BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Panoptikon Kekuasaan di Era Jokowi dan Setelahnya

Penalaut.com
- Michel Foucault pernah menjelaskan sebuah konsep pengawasan total bernama panoptikon. Dalam desain arsitektur penjara ini, seorang penjaga bisa mengawasi semua narapidana dari satu titik, sementara para tahanan tak tahu kapan mereka sedang diawasi. Efeknya: mereka selalu merasa diawasi, dan karenanya mengontrol diri sendiri. Kekuasaan dalam panoptikon bukanlah kekerasan yang vulgar, melainkan pengawasan yang melembaga, diam-diam, tapi efektif.

Model pengawasan ini agaknya cocok untuk menggambarkan bagaimana citra dan pengaruh Presiden Jokowi dibangun, dan juga dikritik, selama dua periode pemerintahannya, bahkan setelah ia resmi lengser dari kursi presiden.

Pasca purna-tugasnya, nama Jokowi tak surut dari pemberitaan. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir, ia justru kembali menjadi pusat perhatian, bukan karena jabatan formal, tetapi karena pengaruh informal yang masih begitu kuat. Salah satunya ketika nama Jokowi muncul dalam laporan OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project) yang menuduhnya sebagai salah satu pemimpin paling korup, sebuah laporan yang belum dibuktikan secara hukum, tetapi cukup untuk membuat publik gaduh.

Tak lama kemudian, isu-isu tentang Jokowi makin masif diproduksi. Seperti, tuduhan ijazah palsu, yang tak kunjung usai sampai saat ini, terutama di media sosial. Para pendukung Jokowi dengan sigap membela, sementara oposisi memanfaatkannya untuk memperkuat klaim bahwa demokrasi Indonesia telah rusak sejak awal periode keduanya.

Namun, terlepas dari semua itu, satu hal yang tak bisa disangkal: Jokowi tetap hadir dalam ruang kesadaran publik. Bahkan setelah tidak memegang jabatan, ia menjadi bagian dari struktur kekuasaan baru, di mana Presiden terpilih Prabowo Subianto adalah bagian dari orbit pengaruhnya.

Di sinilah konsep panoptikon politik menjadi relevan. Jokowi tidak lagi “berkuasa” dalam arti formal, tetapi ia masih mengawasi dan diawasi, menjadi figur yang tidak bisa benar-benar dihilangkan dari peta kekuasaan nasional. Bagi publik, nama Jokowi tetap hadir dalam setiap analisis politik, dalam keputusan strategis elite, bahkan dalam asumsi bahwa “Prabowo hanya meneruskan Jokowi”.

Media, baik nasional maupun internasional, juga menjadi bagian dari sistem pengawasan ini. Mereka tak sekadar melaporkan; mereka mengonstruksi persepsi. Dalam dunia digital saat ini, pengawasan bukan hanya dilakukan oleh negara terhadap rakyat, tetapi juga sebaliknya: publik terhadap elite, dan media terhadap semua pihak. Hasilnya adalah kekuasaan yang tidak stabil, karena semua orang merasa sedang dilihat dan harus mempertahankan citra.

Dalam ruang publik digital, Jokowi, seperti pemimpin besar lainnya, menjadi subjek dan objek sekaligus. Ia bukan lagi sekadar mantan presiden, tapi telah menjadi ikon politik, yang setiap langkahnya dimaknai, dikomentari, bahkan dicurigai. Ia menjadi “penjaga bayangan” dalam panoptikon kekuasaan Indonesia.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan: apakah pengaruh yang terlalu panjang dan meluas dari seorang pemimpin baik untuk demokrasi? Apakah keberadaan figur seperti Jokowi, bahkan setelah ia lengser, membuka ruang bagi stabilitas, atau justru menciptakan ketergantungan struktural?

Ini bukan persoalan Jokowi semata. Dalam demokrasi pasca-reformasi, kita sering melihat pemimpin yang sangat kuat secara personal, tetapi tidak diimbangi dengan institusi yang kuat. Ketika ia turun, kekosongan itu tidak langsung diisi oleh sistem, tetapi oleh bayangan tokoh itu sendiri.

Kita bisa saja berselisih soal prestasi Jokowi. Tapi satu hal yang harus diakui: ia adalah presiden yang berhasil mengokupasi ruang sosial-politik Indonesia secara penuh. Dan itu adalah buah dari kerja citra, koneksi akar rumput, serta penguasaan atas narasi media. Bahkan ketika media internasional mulai menyerang, banyak rakyat masih melihatnya sebagai “pemimpin yang merakyat”, sebuah modal simbolik yang sangat langka di era politik yang penuh disinformasi.

Namun jika kita kembali ke Foucault, kekuasaan yang terlalu terpusat, meskipun diam-diam, selalu membawa risiko. Panoptikon menciptakan kepatuhan, tapi juga ketakutan. Ia menanamkan kendali, tapi bisa melumpuhkan imajinasi kritis. Masyarakat yang terus merasa diawasi oleh bayang-bayang pemimpin, akan sulit membayangkan masa depan tanpa dirinya.

Maka tugas generasi berikutnya, termasuk Presiden terpilih Prabowo, adalah membebaskan sistem politik dari pengaruh panoptikon ini, bukan dalam arti menghapus nama-nama besar, tapi membangun tata kelola demokrasi yang tidak bergantung pada figur, melainkan pada sistem yang transparan dan institusi yang kuat.

Jokowi memang telah selesai menjabat, tapi belum selesai diawasi. Ia bukan lagi presiden, tapi masih menjadi poros dalam pusaran kekuasaan Indonesia. Itulah panoptikon versi demokrasi digital: semua orang mengawasi semua, tapi tak jelas siapa yang betul-betul memegang kendali.

Apakah Anda siap hidup dalam sistem seperti itu?


Oleh: Rifki Rahman
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak