BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Dari ‘Gelandangan Moral’ Hingga ‘TikTok Jalanan’: Mengapa Solusi Negara untuk Remaja Nakal dari Zaman Bung Karno Sampai Jokowi Selalu Gagal?

Penalaut.com
- Pada 1950-an, Bandung punya cara unik menangani remaja nakal: "dibawa ke lapangan, diberi nasihat tokoh masyarakat, lalu disuruh kerja bakti". Sekilas, itu terlihat seperti kebijakan yang manusiawi—tanpa penjara, tanpa kekerasan. Tapi data sejarah justru menunjukkan bahwa 75% remaja nakal era itu akhirnya menjadi residivis (Arsip Kota Bandung, 1962). 

Mereka tidak berubah, hanya berpindah dari satu kategori masalah ke kategori lain: dari "pemabuk jalanan" menjadi "buruh kasar yang pemabuk". Sekarang, di 2025, kita masih mengulang kesalahan yang sama. Bedanya, jika dulu remaja nakal dicap sebagai "gelandangan moral", sekarang mereka disebut "generasi micin" atau "anak rusak karena gadget"—stigma berubah, tapi pola pikir negara tetap sama: menyelesaikan gejala, bukan akar masalah.

Lihatlah fakta ini: Program "Satu Juta Mentor" Kemendikbud 2024 mengklaim sudah merehabilitasi 300.000 remaja bermasalah melalui pelatihan vokasional. Tanya kenapa 62% peserta justru menganggur setelah lulus (Survei BRIN, 2025)? Jawabannya sederhana: kita salah diagnosa. Remaja nakal bukan sekadar kurang skill, tapi korban dari sistem yang memproduksi kemiskinan, ketimpangan, dan kekerasan struktural. 

Di era 1950-an, mereka jadi pecandu oplosan karena orang tua mereka jadi korban penggusuran proyek mercusuar Bung Karno. Di 2025, mereka jadi tukang bully di TikTok Live karena orang tuanya terjerat pinjol setelah di-PHK masa resesi. Negara hanya memberi pelatihan membuat kopi kekinian, tapi lupa bahwa harga sewa kios di mall sudah setara gaji setahun.

Ironisnya, hukuman untuk remaja nakal justru semakin modern, tapi solusinya tetap kuno. Dulu, polisi akan menyita celana jeans remaja yang dianggap "tidak sopan" (Perda Bandung 1957). Sekarang, polisi cyber memblokir akun TikTok remaja yang viral karena tawuran. Padahal, 75% remaja pelaku tawuran adalah korban putus sekolah akibat tidak mampu bayar SPP (Data PGRI, 2025).

Kita menghukum mereka karena "mengganggu ketertiban", tapi tidak pernah bertanya: ketertiban siapa yang kita jaga? Ketertiban para pemilik mall yang takut lihat anak miskin berkumpul? Atau ketertiban algoritma media sosial yang ingin feed-nya tetap bersih dari konten "tidak enak dilihat"?

Di Belanda, remaja nakal dilibatkan dalam proyek urban farming untuk mengisi waktu luang. Di Finlandia, mereka diberi akses gratis ke klub musik agar energi negatif tersalurkan. Tapi di Indonesia? Kita bangga punya "pesantren rehab medsos" yang justru mengajarkan kekerasan simbolik. Ada laporan remaja dipaksa mengaku "kecanduan setan online" sebelum boleh pulang (LBH Jakarta, 2024). Ini bukan solusi, tapi ritual pengusiran setan versi neoliberal.

Mungkin sudah waktunya kita belajar dari kegagalan 70 tahun terakhir. Remaja nakal tidak butuh nasihat agama 8 jam sehari, tapi lapangan kerja yang tidak memaksa mereka menjual ginjal untuk hidup layak. Mereka tidak butuh tutorial jadi content creator, tapi akses pendidikan yang tidak mengubah mereka jadi budak sistem ranking sekolah. Dan yang paling penting: kita harus berhenti menyebut mereka "nakal" ketika yang mereka lakukan hanya bertahan hidup di tengah kota yang sejak lama meninggalkan mereka.

Seperti kata Tan Malaka yang perlu kita ingat lagi: "Jika rakyat miskin hanya bisa makan sekali sehari, jangan heran jika anak-anaknya memilih jadi ‘penjahat’ daripada jadi mayat hidup."

#DaripadaMenghakimiCobaDengarkan
#RemajaNakalAtauKorbanSistem?


Oleh: Nashrul Mu'minin (Content Writer Yogyakarta)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak