BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

AI Welfare State: Bisakah Robot Membayar Pajak untuk UBI Kita?

Pena Laut
- Revolusi teknologi yang sedang melanda dunia bukan hanya mengubah cara kita bekerja, melainkan juga menantang ulang konsep lama tentang ekonomi, pekerjaan, dan kesejahteraan sosial. Dalam dunia yang makin didominasi kecerdasan buatan (AI), muncul sebuah ide kontroversial tapi menggugah: mungkinkah robot atau sistem AI membayar pajak demi mendanai Universal Basic Income (UBI)—pendapatan dasar universal—bagi manusia?

Pertanyaan ini bukan fiksi ilmiah. Dalam beberapa tahun terakhir, tokoh-tokoh terkemuka seperti Bill Gates bahkan secara terbuka menyarankan agar robot dikenai pajak ketika menggantikan manusia dalam dunia kerja. Alasannya sederhana: jika robot menggantikan tenaga kerja manusia, maka sumber pajak dari gaji manusia akan berkurang drastis. Padahal, sistem kesejahteraan, infrastruktur publik, dan layanan sosial sangat bergantung pada pajak penghasilan. Maka dari itu, untuk menjaga keseimbangan, logikanya adalah sistem yang menghasilkan kekayaan—meski bukan manusia—harus turut menyumbang dalam sistem sosial.

Bayangkan sebuah pabrik otomatis yang menggunakan 100 robot untuk memproduksi barang tanpa satupun pekerja manusia. Perusahaan itu akan tetap meraih keuntungan besar, tetapi kontribusi pajaknya bisa jauh lebih kecil dibandingkan ketika 100 pekerja manusia digaji dan membayar pajak penghasilan. Ketimpangan ini menjadi sumber kegelisahan baru. Ketika otomatisasi berkembang pesat, pengangguran bisa meningkat, kesenjangan ekonomi melebar, dan kelas pekerja makin terpinggirkan. Maka, ide UBI hadir sebagai solusi—memberikan pendapatan tetap kepada semua warga negara tanpa syarat, untuk menjamin kebutuhan dasar hidup mereka di tengah ketidakpastian kerja.

Namun pertanyaannya, dari mana dana untuk membiayai UBI ini? Di sinilah ide "robot paying tax" menjadi relevan. Jika AI dapat menggantikan manusia dalam hal produktivitas dan nilai ekonomi, maka semestinya AI—melalui sistem pemiliknya—dapat pula memberikan kontribusi terhadap sistem sosial berupa pajak.

Tetapi tentu saja, kita tidak benar-benar akan meminta "robot" membayar pajak secara fisik. Yang dimaksud adalah perusahaan atau entitas yang menggunakan AI untuk menggantikan manusia wajib dikenai pajak baru yang setara dengan kontribusi pajak tenaga kerja yang digantikan. Ini bukan hanya soal keadilan fiskal, tetapi juga keberlanjutan sistem negara kesejahteraan di era digital.

Sayangnya, belum banyak negara yang memiliki kerangka hukum untuk mewujudkan hal ini. Kebijakan perpajakan masih berbasis pada individu dan entitas hukum tradisional, bukan pada kecerdasan buatan. Banyak perusahaan teknologi juga menolak gagasan ini karena dianggap dapat menghambat inovasi dan pertumbuhan industri AI. Namun jika tidak diantisipasi sejak dini, justru teknologi akan menciptakan ketimpangan struktural baru yang jauh lebih kompleks dari masa industri sebelumnya.

Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang mengalami transformasi digital harus mulai mempertimbangkan isu ini. Bonus demografi yang dimiliki saat ini dapat menjadi kekuatan besar atau bumerang tergantung bagaimana negara merespons perubahan. Jika banyak pekerjaan digantikan oleh AI, dan negara tidak menyiapkan skema pendanaan sosial yang berkelanjutan, maka bisa timbul keresahan sosial yang besar di kalangan masyarakat produktif yang kehilangan pekerjaan.

Apalagi, UBI bukanlah konsep yang asing dalam wacana keadilan sosial Islam. Dalam sejarah kekhalifahan, konsep pemberian tunjangan tetap kepada rakyat miskin telah dipraktikkan. Prinsip distribusi kekayaan yang adil adalah bagian dari maqashid syariah, yang menempatkan kesejahteraan umat sebagai tujuan utama. Maka memikirkan skema pendanaan dari AI untuk UBI adalah langkah modern dalam semangat Islam untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan.

Namun implementasi ide ini tidak mudah. Diperlukan transparansi data penggunaan AI, mekanisme audit teknologi, serta sistem perpajakan digital yang kuat. Kita juga harus memiliki indikator yang jelas: berapa besar nilai kerja manusia yang tergantikan, dan berapa pajak yang setara dengannya? Semua ini memerlukan kajian multidisipliner: ekonomi, hukum, teknologi, dan etika.

Di samping itu, perlu juga disadari bahwa UBI bukanlah solusi tunggal. Tanpa pendidikan yang baik, literasi digital, dan pelatihan ulang keterampilan kerja (reskilling), UBI bisa menjadi jebakan ketergantungan. Padahal, cita-cita UBI adalah memberikan kebebasan—bukan hanya ekonomi, tetapi juga kebebasan memilih jalan hidup, meningkatkan kreativitas, dan partisipasi sosial.

Sementara itu, AI yang "membayar pajak" hanyalah simbol dari tanggung jawab sosial teknologi terhadap umat manusia. Ini adalah pesan penting: bahwa teknologi tidak boleh lepas dari nilai-nilai moral dan keadilan sosial. Negara, sebagai pengatur, harus hadir bukan hanya sebagai fasilitator ekonomi digital, tetapi juga sebagai pelindung rakyat dari ketidakadilan struktural yang bisa muncul karena disrupsi teknologi.

Maka, alih-alih takut dengan perkembangan AI, kita harus cerdas memanfaatkannya untuk membangun sistem sosial yang lebih adil. Membebankan pajak pada penggunaan AI dan menyalurkannya untuk pendapatan dasar masyarakat adalah satu bentuk adaptasi progresif. Ini adalah cara agar teknologi tetap menjadi alat pembebasan, bukan perbudakan modern.

Dalam pandangan Islam, harta yang berputar hanya di kalangan orang kaya adalah keburukan yang harus dicegah. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hasyr ayat 7:

"ÙƒَÙŠْ Ù„َا ÙŠَÙƒُÙˆْÙ†َ دُÙˆْÙ„َØ©ًۢ بَÙŠْÙ†َ الْØ£َغْÙ†ِÙŠَاءِ Ù…ِÙ†ْÙƒُÙ…ْ ۗ"

"... supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu..." (QS. Al-Hasyr: 7)

Dengan semangat ayat ini, kita harus berani merancang sistem AI welfare state—negara kesejahteraan yang tetap menjaga distribusi keadilan, meski dunia kerja telah berganti wajah.

Apakah robot bisa membayar pajak untuk UBI kita? Bukan pertanyaan teknis semata, tetapi juga pertanyaan moral dan peradaban: sejauh mana kita bersedia menata dunia baru dengan nilai-nilai lama yang adil?


Oleh: Nashrull Mu'minin, Content Writer Yogyakarta
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak