Aku menarik napas dalam-dalam. Bau tanah basah dan aroma kopi dari warung tenda di belakangku bercampur jadi satu. Di depanku, seorang bapak tua dengan sarung lusuh sedang menggelar sajadah kecil. Tangannya gemetar saat membuka Al-Qur’an kecil dari saku bajunya. Mataku tertuju pada ayat yang ia baca:
"وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ"
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2)
Ayat itu terasa menusuk. Di negeri ini, di kota ini, kita sering lupa bahwa perbedaan seharusnya bukan alasan untuk saling menjauh, tapi justru untuk saling mengenal.
Tiba-tiba, langkah kaki tergesa mendekat. Seorang pemuda dengan kaos hitam bertuliskan "Solidaritas Tidak Beragama" melemparkan selebaran ke arahku. Kubaca dengan cepat—pamflet tentang kebebasan beragama, tentang bagaimana negara seharusnya tidak memihak. Aku tersenyum getir. Di satu sisi, ada yang berteriak tentang hak, tapi di sisi lain, ada yang diam saja ketika rumah ibadah digusur atau minoritas dipersekusi.
Dari arah gereja, suara paduan puji-pujian mengalun pelan. Aku ingat hadis Nabi:
"مَنْ سَمِعَ بِرَجُلٍ يُظْلَمُ فَلَمْ يَنْصُرْهُ، لَمْ يَنْصُرْهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"
Ayat itu terasa menusuk. Di negeri ini, di kota ini, kita sering lupa bahwa perbedaan seharusnya bukan alasan untuk saling menjauh, tapi justru untuk saling mengenal.
Tiba-tiba, langkah kaki tergesa mendekat. Seorang pemuda dengan kaos hitam bertuliskan "Solidaritas Tidak Beragama" melemparkan selebaran ke arahku. Kubaca dengan cepat—pamflet tentang kebebasan beragama, tentang bagaimana negara seharusnya tidak memihak. Aku tersenyum getir. Di satu sisi, ada yang berteriak tentang hak, tapi di sisi lain, ada yang diam saja ketika rumah ibadah digusur atau minoritas dipersekusi.
Dari arah gereja, suara paduan puji-pujian mengalun pelan. Aku ingat hadis Nabi:
"مَنْ سَمِعَ بِرَجُلٍ يُظْلَمُ فَلَمْ يَنْصُرْهُ، لَمْ يَنْصُرْهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"
“Barangsiapa mendengar tentang seseorang yang dizalimi lalu tidak menolongnya, maka Allah tidak akan menolongnya di hari Kiamat.” (HR. Ahmad)
Apakah kita sudah benar-benar menolong? Atau justru diam ketika ketidakadilan terjadi?
Hujan semakin deras. Seorang ibu dengan kerudung basah berlari mencari tempat berteduh. Tanpa pikir panjang, seorang pemuda dari dalam gereja membukakan pintu, mempersilakan ia masuk. Ibu itu ragu, tapi pemuda itu tersenyum: "Silakan, Bu. Ini rumah kita semua."
Aku tersentak. Mungkin inilah yang sering kita lupakan—bahwa kemanusiaan seharusnya mengalahkan segala sekat. Di malam Jumat yang penuh berkah ini, di tengah hiruk-pikuk politik identitas yang memecah belah, masih ada secercah cahaya yang tersisa.
Apakah kita sudah benar-benar menolong? Atau justru diam ketika ketidakadilan terjadi?
Hujan semakin deras. Seorang ibu dengan kerudung basah berlari mencari tempat berteduh. Tanpa pikir panjang, seorang pemuda dari dalam gereja membukakan pintu, mempersilakan ia masuk. Ibu itu ragu, tapi pemuda itu tersenyum: "Silakan, Bu. Ini rumah kita semua."
