BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

“Matahari Kembar” Pemerintahan Prabowo: Realitas atau Isu Politik?

Pena Laut -
Fenomena "matahari kembar" dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto belakangan ini menjadi perbincangan hangat di kalangan publik dan pengamat politik. Istilah ini merujuk pada dugaan adanya dua pusat kekuasaan yang berjalan berdampingan, yakni Presiden Prabowo sebagai kepala negara yang sah dan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang masih dianggap memiliki pengaruh signifikan dalam pengambilan kebijakan pemerintah.
 
Isu ini mencuat setelah sejumlah menteri dari Kabinet Merah Putih, yang dipimpin Prabowo, melakukan kunjungan ke kediaman Jokowi di Solo pada momen Lebaran 2025. Kunjungan tersebut, meskipun diklaim sebagai silaturahmi Idul Fitri, memicu spekulasi bahwa ada dua pusat kekuasaan yang saling berpengaruh. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa kunjungan itu terjadi saat Prabowo sedang melakukan lawatan ke Timur Tengah, sehingga menimbulkan kesan adanya dualisme kepemimpinan.

Polemik Penunjukan Jokowi sebagai Utusan Resmi di Pemakaman Paus Fransiskus

Salah satu momen yang semakin menguatkan isu "matahari kembar" adalah ketika Presiden Prabowo mengutus mantan Presiden Jokowi sebagai utusan resmi Indonesia menghadiri pemakaman Paus Fransiskus di Vatikan pada April 2025. Keputusan ini terbilang unik karena Jokowi bukan lagi presiden aktif, namun dipilih sebagai wakil negara dalam acara kenegaraan internasional yang sangat penting. Penunjukan Jokowi didasarkan pada kedekatan pribadi dan hubungan diplomatik yang sudah terjalin antara Jokowi dan Paus Fransiskus, terutama saat kunjungan Paus ke Indonesia tahun 2024. Jokowi juga dianggap sebagai simbol toleransi beragama di Indonesia, yang mayoritas penduduknya Muslim, sehingga kehadirannya mewakili nilai persatuan dan kerukunan antarumat beragama.

Dalam prosesi pemakaman, Jokowi tampil resmi mengenakan jas dan peci hitam, duduk di barisan depan bersama sejumlah pemimpin dunia seperti Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Prancis Emmanuel Macron. Jokowi menyampaikan pesan duka cita dan penghormatan atas nama Presiden Prabowo dan seluruh rakyat Indonesia, menegaskan bahwa Indonesia merasakan kehilangan atas wafatnya Paus Fransiskus. Meski demikian, keputusan ini menimbulkan kritik dan spekulasi politik. Beberapa pihak menilai langkah Prabowo mengutus mantan presiden justru menimbulkan kesan adanya dualisme kepemimpinan atau "matahari kembar". Namun, Istana dan partai pendukung Prabowo menegaskan bahwa keputusan ini didasarkan pada pertimbangan protokol dan hubungan personal, bukan indikasi adanya dua pusat kekuasaan.

Hubungan antara Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo menjadi kunci utama dalam memahami isu "matahari kembar". Secara resmi, keduanya menegaskan bahwa hanya ada satu pemimpin negara, yakni Prabowo sebagai presiden yang sah. Jokowi berkali-kali menegaskan, "Matahari itu hanya satu, yaitu Presiden Prabowo Subianto". Interaksi dan kedekatan keduanya terlihat dari sejumlah momen penting, seperti penunjukan Jokowi sebagai utusan resmi di Vatikan dan kunjungan menteri Kabinet Merah Putih ke kediaman Jokowi saat Lebaran. Momen-momen ini menunjukkan persahabatan dan kerja sama yang erat meskipun keduanya berada di posisi politik berbeda.

Salah satu simbol keharmonisan yang paling mencolok adalah ketika Prabowo dengan penuh semangat meneriakkan yel-yel "Hidup Jokowi!" dalam pidatonya pada perayaan Hari Ulang Tahun ke-17 Partai Gerindra pada Februari 2025. Teriakan ini bukan sekadar ungkapan basa-basi, melainkan pengakuan terbuka atas peran penting Jokowi dalam perjalanan politik Prabowo dan keberhasilan pemerintahan saat ini. Prabowo juga mengajak kader Gerindra memberikan tepuk tangan meriah dan menyanyikan lagu "Terima Kasih Jokowi" sebagai bentuk apresiasi. Sikap saling menghormati ini juga dibalas oleh Jokowi yang memuji kepemimpinan Prabowo dan menegaskan legitimasi pemerintahan yang solid. Momen ini memperkuat gambaran bahwa isu "matahari kembar" lebih merupakan konstruksi politik yang perlu dikelola dengan bijak daripada kenyataan dualisme kepemimpinan.

Pengamat politik menilai isu "matahari kembar" lebih mencerminkan persepsi publik yang dipicu oleh dinamika politik dan sikap para elit, bukan realitas pemerintahan yang sebenarnya. Hubungan harmonis antara Prabowo dan Jokowi justru dianggap sebagai energi positif untuk menjaga kerukunan, persatuan nasional, dan stabilitas politik yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan pembangunan ekonomi nasional. Pemerintahan Prabowo secara tegas membantah adanya "matahari kembar". Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa seluruh menteri berada di bawah perintah Presiden Prabowo dan fokus bekerja membangun negara. Wakil Menteri Pertanian Sudaryono juga menyebut isu ini berlebihan dan hanya dilebih-lebihkan oleh media.

Namun, beberapa tokoh politik, seperti Mardani Ali Sera dari PKS, mengingatkan agar tidak ada dua pusat kekuasaan dalam pemerintahan karena hal itu dapat melemahkan legitimasi dan efektivitas kepemimpinan. Prabowo sendiri menginstruksikan para menteri untuk merapatkan barisan dan tidak terpengaruh oleh isu-isu di luar pemerintahan. Jika isu "matahari kembar" dibiarkan tanpa penanganan yang serius, dapat menimbulkan risiko besar bagi stabilitas politik dan keamanan nasional. Potensi krisis legitimasi pemerintahan, polarisasi aparat keamanan seperti TNI dan Polri, serta disintegrasi sosial akibat loyalitas ganda menjadi ancaman nyata. Loyalitas aparat yang masih terbagi antara Prabowo dan Jokowi bisa memicu konflik horizontal yang berbahaya bagi persatuan bangsa.

Isu "matahari kembar" dalam pemerintahan Prabowo Subianto bukan sekadar spekulasi kosong, melainkan mencerminkan realitas politik yang sulit dibantah. Munculnya kunjungan sejumlah menteri ke kediaman mantan Presiden Jokowi di Solo saat masa pemerintahan Prabowo, serta sikap para pejabat yang secara terbuka menyebut Jokowi sebagai "bos," menunjukkan adanya dualisme kekuasaan yang nyata. Penunjukan Jokowi sebagai utusan resmi menghadiri pemakaman Paus Fransiskus juga memperkuat kesan bahwa pengaruh Jokowi masih sangat kuat dalam pengambilan keputusan penting negara, meski secara konstitusional bukan lagi presiden aktif.

Pengamat politik menilai bahwa fenomena ini menggambarkan lemahnya konsolidasi kewibawaan Prabowo sebagai presiden yang terpilih, di mana kekuasaan justru tersebar dan terfragmentasi antara blok-blok politik yang masih bergantung pada jaringan Jokowi. Sikap Jokowi yang masih aktif berperan dalam politik, termasuk dalam penentuan kabinet dan koalisi, menimbulkan ambiguitas dan potensi benturan otoritas yang dapat menghambat efektivitas pemerintahan baru.

Dengan demikian, bukannya isu "matahari kembar" dapat dikesampingkan sebagai hoaks atau sekadar konstruksi politik, fakta-fakta tersebut mendukung adanya dua pusat kekuasaan yang berjalan paralel dalam pemerintahan saat ini. Kondisi ini berpotensi menimbulkan kebingungan, melemahkan legitimasi pemerintahan Prabowo, dan mengancam stabilitas politik nasional jika tidak segera disikapi dengan tegas dan jelas.


Oleh: Fawaid Abdullah Abbas

Referensi:
Obsessionnews.com. (2025, April 22). Matahari Kembar: Potret Buruknya Kepemimpinan Prabowo.
https://www.obsessionnews.com/read/2025/04/22/matahari-kembar-potret-buruknya-kepemimpinan-prabowo

Kompasiana.com. (2025, April 28). Demokrasi dalam Bayang-Bayang Dua Presiden: Saatnya Semi-Presidensial?
https://www.kompasiana.com/amp/dimasmuhammaderlangga8314/680e9d2d34777c31c631ed92/demokrasi-dalam-bayang-bayang-dua-presiden-saatnya-semi-presidensial
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak