Pena Laut - Dengan mata dan kuasa-Ku, Aku melihat seorang lelaki tua yang yakin bahwa segala sesuatu yang berkilauan adalah emas. Dan dia dengan penuh keyakinan akan membeli surga dengan emas yang ia bawa.
Kemudian lelaki tua itu mendengarkan alunan nada yang kian lama kian mengeras. Saat semuanya telah menjadi Satu, dan Satu adalah semua. Dan saat itulah ia mulai berjalan menyusuri jalan milik-Ku, hingga bayangannya pun lebih tinggi dari jiwanya.
Dalam perjalanannya, ia melihat seseorang berumur lebih dari setengah abad di dunianya, dan yang semua orang tentu mengenalnya. Sosok yang bersinar dengan cahaya putih dan ingin menunjukkan jalan. Manusia pilihan-Ku, Nur. Nur tersenyum pun mengulurkan tangan untuk menunjukkan jalan padanya. Namun ia enggan dan memilih untuk terus melanjutkan perjalanannya.
Dengan letih ia berjalan, hingga tak bisa lagi ia mendengar angin yang berhembus. Meski setiap anak tangga yang ia injak mengapung di setiap hembusan nafas yang menerpa. Hingga kepalanya pun mulai berdengung dan ia merasa sial karena suara itu tak akan pernah pergi tanpa seizin-Ku. Di sisi kiri tangga, sosok mahluk berjubah hitam itu juga terus memanggil untuk mengajak lelaki tua itu bergabung dengannya. Dan hal itu membuatnya terus bertanya-tanya. Namun, ia tak menghiraukan, karna ia yakin akan ada hal yang lebih besar di ujung sana.
Lelaki tua itu terus berjalan, berjalan, berjalan, dan terus berjalan. Ia merasa bahwa masih ada waktu untuk mengubah takdir yang ia alami. Ya, ada dua jalan yang bisa ia pilih, tapi dalam jangka panjang. Karna ia ingat dengan perkataan salah satu pelacur yang pernah ia temui di ruang tunggu sebelumnya:
"Jika ada kegaduhan di pagar tanggamu, jangan panik. Karna hari baru akan Fajar bagi mereka yang bertahan lama, dan hutan akan bergema dengan tawanya. Namun bagi orang yang tak percaya, senja akan habis dimakan ujung laut dan semuanya akan semakin gelap, gelap, gelap, dan menyisakan langit tanpa warna jingga keemasan."
Sesekali ia berhenti. Ia melihat ke sisi kanan. Di pohon di pinggir sungai, ada burung penyanyi yang terus bernyanyi. Lalu ia melihat lingkaran asap melalui pepohonan. Dan berganti mendengar sorakan mereka yang berdiri melihat ia terus berjalan. Sadar ia hampir sampai ke atas. Melebar matanya, juga ada perasaan tak biasa yang ia dapatkan saat ia melihat ke arah atas.
Saat ia sampai di sini, ia tahu, jika semua pintu telah tertutup. Di penghujung tempat ini, hanya dengan satu kata saja ia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Tapi ia tak ingin yakin, ia tak langsung mengucapkan, ia tak langsung memilih, ia juga tak langsung masuk ke salah satu pintu itu. Karena ia tahu, terkadang kata-kata memiliki lebih dari satu makna. Dan karna ia tahu, bahwa ia hanya ingin bertemu dengan-Ku.
Namun, apa yang membuat ia dengan penuh keyakinan ingin bertemu dengan-Ku? Apakah hanya untuk sekedar membeli keindahan berupa surga? Mungkin, meminta pertolongan? Atau, untuk menyatakan cintanya kepada-Ku?
Seperti inilah yang terjadi beberapa waktu lalu sebelum ia berjalan untuk menemuiku.
Lelaki tua yang semasa hidupnya menjadi Orang Gila, kini terus meneteskan air matanya, meski setiap tetesan yang keluar dari matanya terus mengering karna panasnya api neraka.
"Apalah Tuhan ini! Semasa hidupku kau menyiksaku menjadi orang gila, kini Kau kembali menyiksaku dengan api panas ini."
Lelaki tua itu terus berteriak melawan rasa sakit, juga melawanku.
"Tak adakah imbalanku sebagai manusia yang separuh hidupnya kau jadikan gila!?"
"Persetan kau Tuhan!"
Lelaki tua itu terus-menerus berteriak menyebut nama-Ku. Dan selalu merasa bahwa ada yang salah dengan keputusan-Ku telah memasukannya ke dalam neraka.
"Siapa namamu?" Tanya Malaikat yang sedang menyiksanya lebih dari jutaaan kali.
"Aku Orang Gila."
"Aku bertanya siapa namamu, kau jawab orang gila, di Neraka tidak ada orang gila, di Neraka ini tempat manusia penuh dosa."
"Namaku? Aku tidak ingat siapa namaku, dan begitu juga dosaku, karna aku tak memiliki dosa." Jawab lelaki tua itu.
"Orang-orang di semasa hidupmu memanggilmu dengan sebutan siapa?"
"Semua orang memanggilku orang gila, ada juga yang menyebutku gelandangan, tapi aku lebih suka dipanggil orang gila. Karna bagiku orang gila akan hidup tanpa dosa."
Lelaki tua itu menjelaskan tentang dirinya dengan penuh ketus.
"Tanpa dosa katamu!?" Bentak Malaikat.
"Benar Tuan, sebagai orang gila, aku telah hidup tanpa dosa, dan Tuhan telah melakukan kesalahan yang amat besar telah memasukkanku kedalam neraka."
"Kau pikir Tuhan itu seperti Presiden di Negara yang kau tinggali!? Hingga kau menganggap bahwa Tuhan telah melakukan kesalahan!"
"Di mana negeri tempat kau tinggal?" Tanya Malaikat dengan nada kerasnya.
"Indonesia, Tuan."
"Pantas saja." Saut Malaikat.
Tak terhitung beberapa waktu setelahnya, ketika seluruh siksaan terhenti sejenak. Malaikat juga ciptaanku, mereka juga membutuhkan istirahat, beberapa di antaranya memilih untuk tidur, memilih untuk makan, ada juga yang memilih untuk berdiam diri saja.
Beberapa orang, di dalam neraka mereka berbagi masalalu. Menceritakan perbuatan dosa yang membuat mereka masuk ke dalam neraka. Di ruang tunggu, lelaki tua itu terus saja mengelus-ngelus kepalanya yang tanpa rambut itu. Meratapi, menolak, dan mengingat-ngingat dosa apa yang pernah ia lakukan semasa hidup di dunia.
"Terima saja." Kata perempuan tua yang berada tepat di sampingnya.
"Siapa kau?" Tanya lelaki tua itu.
"Namaku Siti, tapi karna dulu aku seorang pelacur, jadi Bebeb Sisi namaku."
"Jadi kau seorang pelacur?" Tanyanya penuh curiga.
"Iya, kenapa kau seperti tak percaya begitu?"
"Tidak, hanya saja, mungkin tempat ini memang sudah sepantasnya untukmu, tapi tidak denganku."
"Apakah kau seorang Nabi?" Tanya Bebeb Sisi.
"Tidak, aku hanyalah orang gila, menghabiskan separuh hidupku menjadi orang gila."
"Orang-orang yang tidak percaya terhadapNya juga menganggap kalau Nabi itu orang gila." Saut Bebeb Sisi.
"Jadi bagiku sama saja." Bebeb Sisi menegaskan.
Keberadaan Bebeb Sisi itu justru tak membuatnya semakin membaik. Karena ia sangat tidak bisa menerima jika ia harus berada di tempat yang sama dengan seorang pelacur. Baginya tak ada yang bisa dibenarkan dari seorang pelacur, dan memang sudah sepantasnya Bebeb Sisi ditempatkan di neraka. Sedangkan baginya, ia hanyalah orang gila yang tak tahu apa-apa hingga di penghujung hidupnya, ia tak menemukan apa yang menjadi dosa untuk orang-orang gila sepertinya. Dalam benaknya ia selalu berpikir, apakah keberadaannya di depan kios, warung, dan depan rumah-rumah warga desa mengakibatkan dosa? Bukankah itu adalah hal-hal yang sudah menjadi fitrahnya sebagai orang gila. Lagi pula, jika harus pulang, kemana juga orang-orang gila sepertinya akan pulang. Pikiran itu tak pernah hilang dari kepalanya yang tanpa rambut itu.
Semua orang yang ada di ruang tunggu neraka selalu berbicara dengan mudah, seolah telah menerima apa yang menjadi akibat dari seluruh dosa-dosa yang mereka lakukan semasa hidup di dunia, terkecuali lelaki tua itu. Hanya lelaki tua itu yang berdiam dengan amat resah, dan selalu berbicara dengan berat. Tak ada satupun yang peduli, namun juga terus memaki. Nafasnya sesekali terhenti, hingga beberapa waktunya kembali lagi. Namun memori yang hilang tak kembali berganti, dipaksa tumbuh bersama dengan hari-hari yang baginya basi. Menjalani hidup selamanya di dalam neraka amatlah keras, tak sebanding dengan hidupnya yang lemah. Dan juga tak ada manusia di sekitarnya yang bisa mengerti. Kemudian dalam diamnya, ia melihat salah satu cahaya kilauan-Ku di balik pintu yang kian lama kian Aku terangkan. Sejak saat itu pun ia mulai pergi, dan berharap akan kembali bertemu matahari.
Ia berjalan keluar dari ruang tunggu, sendirian. Dengan isi kepala yang membesar dan hatinya yang kian lama kian memecah dipenuhi rasa benci terhadap-Ku. Ketika ia memutuskan untuk mencari sumber dari Cahayaku, baginya pertarungan denganku telah tiba dan saatnya membuktikan bahwa baginya Aku melakukan kesalahan. Ia berjalan melewati lorong seribu dinding. Selepas itu menyelam hingga palung terdalam. Lompati tingginya gedung-gedung yang menjulang. Tak lupa ia menyaksikan ribuan ikan beterbangan di langit-Ku. Menendang tiang-tiang yang menghadang, dan jika terlalu keras, ia terus memanjat sampai atas, seolah tak pernah ada halangan yang selamanya kekal. Karna meskipun ia gila, ia juga memiliki banyak akal. Sadar bahwa ia telah melakukan cara yang curang, namun tetap sigap dan terus melawan. Karna baginya, melawan-Ku hanyalah butuh nyali sepanas arang. Kalah, menang, perihal belakang.
Ketika lelaki tua itu membalikkan badannya menghadap membelakangi pintu, alangkah terkejutnya ia. Kekacauan bawah sadar dan riuhnya setiap anak tangga tadi, serta-merta terlempar jauh, terbalik menjadi kedamaian, juga ketenangan. Segala hasrat untuk melawanku kian meruntuh. Kesombongannya pun meninggalkan dirinya. Rasa ingin menyerang yang semula sepanas arang kini telah menjadi abu. Silau-Ku melayang-layang hingga membuatnya luluh. Aku memperlihatkan mata-Ku, lalu ia melihat mata-Ku seperti melihat matanya sendiri. Karena Satu adalah semua, dan semua adalah Satu. Di ujung tangga ini, hanya ada kami berdua, Aku dan lelaki tua tanpa rambut itu.
Kini cahayaku memutarinya, Aku bawa ia terbang jauh menembus ruang dan waktu. Karna semua orang tahu, tak ada satupun yang sanggup menuntunnya menuju Aku, selain Aku. Lalu Aku bawa ia lagi menembus dimensi-Ku. Sejenak, Aku melepaskan gaunnya, hingga melepas jubah yang begitu menggerahkannya. Aku membawanya ke sebuah taman yang selalu aku jadikan sebagai tempatku untuk menciptakan alam semesta ini. Ia pun begitu takjub dengan tempat yang belum pernah ia rasakan di dunianya dulu. Lalu Aku perlihatkan ia sebuah pohon terbesar yang pernah Aku ciptakan di alam semesta ini, tentunya dengan sebiji buah pengetahuan. Hingga kenangannya pun terbawa terbang ke memori yang sebelumnya telah usang.
Selepas umurnya yang sewaktu itu menginjak 19 tahun. Timbul gejolak hasratnya untuk merasakan cinta. Ia masuk ke Universitas yang cukup ternama di Indonesia. Bertambah pengetahuan, sahabat, beberapa teman. Hingga pada suatu titik ia bertemu dengan perempuan cantik nan indah bernama, Kirana.
Saling kenal, saling tahu, saling mengerti, saling memahami, saling merasakan, kemudian keduanya terhanyut dalam sebuah kedekatan, lalu saling mencintai. Lelaki itu begitu mencintai Kirana, begitu juga dengan Kirana. Lelaki itu melakukan apapun yang diinginkan Kirana. Pun Kirana juga menyerahkan apapun yang lelaki itu inginkan.
Bergetar disekujur tubuhnya bila Kirana ada di sampingnya. Jantungnya pun semakin cepat berdetak bila Kirana menyentuhnya. Dan mungkin Kirana juga merasakan apa yang selama ini lelaki itu rasakan. Jiwa keduanya kian lama kian membakar. Lelaki itu ingin mengatakan angan mungilnya pada Kirana, namun ia ragu. Sedang Kirana berharap lelaki itu mengungkapkan gairah tak biasanya itu. Lelaki itu mulai melupakan siapa dia, siapa Kirana, dan siapa Kita.
"Apakah kau juga merasakan gairah ini?" Tanya lelaki itu kepada Kirana.
"Mungkin."
"Mungkinkah kita melakukannya?"
"Mungkin, sekali saja?"
Lelaki itu mulai meraba-raba bagian yang membuat seluruh perempuan di dunia itu dimabuk asmara. Jemarinya mulai menari-nari di wajah hingga lutut Kirana. Lelaki itu mulai menyentuhnya. Hingga membuat Kirana melayang-layang. Lelaki itu menyentuh tepat dibagian Hatinya, ia membiarkan segala hal milik Kirana menjadi Miliknya.
Sekali lagi, lelaki itu menyentuh bagian terdalam pada hati milik Kirana dengan penuh Cinta. Sekali lagi, Kirana berbunga-bunga dengan gairah yang tak biasa itu. Sekali lagi, Kirana menyerahkan seluruh jasadnya kepada lelaki itu. Sekali lagi, lelaki itu menjalani hari-hari dengan penuh bahagia. Sekali lagi, keduanya saling meminta lagi. Sekali lagi, keduanya semakin melupakan siapa Aku. Sekali lagi, keduanya medamba-dambakan Cinta. Sekali lagi, keduanya penuh rindu. Sekali lagi, Kirana semakin menjadi-jadi. Sekali lagi, Kirana melupakan batas norma-norma agama dan petuah orang tua. Sekali lagi, Kirana semakin jatuh Cinta. Sekali lagi, nilai-nilai yang dimiliki lelaki itu bergeser. Sekali lagi, lelaki itu bosan. Sekali lagi, Kirana memohon untuk tetap sekali lagi. Sekali lagi, lelaki itu berpaling hati. Sekali lagi, lelaki itu selingkuh.
Kirana menangis, Kirana kecewa, Kirana lebih menyukai lelaki itu yang dulu, meski tanpa rasa cinta yang berlebih tapi Kirana suka. Asalkan tanpa kabar selingkuh dan kata-kata putus.
"Sekali lagi?" Kirana memohon kepada Lelaki itu.
Sekali lagi, mereka melepas rindu. Sekali lagi, Kirana menyerahkan seluruh jasadnya kepada lelaki itu. Sekali lagi, lelaki itu menjalani hari-hari dengan penuh bahagia. Sekali lagi, Lelaki itu berakting di depan Kirana. Sekali lagi, Kirana memasangkan alat kontrasepsi dengan mulutnya tepat di gaman milik lelaki itu. Sekali lagi, lelaki itu menarik nafas sedalam-dalamnya. Sekali lagi, lelaki itu keluar. Sekali lagi, mereka berbincang masalalu. Sekali lagi, mereka tertidur pulas. Sekali lagi, lelaki itu berubah. Sekali lagi, lelaki itu kembali berpaling dan selingkuh, lagi.
"Aku rindu." Ucap Kirana.
"Aku Tidak." Jawab lelaki itu.
Sekali lagi, Kirana menangis. Sekali lagi, Kirana marah, Kirana kecewa. Sekali lagi, lelaki itu telah hidup dengan perempuan selingkuhannya. Sekali lagi, Kirana menangis. Sekali lagi, Kirana ingin tetap tinggal. Sekali lagi, Kirana begitu mengganggu kehidupan lelaki itu. Sekali lagi, Kirana sengaja semakin deras hitamkan sejarah hidupnya. Sekali lagi, lelaki itu muak. Sekali lagi, Kirana tetap ketus. Sekali lagi, Kirana rindu. Sekali lagi, lelaki itu tidak. Sekali lagi, Kirana membuat lelaki itu semakin muak. Sekali lagi, Lelaki itu usai dengan perempuan barunya karna ulah Kirana. Sekali lagi, Kirana rindu. Sekali lagi, lelaki tua itu benci. Sekali lagi, lelaki itu menyalahkan Kirana atas setiap kesialan yang terjadi pada dirinya.
Sekali lagi, dalam bawah sadarnya lelaki itu menyebarkan aib-aib milik Kirana. Dan tersebarlah hal-hal yang paling ditakutkan oleh perempuan di seluruh dunia ini yang telah menyerahkan jasadnya kepada lelaki-lelaki yang belum tentu menemani hingga akhir hidupnya. Lewat koran, TV, sosial media, dan lain sebagainya hingga menyebar ke semua orang baik yang ia kenal maupun tidak. Sekali lagi, Kirana menangis, Kirana kecewa, namun kali ini Kirana juga dipenuhi dengan rasa ketakutan. Sekali lagi, Kirana mulai membenci Cinta. Sekali lagi, semua orang tak ada yang mengerti perasaan Kirana. Sekali lagi, Kirana tersudut malu, sedang lelaki itu tertawa merayakan yang ia anggap sebagai kemenangan. Sekali lagi, semua orang meninggalkan Kirana. Sekali lagi, Kirana menyerah atas dirinya karna kehidupannya hancur lebur bagaikan debu menerpa matanya. Tak ada satupun keluarga, sahabat, dan teman-temannya yang memberikan pelukan sebagai sebuah perlindungan. Justru semua orang yang dianggap dekat berubah menjadi penyambuk bagi Kirana. Segala hal yang berhubungan dengan cinta telah menjadi luka di pelupuk mata yang tak pernah mengering bagi Kirana. Sekali lagi, setiap manusia baik meninggalkan Kirana. Hingga yang terakhir, Kirana dengan sengaja meninggalkan dirinya sendiri.
7 Tahun berjalan, tak ada satupun hari yang berjalan dengan baik dalam kehidupan lelaki itu. Lelaki itu hidup dengan rasa takut dan perasaan bersalah. Dengan berakhirnya Kirana, lelaki itu tak pernah menemukan cintanya lagi. Sedang semua teman sebayanya telah menikah, namun setiap perempuan yang ia kenal pun menjauhinya karna masalalu yang sangat kelam dengan Kirana dulu. Hingga pada suatu titik Aku menghapus pikiran dan jiwanya. Menyisakan jasadnya yang masih belum mati.
"Jika dunia ini bisa Kau putar kembali, masih adakah sebuah remidi sekali lagi untukku? Bolehkah aku menemuinya kembali untuk meminta maaf kepadannya, Tuhan?" Ucap pinta lelaki tua itu kepada-Ku. Pilu membiru wajahnya, dipenuhi dengan perasaan bersalah yang sebelumnya telah usang. Aku memberitahunya bahwa bumi itu telah berhenti berputar. "Apakah kau memaafkan aku, Tuhan?" Tanya Lelaki itu, sekali lagi.
Aku memberitahunya bahwa aku telah memaafkannya, terhitung dari sejak Aku membiarkan jasadnya yang belum mati itu termenung di bumi dulu. Apapun perbuatan setiap manusia, jika kesalahan itu berkaitan denganku, akan mudah mendapatkan belas kasih dan kata maaf jika manusia itu tobat, dan menyerahkan dirinya kepada-Ku. Tapi tak berlaku untuk dosa antara manusia satu dengan manusia lain. Syukurlah jika dosa itu dimaafkan oleh manusia, namun jika tidak, malanglah hidupnya di manapun manusia berada. Penerimaan maaf itu tak mudah, memohon maaf itu juga tak mudah.
Tapi, "Aku memaafkanmu."
Lelaki tua itu menunduk dengan wajah kalahnya. Ia berjalan turun melewati setiap anak tangga yang juga ikut terdiam, ditemani sepi dan hampa. Lalu salah seorang perempuan di ambang Surga dan Neraka memanggil namanya, "Asa!"Lelaki yang sedari tadi aku ceritakan ini bernama Asa.
"Aku rindu." Kata perempuan itu, lagi.
Grajagan Pantai, 3 September 2024
Kemudian lelaki tua itu mendengarkan alunan nada yang kian lama kian mengeras. Saat semuanya telah menjadi Satu, dan Satu adalah semua. Dan saat itulah ia mulai berjalan menyusuri jalan milik-Ku, hingga bayangannya pun lebih tinggi dari jiwanya.
Dalam perjalanannya, ia melihat seseorang berumur lebih dari setengah abad di dunianya, dan yang semua orang tentu mengenalnya. Sosok yang bersinar dengan cahaya putih dan ingin menunjukkan jalan. Manusia pilihan-Ku, Nur. Nur tersenyum pun mengulurkan tangan untuk menunjukkan jalan padanya. Namun ia enggan dan memilih untuk terus melanjutkan perjalanannya.
Dengan letih ia berjalan, hingga tak bisa lagi ia mendengar angin yang berhembus. Meski setiap anak tangga yang ia injak mengapung di setiap hembusan nafas yang menerpa. Hingga kepalanya pun mulai berdengung dan ia merasa sial karena suara itu tak akan pernah pergi tanpa seizin-Ku. Di sisi kiri tangga, sosok mahluk berjubah hitam itu juga terus memanggil untuk mengajak lelaki tua itu bergabung dengannya. Dan hal itu membuatnya terus bertanya-tanya. Namun, ia tak menghiraukan, karna ia yakin akan ada hal yang lebih besar di ujung sana.
Lelaki tua itu terus berjalan, berjalan, berjalan, dan terus berjalan. Ia merasa bahwa masih ada waktu untuk mengubah takdir yang ia alami. Ya, ada dua jalan yang bisa ia pilih, tapi dalam jangka panjang. Karna ia ingat dengan perkataan salah satu pelacur yang pernah ia temui di ruang tunggu sebelumnya:
"Jika ada kegaduhan di pagar tanggamu, jangan panik. Karna hari baru akan Fajar bagi mereka yang bertahan lama, dan hutan akan bergema dengan tawanya. Namun bagi orang yang tak percaya, senja akan habis dimakan ujung laut dan semuanya akan semakin gelap, gelap, gelap, dan menyisakan langit tanpa warna jingga keemasan."
Sesekali ia berhenti. Ia melihat ke sisi kanan. Di pohon di pinggir sungai, ada burung penyanyi yang terus bernyanyi. Lalu ia melihat lingkaran asap melalui pepohonan. Dan berganti mendengar sorakan mereka yang berdiri melihat ia terus berjalan. Sadar ia hampir sampai ke atas. Melebar matanya, juga ada perasaan tak biasa yang ia dapatkan saat ia melihat ke arah atas.
Saat ia sampai di sini, ia tahu, jika semua pintu telah tertutup. Di penghujung tempat ini, hanya dengan satu kata saja ia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Tapi ia tak ingin yakin, ia tak langsung mengucapkan, ia tak langsung memilih, ia juga tak langsung masuk ke salah satu pintu itu. Karena ia tahu, terkadang kata-kata memiliki lebih dari satu makna. Dan karna ia tahu, bahwa ia hanya ingin bertemu dengan-Ku.
Namun, apa yang membuat ia dengan penuh keyakinan ingin bertemu dengan-Ku? Apakah hanya untuk sekedar membeli keindahan berupa surga? Mungkin, meminta pertolongan? Atau, untuk menyatakan cintanya kepada-Ku?
Seperti inilah yang terjadi beberapa waktu lalu sebelum ia berjalan untuk menemuiku.
Lelaki tua yang semasa hidupnya menjadi Orang Gila, kini terus meneteskan air matanya, meski setiap tetesan yang keluar dari matanya terus mengering karna panasnya api neraka.
"Apalah Tuhan ini! Semasa hidupku kau menyiksaku menjadi orang gila, kini Kau kembali menyiksaku dengan api panas ini."
Lelaki tua itu terus berteriak melawan rasa sakit, juga melawanku.
"Tak adakah imbalanku sebagai manusia yang separuh hidupnya kau jadikan gila!?"
"Persetan kau Tuhan!"
Lelaki tua itu terus-menerus berteriak menyebut nama-Ku. Dan selalu merasa bahwa ada yang salah dengan keputusan-Ku telah memasukannya ke dalam neraka.
"Siapa namamu?" Tanya Malaikat yang sedang menyiksanya lebih dari jutaaan kali.
"Aku Orang Gila."
"Aku bertanya siapa namamu, kau jawab orang gila, di Neraka tidak ada orang gila, di Neraka ini tempat manusia penuh dosa."
"Namaku? Aku tidak ingat siapa namaku, dan begitu juga dosaku, karna aku tak memiliki dosa." Jawab lelaki tua itu.
"Orang-orang di semasa hidupmu memanggilmu dengan sebutan siapa?"
"Semua orang memanggilku orang gila, ada juga yang menyebutku gelandangan, tapi aku lebih suka dipanggil orang gila. Karna bagiku orang gila akan hidup tanpa dosa."
Lelaki tua itu menjelaskan tentang dirinya dengan penuh ketus.
"Tanpa dosa katamu!?" Bentak Malaikat.
"Benar Tuan, sebagai orang gila, aku telah hidup tanpa dosa, dan Tuhan telah melakukan kesalahan yang amat besar telah memasukkanku kedalam neraka."
