BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Wacana Politis Kaum Sarungan: Membongkar “Birahi Politik” PCNU Banyuwangi

“Aurat NU telah diobok-ibok. Kiai dan pesantren, sebagai aurat NU, sekarang sudah dijadikan permainan. Orang datang kepada kiai-kiai dan pesantren kita, bukan untuk menghormati, melainkan untuk menawarkan ‘harganya’. Aurat NU sudah dibuka oleh siapa saja”
(KH. Tolchah Hasan)

Penalaut.com - Keberadaan organisasi di Indonesia memang menjadi penanda sejarah kebangkitan masyarakat pribumi terhadap penindasan yang dilakukan kolonial. Secara historis, menurut pembacaan Mukti Ali, kemunculan organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu ciri pengaruh “modern” dalam masyarakat Islam (Mukti Ali, 1971: 5). Sehingga, NU menjadi entitas penting dalam perjalanan sejarah Indonesia. Hal ini sudah menjadi pemahaman umum, bahwa NU memang memberikan kontribusi pemikiran dan gerakan terhadap kemerdekaan Indonesia dari penjajahan dari bangsa asing.

Namun, sejak 1926 hingga sekarang, ternyata perjalanan NU tidak selalu berjalan mulus dan landai-landai saja. Seperti kata pepatah: “semakin besar pohon, semakin kencang angin menerpa”. Jagad NU kian membesar, warga NU semakin membeludak, dan tantangan yang dihadapi NU bukan lagi tentang doktrin, hukum, dan amaliyah. Lebih luas daripada itu, saat ini NU tengah menghadapi dua persoalan: internal dan eksternal. Berbagai persoalan eksternal yang datang menghampiri NU, sejauh ini, selalu mendapatkan perhatian lebih. Hal ini bisa kita tengok dari salah satu gagasan yang terus diwacanakan PBNU tentang “Fikih Peradaban”.

Selain masalah-masalah eksternal, faktanya NU terus direcoki persoalan yang muncul dari kalangan Nahdliyin sendiri. Mulai dari struktur hingga kultur. Dari elite PBNU sampai Ranting. Dan dari “langit-langit” NU hingga akar rumput. Salah satu persoalan internal itu disebabkan oleh upaya “demoralisasi” khittah dan nilai-nilai NU oleh mereka yang mengatasnamakan diri sebagai Nahdliyin (Nurhasim & Ridwan, 2004: viii). Alih-alih memperjuangkan organisasi, tapi justru mengikis nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah yang selama ini dijadikan landasan NU dalam menapaki jalan peradaban.

Dalam konteks dua persoalan yang dihadapi itu, secara umum saat ini NU lebih cenderung mengedepankan masalah eksternal daripada internal. Padahal, dua hal itu harus selalu diperhatikan oleh warga Nahdliyin, baik di level struktural maupun kultural. Tradisi saling mendorong, memberi masukan, dan mengingatkan (baca: kritik) antar-sesama Nahdliyin sangat diperlukan. Program yang baik (maslahah), perlu kita dorong. Jika ada kekurangan, kita patut memberi masukan. Dan jika mereka yang di struktural (PBNU, PWNU, PCNU, dan seterusnya) berbelok arah dan sudah keluar dari garis-garis (khittah) NU, kita wajib mengingatkan. Demikian juga tradisi yang harus dikembangkan dan dijaga oleh Badan Otonom (Banom), lembaga, lajnah, komunitas, dan lain sebagainya.

Fenomena di atas juga dialami oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Banyuwangi. Persoalan internal dan eksternal yang harus diselesaikan PCNU Banyuwangi saat ini, terlihat kurang diperhatikan—jika tidak mengatakan luput. Memang, sebagaimana yang telah diketahui, formasi PCNU Banyuwangi saat ini tidak memiliki waktu yang cukup untuk menyelesaikan dua masalah itu. Oleh karena itu, dalam konteks PCNU Banyuwangi yang bisa dibilang “sekarat”, seyogianya lebih memprioritaskan masalah-masalah internal daripada eksternal. Mengapa? Karena, mengobati keadaan tubuh yang kurang sehat jauh lebih penting untuk PCNU Banyuwangi. Namun, ternyata, PCNU Banyuwangi tetap “ngotot” melakukan tindakan yang justru tidak menyelesaikan persoalan sama sekali.

Tindakan yang saya maksud ialah apresiasi PCNU Banyuwangi terhadap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi beberapa waktu lalu. Oleh karena itu, tulisan ini bermaksud membaca lebih jauh apa yang dilakukan Gus Nandi wa akhihi tempo hari dengan pendekatan analisis wacana. Alasan utama mengapa saya melakukan pembacaan ini adalah untuk memberikan perspektif lain dan membongkar sesuatu “yang tak terkatakan” di permukaan media. Sehingga, ulasan ini hendak menjawab pertanyaan: apa maksud PCNU Banyuwangi mengapresiasi Pemkab Banyuwangi?

Agregasi Politik Kaum Sarungan: Membaca Apresiasi PCNU Kepada Pemkab Banyuwangi

Setiap tindakan yang dilakukan PCNU Banyuwangi, sudah semestinya menjadi sorotan publik. Sebab, ia merupakan “lokomotif” yang membawa umat, dan sudah barang tentu apa yang dilakukan harus berorientasi pada kemaslahatan umat. Sebagaimana kaidah fikih yang terkenal di kalangan NU: Taṣarruf al-Imām ‘alā al-Ra’iyyah Manūṭun bi al-Maṣlaḥah (kebijakan seorang pemimpin harus didasarkan pada kemaslahatan rakyat). Dengan demikian, langkah yang harus kita tempuh dalam rangka memahami tindakan apresiatif PCNU Banyuwangi kepada Pemkab Banyuwangi ialah membaca pada level permukaan atau “yang terkatakan”.

Beberapa media massa yang mengabarkan apresiasi PCNU ini, antara lain: Radar Banyuwangi, Times Banyuwangi, Suara Indonesia, dan BWI24Jam. Konten yang termuat dalam media-media yang telah disebutkan memiliki kecenderungan yang “sama”, yakni memberikan informasi kepada publik bahwa PCNU telah mengapresiasi seratus hari pertama kepemimpinan Ipuk Fiestiandani dan Mujiono. Dalam pembacaan yang saya lakukan, setidaknya ada tiga hal yang disampaikan Kiai Sunandi Zubaidi (Gus Nandi), Ketua Tanfidziyah PCNU Banyuwangi, berkenaan dengan kepemimpinan Bupati-Wakil Bupati Banyuwangi.

Pertama, kepemimpinan Ipuk-Mujiono berhasil menjaga stabilitas dan kondusifitas. Apresiasi PCNU melalui pernyataan Gus Nandi ialah keberhasilan Ipuk-Mujiono (Pemkab) dalam menjaga stabilitas dan kondusifitas pasca Pilkada 2024 lalu. Mereka mampu meminimalisasi konflik berkepanjangan, dan tidak terjadi residu politik yang mengendap di arus bawah masyarakat. Menurut Gus Nandi, keberhasilan ini merupakan modal penting untuk pembangunan Banyuwangi. Karena, jika kedua hal itu belum teratasi, maka perencanaan daerah akan tersendat. Secara gamblang Gus Nandi mengatakan demikian:

“Perlu diingat, pasca Pilkada, di banyak daerah masih tidak kondusif. Residu politiknya masih keras. Bahkan, ada yang Bupati dan Wakilnya yang langsung berseteru” (RaBa, 2025).

Kedua, seratus hari pertama Ipuk-Mujiono tidak terjebak pada gimmick politik. Di mata Gus Nandi, selama seratus hari pertama, kepemimpinan Ipuk-Mujiono tidak membangun citra atau menarik simpati masyarakat yang tidak penting. Sehingga, apa yang dilakukan Ipuk-Mujiono adalah tepat dan tidak sibuk mempercantik diri untuk mengelabui rakyat. Ia mengatakan sebagai berikut:

“Banyak kepala daerah lain yang sibuk membuat gimmick kebijakan. Tapi, sejatinya tidak ada sangkut pautnya dengan kebutuhan masyarakat” (RaBa, 2025).

Ketiga, respon terhadap kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan Pemkab. Menurut Gus Nandi, kebijakan Pemkab Banyuwangi mengenai efisiensi anggaran dari Pemerintah Pusat perlu diapresiasi. Karena, respon Pemkab dianggap berhasil mengolah anggaran secara presisi (tepat) di tengah pengurangan anggaran daerah di berbagai bidang. Selain itu, dalam pembacaan Gus Nandi, pos-pos anggaran yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial hingga infrastruktur jalan tetap terjaga dengan baik. Wakil Ketua Umum MUI Banyuwangi itu mengatakan demikian:

“Dari informasi yang saya dapat, ada ratusan miliaran anggaran Banyuwangi yang terpangkas oleh efisiensi pusat ini. Dan sepengetahuan kami, respon Bupati Ipuk cukup menarik. Beliau melakukan manajemen anggaran yang presisi. Meskipun ada pengurangan di sana-sini, tetapi tetap stabil” (RaBa, 2025).

Dari ketiga hal di atas, kita dapat memahami titik tolak apresiasi yang dilakukan Pengasuh PP. Al-Kalam Blimbingsari, Wakil Ketua Umum MUI Banyuwangi, plus Ketua PCNU Banyuwangi yang disampaikan pada Kamis (5/6/2025) lalu. Memperjelas poin-poin utama ini penting dilakukan sebagai objek analisis wacana kritis yang akan dilakukan dalam tulisan ini. Maka, sekali lagi, apa yang diapresiasi PCNU Banyuwangi mengenai seratus hari kepemimpinan Ipuk Fiestiandani-Mujiono, antara lain: 1) berhasil menjaga stabilitas dan kondusifitas; 2) tidak melakukan gimmick politik; dan (3) kebijakan efisiensi anggaran.

