang hanya sebagai akumulasi informasi, tetapi sebagai proses spiritual yang berkaitan dengan keselarasan batin. Dalam konteks ini, Kanjeng Kyai Slamet dapat dipandang sebagai manifestasi dari “logos Jawa”—suatu prinsip pengetahuan yang tidak terpisah dari moralitas, kesakralan, dan kosmologi. Keris menjadi medium penyatuan antara manusia dengan jagad raya. Maka, pengetahuan yang dikandung keris bukan bersifat objektif-modern, melainkan relational: selalu terkait dengan etika, kekuasaan, dan spiritualitas (A. Saputra, Mei 2018).
Tujuan kajian budaya atas keris seperti ini bukan untuk membuktikan kekuatan supranatural, tetapi untuk memahami bagaimana masyarakat Jawa membangun, menafsirkan, dan mempraktikkan ilmu—bahkan melalui benda yang tampak sederhana. Hal ini memperlihatkan kompleksitas kebudayaan Jawa: pengetahuan tidak selalu tersimpan dalam buku atau teks akademik, tetapi juga dalam pusaka yang memuat sejarah panjang dan fungsi simbolik. Dengan demikian, keris menjadi sumber epistemik yang tidak boleh direduksi menjadi sekadar artefak museum; ia harus dibaca sebagai sistem pengetahuan yang hidup (R. Prabowo, Desember 2020).
Pada tingkat sosial, keberadaan Kanjeng Kyai Slamet menjadi tanda bahwa keraton tetap memainkan peran sebagai pusat legitimasi budaya dan sumber otoritas moral. Walau dunia modern menggeser pola pikir masyarakat, pusaka seperti ini tetap dihormati, menunjukkan kemampuan budaya Jawa mempertahankan kontinuitas makna. Hasil pengamatan budaya menunjukkan bahwa masyarakat Yogyakarta tidak hanya melihat keraton sebagai institusi tradisional, tetapi sebagai pemelihara warisan ilmu yang mengikat masa lalu dan masa kini. Dengan demikian, posisi keraton sebagai pusat epistemologi tetap relevan ( N. Wibisono, April 2022).
Dari sisi teori ontologi, keris menjadi bentuk realitas pengetahuan yang bersifat “plural”—memiliki lapisan makna material, simbolik, spiritual, dan politis. Keberadaannya tidak bisa direduksi hanya pada satu aspek. Justru kekuatannya terletak pada kemampuannya menyatukan berbagai dimensi tersebut ke dalam satu objek budaya. Dalam hal ini, Kanjeng Kyai Slamet menjadi contoh konkret bagaimana benda budaya dapat menjadi sumber ilmu yang legitim dan dihargai dalam masyarakat Jawa. Ia adalah wahyu dalam bentuk bilah, realitas dalam bentuk pusaka (D. Mulyono, September 2023).
Kesimpulan dari kajian ini menunjukkan bahwa Kanjeng Kyai Slamet bukan hanya pusaka kerajaan, tetapi juga entitas epistemik yang memuat struktur pengetahuan budaya Jawa. Hasil analisis menunjukkan bahwa keris ini berfungsi sebagai wahyu simbolik yang menjaga tatanan kosmos, legitimasi kekuasaan, dan kontinuitas ilmu. Keris telah menjadi teks budaya yang hidup, yang terus dibaca, ditafsirkan, dan diwariskan.
Dalam kerangka ontologi, keberadaannya memperlihatkan bahwa dalam budaya Jawa, ilmu bukan hanya milik pikiran, tetapi juga milik benda, ruang, dan ritual. Dengan demikian, Kanjeng Kyai Slamet menjadi realitas pengetahuan Jawa yang paling puncak: sebuah bilah yang memotong waktu, menghubungkan masa lalu dan masa kini, serta menyatukan manusia dengan jagad raya (Y. Santoso, Juni 2017).
Daftar Pustaka:
Haryanto, T. (2020). Pusaka Keraton dan Kosmologi Jawa. Jurnal Budaya Nusantara. https://ejurnal-budaya-nusantara.id/haryanto2020
Kartapradja, W. (2017). Rasa dan Pengetahuan Jawa. Jurnal Filsafat Universitas Gadjah Mada. https://jurnal.ugm.ac.id/filsafat/article/view/2017
Dalam kerangka ontologi, keberadaannya memperlihatkan bahwa dalam budaya Jawa, ilmu bukan hanya milik pikiran, tetapi juga milik benda, ruang, dan ritual. Dengan demikian, Kanjeng Kyai Slamet menjadi realitas pengetahuan Jawa yang paling puncak: sebuah bilah yang memotong waktu, menghubungkan masa lalu dan masa kini, serta menyatukan manusia dengan jagad raya (Y. Santoso, Juni 2017).
Oleh: Nashrul Mu'minin
Daftar Pustaka:
Haryanto, T. (2020). Pusaka Keraton dan Kosmologi Jawa. Jurnal Budaya Nusantara. https://ejurnal-budaya-nusantara.id/haryanto2020
Kartapradja, W. (2017). Rasa dan Pengetahuan Jawa. Jurnal Filsafat Universitas Gadjah Mada. https://jurnal.ugm.ac.id/filsafat/article/view/2017
Mulyono, D. (2023). Objek Magis dan Ontologi Benda dalam Masyarakat Jawa. Jurnal Antropologi Indonesia https://journal.ui.ac.id/antropologi/mulyono2023
Paramita, L. (2021). Kebudayaan Keraton dan Agensi Benda Pusaka. Jurnal Humaniora Indonesia. https://humaniora-id/paramita2021
Prabowo, R. (2020). Ritual Penjamasan dan Pengetahuan Tradisional Jawa. Jurnal Kebudayaan Nasional. https://kebudayaan-nasional.go.id/prabowo2020
Saputra, A. (2018). Logos Jawa dan Tradisi Ilmu Keraton. Jurnal Esoterik Nusantara. https://esoteriknusantara.id/saputra2018
Santoso, Y. (2017). Metafisika Jawa dan Relasi Manusia-Jagad. Jurnal Ilmu Budaya. https://ilmubudaya-id/santoso2017
Susetyo, S. (2019). Kosmologi Keris dalam Budaya Jawa Modern. Jurnal Warisan Adiluhung. https://warisanadiluhung.id/susetyo2019
Wibisono, N. (2022). Keraton Yogyakarta sebagai Pusat Pengetahuan Budaya. Jurnal Sejarah Nusantara. https://sejarahnusantara.id/wibisono2022
Wiradi, R. (2018). Narasi Pusaka dan Epistemologi Jawa. Jurnal Kebudayaan Lokal. https://kebudayaanlokal.id/wiradi2018



Posting Komentar