"Kau pikir Tuhan itu seperti Presiden di Negara yang kau tinggali!? Hingga kau menganggap bahwa Tuhan telah melakukan kesalahan!"
"Di mana negeri tempat kau tinggal?" Tanya Malaikat dengan nada kerasnya.
"Indonesia, Tuan."
"Pantas saja." Saut Malaikat.
Tak terhitung beberapa waktu setelahnya, ketika seluruh siksaan terhenti sejenak. Malaikat juga ciptaanku, mereka juga membutuhkan istirahat, beberapa di antaranya memilih untuk tidur, memilih untuk makan, ada juga yang memilih untuk berdiam diri saja.
Beberapa orang, di dalam neraka mereka berbagi masalalu. Menceritakan perbuatan dosa yang membuat mereka masuk ke dalam neraka. Di ruang tunggu, lelaki tua itu terus saja mengelus-ngelus kepalanya yang tanpa rambut itu. Meratapi, menolak, dan mengingat-ngingat dosa apa yang pernah ia lakukan semasa hidup di dunia.
"Terima saja." Kata perempuan tua yang berada tepat di sampingnya.
"Siapa kau?" Tanya lelaki tua itu.
"Namaku Siti, tapi karna dulu aku seorang pelacur, jadi Bebeb Sisi namaku."
"Jadi kau seorang pelacur?" Tanyanya penuh curiga.
"Iya, kenapa kau seperti tak percaya begitu?"
"Tidak, hanya saja, mungkin tempat ini memang sudah sepantasnya untukmu, tapi tidak denganku."
"Apakah kau seorang Nabi?" Tanya Bebeb Sisi.
"Tidak, aku hanyalah orang gila, menghabiskan separuh hidupku menjadi orang gila."
"Orang-orang yang tidak percaya terhadapNya juga menganggap kalau Nabi itu orang gila." Saut Bebeb Sisi.
"Jadi bagiku sama saja." Bebeb Sisi menegaskan.
Keberadaan Bebeb Sisi itu justru tak membuatnya semakin membaik. Karena ia sangat tidak bisa menerima jika ia harus berada di tempat yang sama dengan seorang pelacur. Baginya tak ada yang bisa dibenarkan dari seorang pelacur, dan memang sudah sepantasnya Bebeb Sisi ditempatkan di neraka. Sedangkan baginya, ia hanyalah orang gila yang tak tahu apa-apa hingga di penghujung hidupnya, ia tak menemukan apa yang menjadi dosa untuk orang-orang gila sepertinya. Dalam benaknya ia selalu berpikir, apakah keberadaannya di depan kios, warung, dan depan rumah-rumah warga desa mengakibatkan dosa? Bukankah itu adalah hal-hal yang sudah menjadi fitrahnya sebagai orang gila. Lagi pula, jika harus pulang, kemana juga orang-orang gila sepertinya akan pulang. Pikiran itu tak pernah hilang dari kepalanya yang tanpa rambut itu.
Semua orang yang ada di ruang tunggu neraka selalu berbicara dengan mudah, seolah telah menerima apa yang menjadi akibat dari seluruh dosa-dosa yang mereka lakukan semasa hidup di dunia, terkecuali lelaki tua itu. Hanya lelaki tua itu yang berdiam dengan amat resah, dan selalu berbicara dengan berat. Tak ada satupun yang peduli, namun juga terus memaki. Nafasnya sesekali terhenti, hingga beberapa waktunya kembali lagi. Namun memori yang hilang tak kembali berganti, dipaksa tumbuh bersama dengan hari-hari yang baginya basi. Menjalani hidup selamanya di dalam neraka amatlah keras, tak sebanding dengan hidupnya yang lemah. Dan juga tak ada manusia di sekitarnya yang bisa mengerti. Kemudian dalam diamnya, ia melihat salah satu cahaya kilauan-Ku di balik pintu yang kian lama kian Aku terangkan. Sejak saat itu pun ia mulai pergi, dan berharap akan kembali bertemu matahari.
Ia berjalan keluar dari ruang tunggu, sendirian. Dengan isi kepala yang membesar dan hatinya yang kian lama kian memecah dipenuhi rasa benci terhadap-Ku. Ketika ia memutuskan untuk mencari sumber dari Cahayaku, baginya pertarungan denganku telah tiba dan saatnya membuktikan bahwa baginya Aku melakukan kesalahan. Ia berjalan melewati lorong seribu dinding. Selepas itu menyelam hingga palung terdalam. Lompati tingginya gedung-gedung yang menjulang. Tak lupa ia menyaksikan ribuan ikan beterbangan di langit-Ku. Menendang tiang-tiang yang menghadang, dan jika terlalu keras, ia terus memanjat sampai atas, seolah tak pernah ada halangan yang selamanya kekal. Karna meskipun ia gila, ia juga memiliki banyak akal. Sadar bahwa ia telah melakukan cara yang curang, namun tetap sigap dan terus melawan. Karna baginya, melawan-Ku hanyalah butuh nyali sepanas arang. Kalah, menang, perihal belakang.
