Literasi digital hari ini harus bertransformasi menjadi "Kecerdasan Neo-Digital", sebuah paradigma yang mengintegrasikan tiga elemen krusial: etika algoritmik, filsafat sibernetika, dan ekologi data. Contoh nyata? Saat ChatGPT bisa menuliskan cerpen dengan sempurna, tetapi tak mampu menangkap ironi Jawa dalam parikan; atau ketika analisis big data BRIN memprediksi tren sosial, tetapi gagal membaca lirihnya kearifan lokal di balik pranata mangsa. Inilah yang saya sebut "Digitalisasi Tanpa Jiwa"—kita mengoleksi data sebanyak-banyaknya, tetapi kehilangan kemampuan untuk memaknainya.
Muhammadiyah, melalui program Pandu Digital, telah merintis gerakan "Adab 4.0" dengan memasukkan values Islam ke dalam kurikulum literasi digital (PP Muhammadiyah, 2025). Hasilnya? Kampus-kampus Muhammadiyah mencatat penurunan 52% kasus hoax internal dan peningkatan 40% partisipasi diskusi ilmiah berbasis tabayyun (MPT Muhammadiyah, 2025). Tapi tantangan terbesarnya justru ada di "zona abu-abu" digital: bagaimana menjelaskan bahwa clickbait itu haram secara akademik, atau bahwa strawman fallacy dalam debat Twitter sama bahayanya dengan ghibah?
Fenomena "Academic Bullying 2.0" yang dilaporkan SAFENET (2025) menjadi bukti kegagapan kita. Dari 200 kasus persekusi digital, 75% korban adalah dosen atau peneliti yang dikeroyok hanya karena berbeda metode penelitian. Ini bukan lagi masalah teknis, melainkan patologi sosial digital—kita membangun menara gading di metaverse, tetapi fondasinya rapuh oleh ego sektoral. Padahal, dalam tradisi pesantren, perbedaan qaul ulama justru memperkaya khazanah keilmuan. Lalu mengapa di dunia digital, perbedaan pendapat malah berujung block dan report?
Solusinya? Literasi digital harus naik level menjadi "Gerakan Neo-Ilmiah". Pertama, kampus perlu mengajarkan "Filsafat Kode"—bagaimana algoritma bisa bias, atau mengapa deepfake adalah bentuk modern talbis iblis. Kedua, membangun "Laboratorium Digital Ethics" yang tidak hanya menguji keamanan sistem, tetapi juga dampak psiko-sosial dari trending topic. Ketiga, menggagas "Digital Tasawuf"—pendekatan spiritual untuk mengendalikan ego di ruang tanpa batas. Seperti kata Cak Nur, "Kita tak boleh jadi hamba teknologi, tetapi harus jadi tuan yang bijak."
Maka, jika dulu KH Ahmad Dahlan mengajarkan "hidupilah ilmu dengan amal", di era Neosains Digital ini kita perlu menambahkan: "hidupilah data dengan hikmah". Karena percuma punya akses ke jutaan jurnal online, jika yang kita produksi hanya postingan picik. Digitalisasi bukanlah akhir peradaban, melainkan ujian terbesar bagi akal budi manusia—apakah kita akan menjadi generasi yang terkoneksi, atau justru teralienasi oleh kecanggihan sendiri?
#NeosainsUntukNusantara #DigitalTanpaDendam
Oleh: Nashrul Mu’minin (Content Writer Yogyakarta)
Posting Komentar