BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Antara Glorifikasi Kekuasaan dan Manipulasi Narasi

Penalaut.com
- Perkembangan proyek besar pemerintah yang bertujuan menulis ulang sejarah Indonesia secara komprehensif menjadi perhatian banyak pihak. Proyek ini direncanakan menghasilkan sepuluh jilid buku yang memuat perjalanan bangsa dari masa lampau hingga era kontemporer, dengan target penyelesaian pada peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2025. Proyek ini melibatkan sekitar 113-120 penulis dari berbagai disiplin ilmu dan universitas di Indonesia, dengan anggaran sekitar Rp. 9 miliar. Meski tujuan proyek ini sangat mulia, kekhawatiran mendalam muncul di kalangan masyarakat mengenai bagaimana narasi sejarah tersebut akan disusun. Pertanyaan penting yang muncul adalah apakah penulisan ulang ini benar-benar akan menghadirkan kisah sejarah yang objektif dan menyeluruh, atau justru berpotensi menjadi instrumen untuk memuliakan kekuasaan dan memanipulasi narasi demi kepentingan politik tertentu?

Urgensi Penulisan Ulang Sejarah

Narasi sejarah Indonesia selama ini cenderung didominasi oleh perspektif para pemimpin dan tokoh besar. Padahal, peran kelompok masyarakat lain seperti buruh, petani, dan pelajar juga sangat signifikan, namun sering kali kurang mendapat perhatian dalam catatan sejarah resmi. Penulisan ulang sejarah ini dapat menjadi momentum penting untuk menghadirkan narasi yang lebih adil, komprehensif, dan inklusif, sekaligus mengintegrasikan hasil-hasil penelitian terbaru yang selama ini belum banyak terungkap kepada publik.

Menurut Prof. Susanto Zuhdi, ketua tim penulis, proyek ini menggunakan metodologi ilmiah dan data yang valid agar hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Beberapa sejarawan dari berbagai universitas juga memberikan dukungan karena mereka ingin memperbarui narasi sejarah yang selama ini kurang mendapat sorotan, seperti periode pra-kemerdekaan, masa Orde Baru, dan era reformasi.

Kekhawatiran Terhadap Glorifikasi Kekuasaan dan Manipulasi Narasi

Kekhawatiran yang disuarakan oleh berbagai pihak juga perlu mendapat perhatian serius. Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) dan sejumlah sejarawan independen mengingatkan bahwa penulisan ulang sejarah ini berpotensi menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan yang sedang berkuasa, dengan mengubah narasi sejarah sesuai kepentingan politik mereka. Mereka khawatir bahwa narasi resmi baru ini akan mengaburkan fakta-fakta penting, seperti pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, atau menghilangkan sisi-sisi sejarah yang tidak menguntungkan rezim yang berkuasa saat ini (Tempo.co, 2025).

Kekhawatiran tersebut sangat beralasan, mengingat sejarah kerap kali digunakan oleh penguasa untuk membentuk ingatan kolektif masyarakat agar selaras dengan kepentingan politik tertentu. Jika penulisan sejarah hanya dikuasai oleh satu pihak, maka suara-suara yang berbeda dan alternatif bisa saja terpinggirkan. Hal ini tentu berpotensi merusak demokrasi dan menghambat perkembangan pendidikan yang kritis. Hal ini sejalan dengan pandangan E.H. Carr yang dalam bukunya What is History? (1961) menyatakan bahwa sejarah bukanlah fakta murni, melainkan interpretasi yang dipengaruhi oleh konteks sosial dan politik, sehingga monopoli narasi sejarah oleh kekuasaan dapat menyebabkan distorsi dan manipulasi. Lebih jauh, filsuf Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1972) menegaskan bahwa kekuasaan tidak hanya berwujud dalam bentuk fisik, tetapi juga melalui pengendalian wacana dan pengetahuan, termasuk sejarah. Dengan demikian, penulisan ulang sejarah oleh negara bisa menjadi instrumen hegemoni yang membentuk memori kolektif sesuai kepentingan rezim yang berkuasa.

Proyek ini juga menghadapi tantangan besar, terutama terkait waktu yang sangat singkat. Dengan target penyelesaian kurang dari satu tahun, muncul pertanyaan apakah proses yang relatif terburu-buru ini mampu menghasilkan karya sejarah yang mendalam, objektif, dan berkualitas tinggi? Koordinasi antara ratusan penulis dari berbagai daerah dan latar belakang akademis juga menjadi tantangan tersendiri agar hasilnya tetap konsisten dan komprehensif. Dukungan DPR terhadap proyek ini menunjukkan bahwa mereka menganggap penting mengakhiri kekosongan penulisan sejarah nasional selama lebih dari 26 tahun sejak era reformasi. Namun, penegasan DPR bahwa proses ini harus dilakukan secara transparan dan melibatkan banyak pihak menjadi poin penting agar narasi sejarah yang dihasilkan benar-benar mencerminkan keberagaman pengalaman bangsa (Tempo.co, 2025).

Pendapat beberapa pakar sejarah dari universitas terkemuka yang memberikan dukungan terhadap proyek ini juga patut diperhatikan. Mereka berharap penulisan ulang sejarah dapat menghadirkan perspektif yang lebih Indonesia-sentris sekaligus mengikuti perkembangan ilmu sejarah di tingkat global. Dengan demikian, catatan sejarah bangsa dapat menjadi lebih lengkap dan tidak hanya didominasi oleh kepentingan politik atau kelompok tertentu. Apabila prosesnya dilakukan secara ilmiah dan terbuka, penulisan ulang sejarah dapat menjadi ruang dialog yang menghargai berbagai sudut pandang dan fakta. Hal ini sangat penting agar generasi muda dapat mempelajari sejarah secara utuh dan objektif, sehingga mampu membangun identitas nasional yang kuat dan turut menjaga keberlangsungan demokrasi yang sehat. Sebagaimana ditegaskan oleh David Lowenthal dalam The Past is a Foreign Country (1985), sejarah harus menjadi ruang dialog yang dinamis dan kritis, bukan narasi final yang dipaksakan.

Penulisan ulang sejarah Indonesia merupakan langkah strategis yang sangat penting untuk menghadirkan narasi sejarah yang lebih adil, lengkap, dan relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial-politik saat ini. Namun demikian, proyek ini hendaknya dijalankan dengan prinsip keterbukaan, partisipasi luas, dan ketelitian akademik agar tidak menjadi alat untuk memuliakan kekuasaan atau memanipulasi narasi sejarah demi kepentingan politik tertentu. Sejarah harus tetap menjadi ruang terbuka untuk berdiskusi dan menghargai keberagaman perspektif, bukan sekadar instrumen untuk membentuk ingatan kolektif yang terdistorsi.


Oleh: Fawaid Abdullah Abbas

Referensi:
Tempo.co. (2025, 27 Mei). Kontroversi Penulisan Ulang Sejarah Indonesia.
https://www.tempo.co/politik/kontroversi-penulisan-ulang-sejarah-indonesia-1563498
Tempo.co. (2025, 20 Mei). Kritik Berbagai Pihak soal Penulisan Ulang Sejarah Nasional. https://www.tempo.co/politik/kritik-berbagai-pihak-soal-penulisan-ulang-sejarah-nasional-1493882
Carr, E.H. (1961). What Is History? London: Machmillan.
Foucault, Michel. (1975). Dicipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Vintage Books
Lowenthal, David. (1985). The Past is Foreign Country. Cambridge: Cambridge University Press
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak