Jika kita melihat jadwal yang resmi diterbitkan oleh Pemkab, berbagai festival itu berkenaan dengan sektor pariwisata, tradisi-kebudayaan, kesenian, kuliner, dan pelatihan untuk peningkatan SDM, terutama di wilayah bisnis.
Jika membaca jadwal festival yang akan dihelat tahun ini, nyaris tidak ada perhatian Pemkab Banyuwangi dalam sektor literasi. Hanya ada acara Smart Gasing, sebuah metode belajar ilmu Matematika, untuk para siswa. Itu pun belum menopang secara signifikan dalam rangka meningkatkan budaya literasi di Bumi Blambangan. Atau, bisa dikatakan, acara Smart Gasing itu hanya fokus pada satu wilayah kecil dalam dunia literasi.
Fakta ini, dalam pembacaan saya, sangat “memprihatinkan”. Kita mesti jujur dan adil untuk mengatakan bahwa Banyuwangi masih belum pantas disebut “layak” dalam wilayah literasi. Kendati Kepala Dispusip Banyuwangi, Zen Kostolani, menyatakan tingkat minat baca mengalami lonjakan yang spektakuler dengan melihat jumlah pengunjung di Perpustakaan Daerah Banyuwangi. Di tahun 2023 tercatat 989 orang, dan di tahun 2024, jumlah pengunjung mencapai 37.052 orang (23/4/2025).
Jika membaca jadwal festival yang akan dihelat tahun ini, nyaris tidak ada perhatian Pemkab Banyuwangi dalam sektor literasi. Hanya ada acara Smart Gasing, sebuah metode belajar ilmu Matematika, untuk para siswa. Itu pun belum menopang secara signifikan dalam rangka meningkatkan budaya literasi di Bumi Blambangan. Atau, bisa dikatakan, acara Smart Gasing itu hanya fokus pada satu wilayah kecil dalam dunia literasi.
Fakta ini, dalam pembacaan saya, sangat “memprihatinkan”. Kita mesti jujur dan adil untuk mengatakan bahwa Banyuwangi masih belum pantas disebut “layak” dalam wilayah literasi. Kendati Kepala Dispusip Banyuwangi, Zen Kostolani, menyatakan tingkat minat baca mengalami lonjakan yang spektakuler dengan melihat jumlah pengunjung di Perpustakaan Daerah Banyuwangi. Di tahun 2023 tercatat 989 orang, dan di tahun 2024, jumlah pengunjung mencapai 37.052 orang (23/4/2025).
Angka yang sangat “spektakuler”, bukan? Tapi sayang, kita sukar mencari data (arsip) yang menunjukkan pelonjakan itu.
Kemudian, dalam laporan akhir Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) oleh Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Indonesia pada tahun 2024, nilai untuk Provinsi Jawa Timur 77,15 (masuk kategori tinggi). Kota Surabaya (100,00), Kediri (99,34), dan Madiun (96,53) merupakan kabupaten/kota yang memiliki nilai tertinggi.
Literasi Banyuwangi dalam Angka Statistik
Mafhum bagi kita, kalau UNESCO menyebut indeks minat baca masyarakat Indonesia masih di angka 0,001% atau dari 1000 orang hanya 1 yang aktif membaca. Selain itu, menurut penilaian Programme for international Student Assessment (PISA) oleh OECD pada tahun 2022, skor membaca siswa di Indonesia berjumlah 359. Hal ini membuat Indonesia berada di peringkat 69 dari 80 negara yang terdaftar.Kemudian, dalam laporan akhir Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) oleh Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Indonesia pada tahun 2024, nilai untuk Provinsi Jawa Timur 77,15 (masuk kategori tinggi). Kota Surabaya (100,00), Kediri (99,34), dan Madiun (96,53) merupakan kabupaten/kota yang memiliki nilai tertinggi.
Sementara Banyuwangi mendapatkan nilai TGM 88,73. Nilai TGM ini memiliki dimensi, antara lain: frekuensi membaca, durasi membaca, jumlah bahan bacaan, frekuensi akses internet, dan durasi akses internet.
Selain TGM, Perpusnas juga mengeluarkan laporan Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Provinsi Jawa Timur tahun 2024 lalu. Dalam laporan ini, Jawa Timur masuk kategori sedang dengan jumlah 78,60. Sedangkan Banyuwangi mendapatkan skor IPLM sebesar 70,70. Di antara indikator IPLM ini, terdapat kunjungan masyarakat per hari dan keterlibatan masyarakat dalam sosialisasi perpustakaan.
Maksud dari “literasi” di sini, adalah kemampuan untuk membaca, menulis, berbicara, dan mendengar dalam rangka mewujudkan komunikasi secara efektif dan memahami realitas kehidupan yang bersifat dinamis.
Selain TGM, Perpusnas juga mengeluarkan laporan Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Provinsi Jawa Timur tahun 2024 lalu. Dalam laporan ini, Jawa Timur masuk kategori sedang dengan jumlah 78,60. Sedangkan Banyuwangi mendapatkan skor IPLM sebesar 70,70. Di antara indikator IPLM ini, terdapat kunjungan masyarakat per hari dan keterlibatan masyarakat dalam sosialisasi perpustakaan.
Agenda Literasi “Absen” di Banyuwangi Festival 2025
Berbagai data statistik yang diuraikan di atas, tentu, memiliki indikator masing-masing. Baik data yang dikeluarkan organisasi internasional maupun nasional. Namun kita tidak mungkin mengacu data-data numerik semacam itu. Karena budaya literasi masyarakat tidak dapat direduksi melalui angka statistik semata. Oleh karena itu, sangat diperlukan penelitian objektif (riset) untuk mengetahui tingkat literasi yang ada di Banyuwangi.Maksud dari “literasi” di sini, adalah kemampuan untuk membaca, menulis, berbicara, dan mendengar dalam rangka mewujudkan komunikasi secara efektif dan memahami realitas kehidupan yang bersifat dinamis.
Sehingga, budaya literasi bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengatasi masalah, menciptakan karya, dan mewujudkan kehidupan yang layak. Demikian definisi dasar dari literasi.
Jika definisi itu kita eksplorasi, budaya literasi seyogianya dapat menghasilkan masyarakat, khususnya generasi muda, yang cerdas, cakap, kompeten, dan berkualitas secara intelektual dan moral. Selain itu, dalam konteks indikator budaya literasi, kita bisa menengok realitas yang terjadi. Misalnya, sejauh mana masyarakat kita “melek” literasi? Seberapa banyak generasi muda kita giat melakukan aktivitas literasi? Bagaimana situasi “pasar ide” di Banyuwangi sebagai medan perang gagasan dan inovasi?
Selanjutnya, budaya literasi di Banyuwangi juga membutuhkan peran dan dorongan Pemkab. Kehadiran pemerintah menjadi faktor penting dalam meningkatkan kualitas budaya literasi, karena ia memiliki “kendali” atas kebijakan-kebijakan daerah.
Jika definisi itu kita eksplorasi, budaya literasi seyogianya dapat menghasilkan masyarakat, khususnya generasi muda, yang cerdas, cakap, kompeten, dan berkualitas secara intelektual dan moral. Selain itu, dalam konteks indikator budaya literasi, kita bisa menengok realitas yang terjadi. Misalnya, sejauh mana masyarakat kita “melek” literasi? Seberapa banyak generasi muda kita giat melakukan aktivitas literasi? Bagaimana situasi “pasar ide” di Banyuwangi sebagai medan perang gagasan dan inovasi?
Selanjutnya, budaya literasi di Banyuwangi juga membutuhkan peran dan dorongan Pemkab. Kehadiran pemerintah menjadi faktor penting dalam meningkatkan kualitas budaya literasi, karena ia memiliki “kendali” atas kebijakan-kebijakan daerah.
Salah satu kepedulian dan dorongan Pemkab ialah membuat “festival literasi” setiap tahun dengan menggandeng komunitas dan organisasi yang fokus dalam pengembangan literasi di Bumi Blambangan. Festival literasi itu, bisa berupa bazar buku, diskusi karya penulis Banyuwangi, pengenalan catatan sejarah, hingga kegiatan literasi lainnya.
Namun sayang beribu sayang, kita justru tidak melihat festival literasi yang digelar Pemkab Banyuwangi itu dalam Banyuwangi Festival 2025. Padahal, budaya literasi adalah satu dari sekian sektor yang “wajib” disoroti pemerintah kita.***
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah, (Rektor Softinala Institute)
Namun sayang beribu sayang, kita justru tidak melihat festival literasi yang digelar Pemkab Banyuwangi itu dalam Banyuwangi Festival 2025. Padahal, budaya literasi adalah satu dari sekian sektor yang “wajib” disoroti pemerintah kita.***
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah, (Rektor Softinala Institute)
Posting Komentar