Di dermaga kayu Desa Sawinggrai, seorang remaja bernama Mansinam berdiri menatap laut. Tubuhnya kurus, kulitnya sawo matang, dan matanya menyimpan amarah yang belum tahu cara keluar. Di sampingnya, berdiri seorang perempuan tua Ina Doretha, ibunya, seorang penyulam noken.
“Lautnya berubah, Ina,” kata Mansinam lirih. “Dulu bening. Sekarang seperti ada kabut di dalamnya.”
Ina mengangguk, tapi tak menjawab. Ia tahu, laut tak pernah bohong. Bila ia keruh, pasti ada yang menyakitinya.
“Waktu saya masih kecil, saya pikir tanah ini akan selalu begini. Lestari,” lanjut Mansinam. “Tapi sekarang, tambang datang, pohon hilang, dan burung-burung tak kembali.”
Kemudian ia bertanya, pelan namun menghunjam:
“Kalau orang-orang yang bikin semua ini rusak tetap salat, tetap pergi gereja, tetap pakai kata Tuhan di mulut mereka… apakah mereka masih akan masuk surga, Ina?”
Pertanyaan itu membuat langit serasa lebih berat. Ina menarik napas panjang, seolah mencoba mengangkat beban kata-kata anaknya.
Ia menatap wajah Mansinam anak lelaki yang lahir dari rahim tanah Papua, dan kini mulai mengajukan pertanyaan yang bahkan orang dewasa enggan menjawab.
“Surga itu bukan soal seberapa sering kau sebut nama Tuhan, Nak,” jawab Ina. “Tapi seberapa besar kau jaga ciptaan-Nya.”
Mansinam menunduk. Angin membawa bau solar dari arah tambang, mencampur bau garam yang dulu jadi wewangian khas laut.
“Kalau mereka tahu ini tanah yang indah… tanah para moyang… kenapa mereka tetap tega?”
“Mereka tahu, tapi mereka tak peduli. Kadang, uang bisa membuat orang lupa bahwa surga tak bisa dibeli.”
Mansinam menatap laut, diam lama. “Jadi… siapa yang bisa masuk surga, Ina?”
Ina tersenyum pelan, matanya mengarah ke sekumpulan anak kecil yang bermain pasir di ujung pantai.
“Mungkin bukan mereka yang duduk di kantor dengan kemeja putih dan pena emas. Tapi orang-orang yang diam-diam menanam kembali pohon, yang mengembalikan terumbu ke laut, yang mengajari anak-anak menyayangi tanah—merekalah yang barangkali dipanggil masuk surga oleh Tuhan.”
“Lalu aku, Ina? Kalau aku marah… kecewa… apakah Tuhan paham?”
Ina memegang tangan anaknya. “Tuhan menciptakan laut dan gunung untuk dijaga. Kalau kamu marah karena lautmu disakiti, gunungmu dilukai, itu tandanya hatimu masih selaras dengan ciptaan-Nya. Itu bukan dosa, Nak. Itu keberpihakan.”
Dari kejauhan, suara alat berat menggeram lagi. Tapi di hati Mansinam, satu keputusan mulai tumbuh: ia tidak akan diam. Ia akan menjaga tanahnya. Jika bukan dengan kekuatan, maka dengan kata-kata. Jika bukan dengan kuasa, maka dengan cinta.
Karena mungkin, di mata Tuhan, surga lebih dekat dengan mereka yang berdiri untuk bumi, daripada mereka yang menjualnya demi bangunan-bangunan yang megah.
“Surga itu bukan soal seberapa sering kau sebut nama Tuhan, Nak,” jawab Ina. “Tapi seberapa besar kau jaga ciptaan-Nya.”
Mansinam menunduk. Angin membawa bau solar dari arah tambang, mencampur bau garam yang dulu jadi wewangian khas laut.
“Kalau mereka tahu ini tanah yang indah… tanah para moyang… kenapa mereka tetap tega?”
Ina menatap ke arah perbukitan Salawati, tempat para leluhur dulu berdoa agar anak-cucu mereka tetap hidup berdampingan dengan alam.
“Mereka tahu, tapi mereka tak peduli. Kadang, uang bisa membuat orang lupa bahwa surga tak bisa dibeli.”
Mansinam menatap laut, diam lama. “Jadi… siapa yang bisa masuk surga, Ina?”
Ina tersenyum pelan, matanya mengarah ke sekumpulan anak kecil yang bermain pasir di ujung pantai.
“Mungkin bukan mereka yang duduk di kantor dengan kemeja putih dan pena emas. Tapi orang-orang yang diam-diam menanam kembali pohon, yang mengembalikan terumbu ke laut, yang mengajari anak-anak menyayangi tanah—merekalah yang barangkali dipanggil masuk surga oleh Tuhan.”
“Lalu aku, Ina? Kalau aku marah… kecewa… apakah Tuhan paham?”
Ina memegang tangan anaknya. “Tuhan menciptakan laut dan gunung untuk dijaga. Kalau kamu marah karena lautmu disakiti, gunungmu dilukai, itu tandanya hatimu masih selaras dengan ciptaan-Nya. Itu bukan dosa, Nak. Itu keberpihakan.”
Dari kejauhan, suara alat berat menggeram lagi. Tapi di hati Mansinam, satu keputusan mulai tumbuh: ia tidak akan diam. Ia akan menjaga tanahnya. Jika bukan dengan kekuatan, maka dengan kata-kata. Jika bukan dengan kuasa, maka dengan cinta.
Karena mungkin, di mata Tuhan, surga lebih dekat dengan mereka yang berdiri untuk bumi, daripada mereka yang menjualnya demi bangunan-bangunan yang megah.
Oleh: Husna Mahmudah
Posting Komentar