Ketika lelaki tua itu membalikkan badannya menghadap membelakangi pintu, alangkah terkejutnya ia. Kekacauan bawah sadar dan riuhnya setiap anak tangga tadi, serta-merta terlempar jauh, terbalik menjadi kedamaian, juga ketenangan. Segala hasrat untuk melawanku kian meruntuh. Kesombongannya pun meninggalkan dirinya. Rasa ingin menyerang yang semula sepanas arang kini telah menjadi abu. Silau-Ku melayang-layang hingga membuatnya luluh. Aku memperlihatkan mata-Ku, lalu ia melihat mata-Ku seperti melihat matanya sendiri. Karena Satu adalah semua, dan semua adalah Satu. Di ujung tangga ini, hanya ada kami berdua, Aku dan lelaki tua tanpa rambut itu.
Kini cahayaku memutarinya, Aku bawa ia terbang jauh menembus ruang dan waktu. Karna semua orang tahu, tak ada satupun yang sanggup menuntunnya menuju Aku, selain Aku. Lalu Aku bawa ia lagi menembus dimensi-Ku. Sejenak, Aku melepaskan gaunnya, hingga melepas jubah yang begitu menggerahkannya. Aku membawanya ke sebuah taman yang selalu aku jadikan sebagai tempatku untuk menciptakan alam semesta ini. Ia pun begitu takjub dengan tempat yang belum pernah ia rasakan di dunianya dulu. Lalu Aku perlihatkan ia sebuah pohon terbesar yang pernah Aku ciptakan di alam semesta ini, tentunya dengan sebiji buah pengetahuan. Hingga kenangannya pun terbawa terbang ke memori yang sebelumnya telah usang.
Selepas umurnya yang sewaktu itu menginjak 19 tahun. Timbul gejolak hasratnya untuk merasakan cinta. Ia masuk ke Universitas yang cukup ternama di Indonesia. Bertambah pengetahuan, sahabat, beberapa teman. Hingga pada suatu titik ia bertemu dengan perempuan cantik nan indah bernama, Kirana.
Saling kenal, saling tahu, saling mengerti, saling memahami, saling merasakan, kemudian keduanya terhanyut dalam sebuah kedekatan, lalu saling mencintai. Lelaki itu begitu mencintai Kirana, begitu juga dengan Kirana. Lelaki itu melakukan apapun yang diinginkan Kirana. Pun Kirana juga menyerahkan apapun yang lelaki itu inginkan.
Bergetar disekujur tubuhnya bila Kirana ada di sampingnya. Jantungnya pun semakin cepat berdetak bila Kirana menyentuhnya. Dan mungkin Kirana juga merasakan apa yang selama ini lelaki itu rasakan. Jiwa keduanya kian lama kian membakar. Lelaki itu ingin mengatakan angan mungilnya pada Kirana, namun ia ragu. Sedang Kirana berharap lelaki itu mengungkapkan gairah tak biasanya itu. Lelaki itu mulai melupakan siapa dia, siapa Kirana, dan siapa Kita.
"Apakah kau juga merasakan gairah ini?" Tanya lelaki itu kepada Kirana.
"Mungkin."
"Mungkinkah kita melakukannya?"
"Mungkin, sekali saja?"
Lelaki itu mulai meraba-raba bagian yang membuat seluruh perempuan di dunia itu dimabuk asmara. Jemarinya mulai menari-nari di wajah hingga lutut Kirana. Lelaki itu mulai menyentuhnya. Hingga membuat Kirana melayang-layang. Lelaki itu menyentuh tepat dibagian Hatinya, ia membiarkan segala hal milik Kirana menjadi Miliknya.
Sekali lagi, lelaki itu menyentuh bagian terdalam pada hati milik Kirana dengan penuh Cinta. Sekali lagi, Kirana berbunga-bunga dengan gairah yang tak biasa itu. Sekali lagi, Kirana menyerahkan seluruh jasadnya kepada lelaki itu. Sekali lagi, lelaki itu menjalani hari-hari dengan penuh bahagia. Sekali lagi, keduanya saling meminta lagi. Sekali lagi, keduanya semakin melupakan siapa Aku. Sekali lagi, keduanya medamba-dambakan Cinta. Sekali lagi, keduanya penuh rindu. Sekali lagi, Kirana semakin menjadi-jadi. Sekali lagi, Kirana melupakan batas norma-norma agama dan petuah orang tua. Sekali lagi, Kirana semakin jatuh Cinta. Sekali lagi, nilai-nilai yang dimiliki lelaki itu bergeser. Sekali lagi, lelaki itu bosan. Sekali lagi, Kirana memohon untuk tetap sekali lagi. Sekali lagi, lelaki itu berpaling hati. Sekali lagi, lelaki itu selingkuh.
Kirana menangis, Kirana kecewa, Kirana lebih menyukai lelaki itu yang dulu, meski tanpa rasa cinta yang berlebih tapi Kirana suka. Asalkan tanpa kabar selingkuh dan kata-kata putus.
"Sekali lagi?" Kirana memohon kepada Lelaki itu.
Sekali lagi, mereka melepas rindu. Sekali lagi, Kirana menyerahkan seluruh jasadnya kepada lelaki itu. Sekali lagi, lelaki itu menjalani hari-hari dengan penuh bahagia. Sekali lagi, Lelaki itu berakting di depan Kirana. Sekali lagi, Kirana memasangkan alat kontrasepsi dengan mulutnya tepat di gaman milik lelaki itu. Sekali lagi, lelaki itu menarik nafas sedalam-dalamnya. Sekali lagi, lelaki itu keluar. Sekali lagi, mereka berbincang masalalu. Sekali lagi, mereka tertidur pulas. Sekali lagi, lelaki itu berubah. Sekali lagi, lelaki itu kembali berpaling dan selingkuh, lagi.
