Ia kader PMII. Hanya Mapaba jejang yang ia jalani. Dari kampus swasta. Tak pernah ikut PKD. Dan, kini jadi tenaga fraksi. Salah satu partai penguasa. Bekerja di ranah politik. Punya posisi strategis.
Selalu bawa nama PMII. Ke mana pun pergi. Dalam status, forum, hingga forum alumni. Jas biru dipakai terus. Jadi simbol kebanggaan. Dipakai saat diundang adik-adik. Sebagai legitimasi dirinya.
Berbicara seolah ideolog. Mengaku kader militan. Padahal tak pernah paham mendalam. Tentang nilai-nilai PMII. Aktif di media sosial. Tulis status penuh semangat. Tentang pergerakan dan perjuangan. Tapi hanya di permukaan.
Saat ada isu rakyat. Ia diam membisu. Tak ikut aksi. Tak bersuara kritis. Tapi bila isu populer. Punya nilai politik. Ia muncul bersuara. Demi citra dan pengaruh.
Ia kejar jabatan alumni. Mengumpulkan suara adik-adik. Bukan untuk membina. Tapi untuk memperkuat posisi.
Adik-adik PMII dipakai. Untuk mendongkrak nama. Didekati bukan dibina. Dimanfaatkan untuk kepentingan.
PMII hanya jadi simbol. Bukan jadi sikap hidup. Diperlakukan seperti kostum. Dipakai saat butuh pengakuan. Secara ideologi lemah. Secara praksis kosong. Tapi tampil penuh percaya diri. Seolah paling PMII sejati.
Di sisi lain, di pinggiran sebuah kota, hiduplah seorang alumni PMII. Usianya tak muda lagi. Tapi semangatnya tetap menyala. Dulu ia pendiri PMII di salah satu kampus swasta.
Masa mudanya diisi perjuangan. Dari Mapaba, lanjut PKD, hingga terakhir, PKL. Semua proses ia lewati. Ia tempuh jalan panjang pengkaderan.
Ia tak suka politik. Baginya, politik hanya riuh kosong. Penuh taktik, minim nilai. Ia memilih jalan sunyi.
Ia lebih senang menulis. Menjadi pengkritik lewat pena. Tajam, jernih, dan penuh makna. Suaranya sampai, tanpa perlu panggung.
Ia tak pernah lelah mendidik. Adik-adik dirangkul dengan sabar. Ia ajari nilai, bukan sekadar nama. Ia bimbing dengan tulus dan rendah hati.
Hidupnya sederhana. Jauh dari gemerlap harta. Tapi ia tak pernah merasa kekurangan. Justru menemukan makna dalam kesunyian.
Bagi dia, PMII adalah nilai. Bukan simbol. Bukan identitas kosong. Tapi jalan hidup yang harus dijalani.
Ajaran NDP ia pegang. Aswaja jadi napas perjuangan. Semua ia tanamkan dalam laku. Dalam tutur dan cara hidup.
Ia tak butuh panggung. Tak ingin jabatan. Ia hanya ingin terus menyalakan api. Agar nilai PMII tak padam.
Ia adalah kader sejati. Yang tak mengejar nama. Tapi menghidupkan makna. Dalam diam yang berdaya.
Kader Simbolik: PMII sebagai Alat Tukar Sosial
Dari Penggambaran di atas ada dua tipe kader PMII. Pertama, Kader Simbolik. Ia adalah representasi kader yang menjadikan PMII bukan sebagai nilai hidup, tapi sebagai modal sosial. Identitas ke-PMII-an, ia rawat bukan dengan penghayatan nilai, melainkan sebagai aset simbolik—yang bisa ditunjukkan, dipajang, bahkan diperdagangkan untuk kepentingan-kepentingan personal, terutama di ruang kekuasaan.
Ia eksploitasi jaringan PMII. Bukan untuk kolaborasi, tapi untuk legitimasi. Ia ingin terlihat sebagai bagian penting dari gerakan, tapi hanya di permukaan. Simbol ia jaga mati-matian. Tapi substansi nilai ia tinggalkan.
Di tangan kader seperti ini, PMII berubah jadi ornamen. Bukan alat perjuangan. Bukan ruang pembentukan nilai. Tapi jadi komoditas identitas—dipakai saat butuh, disimpan saat tak menguntungkan.
Ia adalah cerminan kekosongan dalam kemegahan simbol. Jas biru ia pakai dengan bangga, tapi ruh pergerakan hilang entah ke mana. Ia berdiri gagah di podium-podium formal, tapi tak pernah hadir dalam jeritan rakyat.
Inilah kader simbolik. Ia mungkin tampak PMII. Tapi sejatinya, ia menjauh dari nilai-nilai PMII. Sebab ia tidak menghidupi—ia hanya memanfaatkan.
Kader Substantif: PMII sebagai Nilai Kehidupan
Kedua, kader subtantatif, berbeda dengan sosok sebelumnya, kader ini menjalani PMII sebagai jalan hidup. Berbeda dengan sosok sebelumnya, kader ini menjadikan PMII bukan sekadar seragam, bukan sekadar simbol di media sosial.PMII ia jalani sebagai jalan hidup. Sebagai laku yang terus ia rawat, meski tanpa sorotan, tanpa panggung. Ia bukan kader yang haus jabatan. Ia juga tak tergoda menjadi bagian dari elite kekuasaan. Baginya, PMII bukan tangga karier, tapi rumah nilai yang menuntun pada kemanusiaan dan keberpihakan.
PMII bagi dia bukan sekadar organisasi. Tapi cara berpikir menjalani hidup. Dalam sunyi itu, ia justru tumbuh menjadi suluh. Menjadi saksi bahwa nilai bisa tetap hidup, meski tanpa tepuk tangan dan pujian.
Ia bukan kader yang terlihat mencolok. Tapi ia adalah inti ruh pergerakan. Ia tak dikenal banyak orang, tapi jejaknya terasa dalam perubahan adik-adik yang ia bimbing.
Ia adalah kader substantif. Yang hidupnya menyatu dengan nilai. Yang perjuangannya senyap, tapi mengakar. Yang ke-PMII-annya bukan ditunjukkan, tapi dihidupi.
Pada akhirnya, dari dua sosok itu, tampaklah dua wajah kader PMII hari ini—yang satu memanfaatkan, yang lain menghidupkan. Yang satu mengejar jabatan, yang lain menyalakan cahaya. Yang satu hadir di permukaan, yang lain merasuk ke dalam kehidupan.
Kader simbolik mengajarkan kita betapa rapuhnya organisasi jika hanya dikekalkan lewat simbol. Sedangkan kader substantif menunjukkan bahwa kekuatan PMII bukan pada jas birunya, tapi pada nilai dan laku hidup yang terus dirawat.
Lalu, terakhir dan wajib dijawab dengan jujur, Jika anda seorang kader PMII, anda memilih tipe kader PMII seperti apa?
Jika pertanyaan ini terasa sulit dijawab, cobalah untuk duduk sejenak, tarik napas dalam-dalam, dan tanyakan kepada hati nuranimu.
Oleh: Athoillah Ali Najamuddin (Antropolog, sekaligus Dosen Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi)
Posting Komentar