Rangkaian kegiatan dimulai dengan pembukaan, sambutan, pemberian cinderamata buku secara simbolis kepada Rektor UNIIB, PCNU Banyuwangi, serta Ketua Majelis Alumni (MA) IPNU Banyuwangi, hingga puncaknya yakni bedah buku.
Acara ini menjadi ajang refleksi sekaligus pembuktian bahwa kader muda NU tetap produktif menghasilkan karya di tengah gempuran budaya digital.
Acara ini menjadi ajang refleksi sekaligus pembuktian bahwa kader muda NU tetap produktif menghasilkan karya di tengah gempuran budaya digital.
Dr. Kurniatul Faizah M,Pd., sebagai perwakilan Rektor (Wakil Rektor 3) UNIIB, dalam sambutannya memberikan apresiasi tinggi terhadap kegiatan ini. Ia menekankan pentingnya menjaga tradisi menulis dan membaca yang kini mulai tergerus oleh kebiasaan mengonsumsi informasi instan dari internet.
"Alhamdulillah, di tengah-tengah perkembangan teknologi, digitalisasi, teman-teman menghasilkan sebuah karya buku yang luar biasa keren untuk menjadi motivasi bagi kita semua, di mana pengembangan literasi menulis dan membaca ini sudah mulai surut di tengah-tengah kita," ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya produk literasi di tengah gempuran arus informasi digital yang sering kali tidak teruji kebenarannya.
"Karena kita lebih nyaman scroll-scroll, cari inspirasi dari HP, dari YouTube, dari Google. Nah, apakah ini kebenarannya sudah teruji atau belum, yang penting kalau dari Google, itu sudah percaya 100 persen. Nah, ini yang perlu kita kaji bersama," tambahnya.
Sementara itu, dalam sesi bedah buku, Ketua MA IPNU Banyuwangi, Lukman Hadi Abdillah, memberikan motivasi psikologis bagi para kader yang ingin mulai berkarya. Menurutnya, hambatan terbesar seringkali datang dari pikiran sendiri yang terlalu penuh dengan rencana namun minim aksi.
"Pikirannya penuh. Mau ini, mau ini, tapi tidak segera start. Dua-duanya adalah jebakan psikologis," ungkap Lukman.
Ia menganalogikan proses berkarya seperti benih yang harus berjuang muncul ke permukaan.
"Ingat, benih itu ya yang paling pertama dia hanyalah sebentuk yang keluar dari gelapnya tanah itu ya. Setelah gelapnya keluar dari gelapnya tanah, mau berdaun, berbunga, berbuah, berjibaku dengan hujan dan panas matahari. Yang penting dia harus keluar dari gelapnya tanah", tambahnya.
Ia juga mendorong para kader untuk menjadi pemenang di dua dunia sekaligus.
"Tantangan kita yang penting kita harus jaya di dunia maya juga jaya di dunia nyata. Jangan jaya di dunia maya roboh di dunia nyata," pesannya.
Senada dengan itu, Sekretaris MA IPNU Banyuwangi, Ayung Notonegoro, turut menekankan bahwa era digital saat ini memberikan kesempatan yang setara bagi siapa saja untuk menjadi agen perubahan (agent of change), tanpa harus melihat latar belakang status sosial.
"Dulu kalau kita bukan borjuis, nggak mungkin didengarkan oleh sekitarnya. Karena tidak punya privilege. Tapi hari ini, kita punya kesempatan yang sama," tegas Ayung. Ia mencontohkan tokoh muda dunia seperti Greta Thunberg yang mampu menggebrak dunia di usia muda.
Ayung mengingatkan bahwa tugas mahasiswa dan kader intelektual adalah mentransformasikan ilmu dari kampus ke masyarakat luas.
"Kalian adalah agent of change untuk mengubah bagaimana mentransformasikan pengetahuan-pengetahuan yang ada di menara gading di kampus-kampus itu. Bisa kemudian diserap oleh teman-teman kalian yang tidak memiliki kesempatan untuk kuliah," tuturnya.
Menutup diskusi, Ayung menekankan bahwa nilai sebuah pengabdian di organisasi bukan hanya dilihat dari jabatan, melainkan dari proses perjuangannya.
"Kaderisasi ini ibaratkan sebuah proses pembentukan. Selama dalam proses itu, kita tidak harus terpaku pada hasil-hasil yang materialistik, yang tampak. Yang dikatakan sukses bukan yang pernah menjadi ketua. Bahkan mereka yang tidak pernah menjadi apa-apa, bisa meraih hal yang lebih baik," pungkasnya.
Berlangsungnya acara ini diharapkan menjadi pemicu lahirnya penulis-penulis baru dari Ujung Timur Jawa (Banyuwangi) yang siap mewarnai khazanah intelektual NU di masa depan.
"Alhamdulillah, di tengah-tengah perkembangan teknologi, digitalisasi, teman-teman menghasilkan sebuah karya buku yang luar biasa keren untuk menjadi motivasi bagi kita semua, di mana pengembangan literasi menulis dan membaca ini sudah mulai surut di tengah-tengah kita," ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya produk literasi di tengah gempuran arus informasi digital yang sering kali tidak teruji kebenarannya.
"Karena kita lebih nyaman scroll-scroll, cari inspirasi dari HP, dari YouTube, dari Google. Nah, apakah ini kebenarannya sudah teruji atau belum, yang penting kalau dari Google, itu sudah percaya 100 persen. Nah, ini yang perlu kita kaji bersama," tambahnya.
Sementara itu, dalam sesi bedah buku, Ketua MA IPNU Banyuwangi, Lukman Hadi Abdillah, memberikan motivasi psikologis bagi para kader yang ingin mulai berkarya. Menurutnya, hambatan terbesar seringkali datang dari pikiran sendiri yang terlalu penuh dengan rencana namun minim aksi.
"Pikirannya penuh. Mau ini, mau ini, tapi tidak segera start. Dua-duanya adalah jebakan psikologis," ungkap Lukman.
Ia menganalogikan proses berkarya seperti benih yang harus berjuang muncul ke permukaan.
"Ingat, benih itu ya yang paling pertama dia hanyalah sebentuk yang keluar dari gelapnya tanah itu ya. Setelah gelapnya keluar dari gelapnya tanah, mau berdaun, berbunga, berbuah, berjibaku dengan hujan dan panas matahari. Yang penting dia harus keluar dari gelapnya tanah", tambahnya.
Ia juga mendorong para kader untuk menjadi pemenang di dua dunia sekaligus.
"Tantangan kita yang penting kita harus jaya di dunia maya juga jaya di dunia nyata. Jangan jaya di dunia maya roboh di dunia nyata," pesannya.
Senada dengan itu, Sekretaris MA IPNU Banyuwangi, Ayung Notonegoro, turut menekankan bahwa era digital saat ini memberikan kesempatan yang setara bagi siapa saja untuk menjadi agen perubahan (agent of change), tanpa harus melihat latar belakang status sosial.
"Dulu kalau kita bukan borjuis, nggak mungkin didengarkan oleh sekitarnya. Karena tidak punya privilege. Tapi hari ini, kita punya kesempatan yang sama," tegas Ayung. Ia mencontohkan tokoh muda dunia seperti Greta Thunberg yang mampu menggebrak dunia di usia muda.
Ayung mengingatkan bahwa tugas mahasiswa dan kader intelektual adalah mentransformasikan ilmu dari kampus ke masyarakat luas.
"Kalian adalah agent of change untuk mengubah bagaimana mentransformasikan pengetahuan-pengetahuan yang ada di menara gading di kampus-kampus itu. Bisa kemudian diserap oleh teman-teman kalian yang tidak memiliki kesempatan untuk kuliah," tuturnya.
Menutup diskusi, Ayung menekankan bahwa nilai sebuah pengabdian di organisasi bukan hanya dilihat dari jabatan, melainkan dari proses perjuangannya.
"Kaderisasi ini ibaratkan sebuah proses pembentukan. Selama dalam proses itu, kita tidak harus terpaku pada hasil-hasil yang materialistik, yang tampak. Yang dikatakan sukses bukan yang pernah menjadi ketua. Bahkan mereka yang tidak pernah menjadi apa-apa, bisa meraih hal yang lebih baik," pungkasnya.
Berlangsungnya acara ini diharapkan menjadi pemicu lahirnya penulis-penulis baru dari Ujung Timur Jawa (Banyuwangi) yang siap mewarnai khazanah intelektual NU di masa depan.
(Hlmihf)



Posting Komentar