Penalaut.com - Pernyataan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, yang menyebut bahwa DPR merasa capek membuat undang-undang karena Mahkamah Konstitusi (MK) sering membatalkannya, menimbulkan keprihatinan sekaligus tanda tanya besar terhadap pemahaman legislatif mengenai fungsi dasar lembaga yudikatif dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam sistem demokrasi konstitusional, keberadaan Mahkamah Konstitusi justru merupakan bentuk perlindungan terhadap konstitusi dan kontrol terhadap kekuasaan legislatif maupun eksekutif.
Dengan demikian, pembatalan suatu undang-undang oleh MK bukanlah bentuk pembangkangan terhadap kerja legislatif, tetapi justru pelaksanaan mandat konstitusional. MK menjadi pengawal UUD 1945, dan pembatalan suatu pasal atau keseluruhan UU adalah ekspresi nyata dari prinsip supremasi konstitusi.
Pernyataan tegas juga pernah disampaikan oleh Prof. Mahfud MD, mantan Ketua MK dan juga sekaligus penulis buku Membangun Politik Hukum, Menjaga Konstitusi, bilang: "MK sejak dibentuk pada tahun 2003 telah mainkan posisi strategis dalam ketatanegaraan Indonesia. Hal ini karena tidak ada lembaga negara yang dapat melakukan tugas-tugas penting itu sejak tahun 1945 sampai 2003. Dulu setiap UU yang dibuat DPR bersama pemerintah, harus dianggap sebagai kebenaran mutlak. Tapi sekarang sejak berdiri di tahun 2003, MK telah membatalkan lebih dari 160 UU yang bertentangan dengan UUD 1945".
Pernyataan ini menunjukkan bahwa kehadiran MK adalah penguatan sistem hukum dan demokrasi, bukan penghalang kerja DPR.
Berkaitan dengan permasalahan ini, Dr. Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara UGM, dalam artikelnya yang berjudul “KUHP dan Lemahnya Politik Hukum Negara”, mengungkapkan bahwa DPR sering kali memperlakukan tim perumus undang-undang seperti tukang yang bekerja hanya untuk mewujudkan keinginan arsitek politik, bukan berdasarkan prinsip hukum yang ideal. Dalam tulisannya, dapat kita pahami bahwa keahlian tukang yang bekerja untuk membangun yang diinginkan berdasarkan keinginan arsitek merupakan merupakan suatu permasalahan besar, sehingga banyak undang-undang yang harus diuji di Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, jika banyak UU yang kemudian dibatalkan MK, maka itu adalah cerminan lemahnya komitmen terhadap proses legislasi yang partisipatif, transparan, dan berbasis pada prinsip negara hukum. Kritik ini justru seharusnya ditujukan pada diri DPR sendiri, bukan pada Mahkamah Konstitusi.
Dalam kerangka ini, Philipus menyebutkan bahwa kesesatan argumentasi dapat terjadi dalam bentuk: Argumentum ad baculum (menakut-nakuti), Argumentum ad populum (mengatasnamakan kepentingan umum tanpa dasar), dan Ignoratio elenchi (menyimpang dari pokok permasalahan).
MK Merupakan Benteng Konstitusional
Secara yuridis, Pasal 24C UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Wewenang ini adalah bentuk dari judicial review, yang merupakan mekanisme koreksi konstitusional atas kemungkinan penyimpangan dalam proses legislasi. Dalam sistem negara hukum (rechtstaat), semua produk hukum harus tunduk pada konstitusi, yang merupakan norma hukum tertinggi sebagaimana dijelaskan dalam teori Stufenbau des Rechts oleh Hans Kelsen.Dengan demikian, pembatalan suatu undang-undang oleh MK bukanlah bentuk pembangkangan terhadap kerja legislatif, tetapi justru pelaksanaan mandat konstitusional. MK menjadi pengawal UUD 1945, dan pembatalan suatu pasal atau keseluruhan UU adalah ekspresi nyata dari prinsip supremasi konstitusi.
Pernyataan tegas juga pernah disampaikan oleh Prof. Mahfud MD, mantan Ketua MK dan juga sekaligus penulis buku Membangun Politik Hukum, Menjaga Konstitusi, bilang: "MK sejak dibentuk pada tahun 2003 telah mainkan posisi strategis dalam ketatanegaraan Indonesia. Hal ini karena tidak ada lembaga negara yang dapat melakukan tugas-tugas penting itu sejak tahun 1945 sampai 2003. Dulu setiap UU yang dibuat DPR bersama pemerintah, harus dianggap sebagai kebenaran mutlak. Tapi sekarang sejak berdiri di tahun 2003, MK telah membatalkan lebih dari 160 UU yang bertentangan dengan UUD 1945".
Pernyataan ini menunjukkan bahwa kehadiran MK adalah penguatan sistem hukum dan demokrasi, bukan penghalang kerja DPR.
Kritik Terhadap Proses Legislasi Ketua Komisi III DPR RI
Pernyataan Habiburokhman seolah mengaburkan persoalan substansial dalam proses legislasi di DPR. Padahal, sorotan terhadap buruknya kualitas pembentukan undang-undang bukan hal baru. Dalam praktiknya, DPR kerap menghasilkan UU yang cacat secara formil (prosedural) maupun materil (substansi). Banyak undang-undang yang minim partisipasi publik, dibahas secara tertutup, dan kental dengan kepentingan politik jangka pendek.Berkaitan dengan permasalahan ini, Dr. Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara UGM, dalam artikelnya yang berjudul “KUHP dan Lemahnya Politik Hukum Negara”, mengungkapkan bahwa DPR sering kali memperlakukan tim perumus undang-undang seperti tukang yang bekerja hanya untuk mewujudkan keinginan arsitek politik, bukan berdasarkan prinsip hukum yang ideal. Dalam tulisannya, dapat kita pahami bahwa keahlian tukang yang bekerja untuk membangun yang diinginkan berdasarkan keinginan arsitek merupakan merupakan suatu permasalahan besar, sehingga banyak undang-undang yang harus diuji di Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, jika banyak UU yang kemudian dibatalkan MK, maka itu adalah cerminan lemahnya komitmen terhadap proses legislasi yang partisipatif, transparan, dan berbasis pada prinsip negara hukum. Kritik ini justru seharusnya ditujukan pada diri DPR sendiri, bukan pada Mahkamah Konstitusi.
Salah Kaprah dan Kesesatan Argumentasi
Pernyataan Habiburokhman tidak hanya bermasalah secara substansi, tetapi juga merupakan bentuk argumentasi sesat. Philipus M. Hadjon, salah satu pakar hukum tata negara dan penulis buku "Argumentasi Hukum", ia menjelaskan bahwa dalam argumen hukum, harus ada dasar logis, sistematik, dan bersumber pada norma hukum yang berlaku. Bila tidak, maka argumen tersebut jatuh pada bentuk kesesatan berpikir, atau fallacy, yang dalam hukum dapat merusak validitas yuridis dan rasionalitas publik suatu pendapat.Dalam kerangka ini, Philipus menyebutkan bahwa kesesatan argumentasi dapat terjadi dalam bentuk: Argumentum ad baculum (menakut-nakuti), Argumentum ad populum (mengatasnamakan kepentingan umum tanpa dasar), dan Ignoratio elenchi (menyimpang dari pokok permasalahan).
Pernyataan bahwa capek membuat undang-undang karena sering dibatalkan MK merupakan bagian dari kategori ignoratio elenchi, karena mengalihkan persoalan dari kualitas UU yang buruk ke arah lembaga yang menjalankan fungsi memperbaiki secara konstitusional. Dalam konteks demokrasi hukum, hal ini menandakan ketidakmampuan untuk membedakan antara fungsi pengawasan konstitusional dengan hambatan politis.
MK merupakan lembaga yudikatif independen yang dibentuk untuk menjamin bahwa kekuasaan tidak berjalan sewenang-wenang. DPR semestinya memahami bahwa konstitusi bukan hanya milik pembentuk undang-undang, melainkan milik seluruh rakyat Indonesia. Ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan suatu UU, itu merupakan bentuk koreksi terhadap pelanggaran konstitusi—bukan pengingkaran terhadap kerja legislatif.
Alih-alih merasa capek, DPR semestinya menjadikan koreksi MK sebagai cermin untuk memperbaiki kualitas legislasi. Sebab dalam sistem demokrasi, tidak ada satu pun kekuasaan yang absolut, termasuk kekuasaan untuk membuat undang-undang.
MK merupakan lembaga yudikatif independen yang dibentuk untuk menjamin bahwa kekuasaan tidak berjalan sewenang-wenang. DPR semestinya memahami bahwa konstitusi bukan hanya milik pembentuk undang-undang, melainkan milik seluruh rakyat Indonesia. Ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan suatu UU, itu merupakan bentuk koreksi terhadap pelanggaran konstitusi—bukan pengingkaran terhadap kerja legislatif.
Alih-alih merasa capek, DPR semestinya menjadikan koreksi MK sebagai cermin untuk memperbaiki kualitas legislasi. Sebab dalam sistem demokrasi, tidak ada satu pun kekuasaan yang absolut, termasuk kekuasaan untuk membuat undang-undang.
Oleh: Gufron Maswain
Posting Komentar