Aku tersentak. Mungkin inilah yang sering kita lupakan—bahwa kemanusiaan seharusnya mengalahkan segala sekat. Di malam Jumat yang penuh berkah ini, di tengah hiruk-pikuk politik identitas yang memecah belah, masih ada secercah cahaya yang tersisa.
Aku berdiri, menatap Tugu Yogyakarta yang tegak di tengah hujan. Ia diam, tapi seolah berkata: "Kota ini dibangun atas toleransi. Jangan kau hancurkan dengan kebencian."
Aku berjalan pulang, membawa pertanyaan dalam hati: Sudahkah kita benar-benar menghayati makna suci dari malam-malam seperti ini?
Atau jangan-jangan, kita hanya sibuk memperdebatkan siapa yang lebih berhak atas langit ini?
Malam Jumat di Tugu Yogyakarta adalah lukisan hidup yang penuh paradoks: hujan yang basahi bumi, tapi juga basahi hati dengan renungan. Di sini, azan dan puji-pujian gereja bersahutan, bukan bertarung. Di sini, Al-Qur’an dan Injil sama-sama bicara tentang cinta, meski kadang kita yang tak mau mendengar.
Kota ini mengajarkan bahwa perbedaan bukan tembok, tapi jembatan. Bahwa langit tak pernah memilih siapa yang berhak menatapnya. Dan di tengah gempuran politik identitas, Tugu Yogyakarta tetap berdiri—seperti saksi bisu yang berbisik: "Kalian boleh tidak sama, tapi jangan pernah berhenti untuk saling memahami."
Puisi: "Tugu di Malam Jumat Basah"
Kota ini menangis rintik-rintik,
tapi air matanya justru menyuburkan mimpi.
Di pelataran Tugu, waktu merangkak pelan,
mengunyah makna yang kita lupa sepanjang hari.
Azan dan lonceng gereja bersahutan,
seperti dua sajak dalam satu bait puisi.
Yang satu memanggil pada sujud,
yang satu mengisahkan pengorbanan di kayu salib.
Aku duduk di antara dua kekudusan,
menjadi orang asing yang justru merasa paling rumah.
Hujan membersihkan debu dari marmer Tugu,
tapi siapa yang akan membersihkan debu dalam pikiran kita?
Di pelataran Tugu, waktu merangkak pelan,
mengunyah makna yang kita lupa sepanjang hari.
Azan dan lonceng gereja bersahutan,
seperti dua sajak dalam satu bait puisi.
Yang satu memanggil pada sujud,
yang satu mengisahkan pengorbanan di kayu salib.
Aku duduk di antara dua kekudusan,
menjadi orang asing yang justru merasa paling rumah.
Hujan membersihkan debu dari marmer Tugu,
tapi siapa yang akan membersihkan debu dalam pikiran kita?
Malam Jumat ini mengajarku satu hal:
bahwa langit Yogyakarta terlalu luas
untuk hanya diakui oleh satu agama.
Bahwa hujan terlalu suci
untuk hanya disebut berkah oleh satu keyakinan.
Maka biarkan aku menikmati basah ini,
seperti bumi menikmati hujan
tanpa tanya ia datang dari laut mana,
tanpa syak ia untuk siapa.
Catatan pesan suara hati ku:
bahwa langit Yogyakarta terlalu luas
untuk hanya diakui oleh satu agama.
Bahwa hujan terlalu suci
untuk hanya disebut berkah oleh satu keyakinan.
Maka biarkan aku menikmati basah ini,
seperti bumi menikmati hujan
tanpa tanya ia datang dari laut mana,
tanpa syak ia untuk siapa.
Catatan pesan suara hati ku:
"Tugu tak pernah memilih siapa yang boleh memandangnya. Hujan tak pernah pilah siapa yang berhak basah. Lalu mengapa kita, manusia, bersikeras membagi-bagi langit?"
Oleh: Nashrul Mu'minin (Content Writer Yogyakarta)
Oleh: Nashrul Mu'minin (Content Writer Yogyakarta)
Posting Komentar