"Aku rindu." Ucap Kirana.
"Aku Tidak." Jawab lelaki itu.
Sekali lagi, Kirana menangis. Sekali lagi, Kirana marah, Kirana kecewa. Sekali lagi, lelaki itu telah hidup dengan perempuan selingkuhannya. Sekali lagi, Kirana menangis. Sekali lagi, Kirana ingin tetap tinggal. Sekali lagi, Kirana begitu mengganggu kehidupan lelaki itu. Sekali lagi, Kirana sengaja semakin deras hitamkan sejarah hidupnya. Sekali lagi, lelaki itu muak. Sekali lagi, Kirana tetap ketus. Sekali lagi, Kirana rindu. Sekali lagi, lelaki itu tidak. Sekali lagi, Kirana membuat lelaki itu semakin muak. Sekali lagi, Lelaki itu usai dengan perempuan barunya karna ulah Kirana. Sekali lagi, Kirana rindu. Sekali lagi, lelaki tua itu benci. Sekali lagi, lelaki itu menyalahkan Kirana atas setiap kesialan yang terjadi pada dirinya.
Sekali lagi, dalam bawah sadarnya lelaki itu menyebarkan aib-aib milik Kirana. Dan tersebarlah hal-hal yang paling ditakutkan oleh perempuan di seluruh dunia ini yang telah menyerahkan jasadnya kepada lelaki-lelaki yang belum tentu menemani hingga akhir hidupnya. Lewat koran, TV, sosial media, dan lain sebagainya hingga menyebar ke semua orang baik yang ia kenal maupun tidak. Sekali lagi, Kirana menangis, Kirana kecewa, namun kali ini Kirana juga dipenuhi dengan rasa ketakutan. Sekali lagi, Kirana mulai membenci Cinta. Sekali lagi, semua orang tak ada yang mengerti perasaan Kirana. Sekali lagi, Kirana tersudut malu, sedang lelaki itu tertawa merayakan yang ia anggap sebagai kemenangan. Sekali lagi, semua orang meninggalkan Kirana. Sekali lagi, Kirana menyerah atas dirinya karna kehidupannya hancur lebur bagaikan debu menerpa matanya. Tak ada satupun keluarga, sahabat, dan teman-temannya yang memberikan pelukan sebagai sebuah perlindungan. Justru semua orang yang dianggap dekat berubah menjadi penyambuk bagi Kirana. Segala hal yang berhubungan dengan cinta telah menjadi luka di pelupuk mata yang tak pernah mengering bagi Kirana. Sekali lagi, setiap manusia baik meninggalkan Kirana. Hingga yang terakhir, Kirana dengan sengaja meninggalkan dirinya sendiri.
7 Tahun berjalan, tak ada satupun hari yang berjalan dengan baik dalam kehidupan lelaki itu. Lelaki itu hidup dengan rasa takut dan perasaan bersalah. Dengan berakhirnya Kirana, lelaki itu tak pernah menemukan cintanya lagi. Sedang semua teman sebayanya telah menikah, namun setiap perempuan yang ia kenal pun menjauhinya karna masalalu yang sangat kelam dengan Kirana dulu. Hingga pada suatu titik Aku menghapus pikiran dan jiwanya. Menyisakan jasadnya yang masih belum mati.
"Jika dunia ini bisa Kau putar kembali, masih adakah sebuah remidi sekali lagi untukku? Bolehkah aku menemuinya kembali untuk meminta maaf kepadannya, Tuhan?" Ucap pinta lelaki tua itu kepada-Ku. Pilu membiru wajahnya, dipenuhi dengan perasaan bersalah yang sebelumnya telah usang. Aku memberitahunya bahwa bumi itu telah berhenti berputar. "Apakah kau memaafkan aku, Tuhan?" Tanya Lelaki itu, sekali lagi.
Aku memberitahunya bahwa aku telah memaafkannya, terhitung dari sejak Aku membiarkan jasadnya yang belum mati itu termenung di bumi dulu. Apapun perbuatan setiap manusia, jika kesalahan itu berkaitan denganku, akan mudah mendapatkan belas kasih dan kata maaf jika manusia itu tobat, dan menyerahkan dirinya kepada-Ku. Tapi tak berlaku untuk dosa antara manusia satu dengan manusia lain. Syukurlah jika dosa itu dimaafkan oleh manusia, namun jika tidak, malanglah hidupnya di manapun manusia berada. Penerimaan maaf itu tak mudah, memohon maaf itu juga tak mudah.
Tapi, "Aku memaafkanmu."
Lelaki tua itu menunduk dengan wajah kalahnya. Ia berjalan turun melewati setiap anak tangga yang juga ikut terdiam, ditemani sepi dan hampa. Lalu salah seorang perempuan di ambang Surga dan Neraka memanggil namanya, "Asa!"Lelaki yang sedari tadi aku ceritakan ini bernama Asa.
"Aku rindu." Kata perempuan itu, lagi.
Grajagan Pantai, 3 September 2024
Oleh: Ferdian N. Yudistiro
Posting Komentar