Dengan demikian, kita dapat memulai asumsi dari tiga hal itu, bahwa apresiasi Gus Nandi terhadap kepemimpinan Ipuk-Mujiono merupakan “agregasi politik”. Karena, pernyataan yang disampaikan Gus Nandi kepada publik itu tidak mungkin bebas dari unsur politis. Dan memang apresiasi itu berada di wilayah politik, dalam hal ini berkenaan dengan kebijakan dan strategi yang dilakukan Pemkab selama seratus hari. Kemudian, asumsi itu didukung dengan pemahaman umum, bahwa wacana dan gerakan seseorang atau kelompok tertentu tidak mungkin terlepas dari kepentingan-kepentingan politis. Asumsi dasar inilah yang digunakan untuk mendekati persoalan pemberian apresiasi PCNU kepada Pemkab.

Membedah Anomali Teks dan Konteks: Sebuah Analisis Wacana Kritis

Setelah membaca dan mengetahui beberapa aspek yang diapresiasi PCNU Banyuwangi berkenaan dengan kepemimpinan Ipuk-Mujiono selama seratus hari, langkah yang dilakukan kemudian ialah menganalisis wacana media itu menggunakan kerangka teoritis tertentu. Oleh karena sumber utama tulisan ini berita yang termuat dalam media massa, maka menurut saya, peranti yang sesuai untuk metode analisis ialah Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis). Metode analisis wacana yang dimaksud di sini ialah sebuah analisis wacana dengan pendekatan kritis yang digunakan sebagai “alat bedah” media.

Sehingga, dalam membaca teks, analisis semacam ini tidak mungkin melepaskan relasi-relasi kuasa yang membentuk teks (Eriyanto, 2001: 18). Dengan demikian, kuasa merupakan aspek yang inheren dalam teks berita yang berada di media massa. Selain itu, Analisis Wacana Kritis (AWK/CDA) memiliki beragam pendekatan, metode, dan karakteristik. Namun, terdapat tiga postulat yang telah disepakati, antara lain: AWK berorientasi mengatasi masalah sosial; AWK menganalisis relasi kuasa dalam penggunaan wacana; AWK menggunakan konsep kekuasaan, sejarah, dan ideologi (Wodak & Meyer, 2001: 2-3). 

Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan analisis wacana model Norman Fairclough. Menurut Eriyanto (2001: 17), analisis wacana Fairclough ini termasuk ke dalam analisis wacana dengan pendekatan perubahan sosial (Sociocultural Change Approach). Sehingga, dalam model analisis wacana Fairclough, sebuah wacana (bahasa) dipandang sebagai praktik sosial. Analisis wacana Fairclough itu memiliki tiga dimensi penting: teks (text), praktik diskursif (discourse practice), dan praksis sosial (sociocultural practice).

Teks yang dimaksud Fairclough mengacu pada lisan, tulisan, atau wacana (bahasa). Kemudian, praktik diskursif merupakan dimensi yang berkaitan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sedangkan dimensi praksis sosial berhubungan dengan konteks di luar teks itu. Ketiga dimensi ini kemudian dianalisis melalui tiga tahap, antara lain: 1) deskripsi digunakan untuk menganalisis teks meliputi kohesi, koherensi, tata bahasa, dan diksi; 2) interpretasi digunakan untuk melihat sejauh mana keberadaan teks mendorong tindakan tertentu; 3) eksplanasi digunakan untuk menganalisis berbagai praktik sosio-kultural yang mencakup tingkat situasional, institusional, dan sosial (Fairclough, 1995: 97). Kerangka operasional inilah yang akan digunakan dalam menganalisis topik utama tulisan ini.

Jika membaca berbagai media massa yang menayangkan berita tentang pemberian apresiasi PCNU Banyuwangi kepada Pemkab, seperti yang telah disebutkan di muka, kita dapat menentukan tiga dimensi AWK beserta tahap analisis yang dikemukakan Fairclough dalam Critical Discourse Analysis (1995: 98), sebagai berikut:


Sebagaimana yang tertera pada gambar di atas, dimensi teks, praktik diskursif, dan praktik sosio-kultural menunjukkan bahwa PCNU Banyuwangi mengapresiasi kinerja dan kebijakan yang dilakukan Pemkab Banyuwangi selama seratus hari. Kemudian, langkah yang perlu dilakukan ialah menganalisis ketiga dimensi tersebut dengan tahap yang telah diuraikan sebelumnya, yakni: deskripsi (mikro-struktural), interpretasi (meso-struktural), dan eksplanasi (makro-struktural).

Pertama, deskripsi (text analysis). Pada level ini, hal yang perlu dianalisis ialah diksi yang disampaikan Gus Nandi melalui media massa. Secara umum, dari penelusuran di berbagai media yang memberitakan apresiasi PCNU Banyuwangi itu, cenderung sama. Nyaris tidak ada perbedaan dalam isi berita yang dimuat. Oleh karena itu, saya hanya akan mengambil satu judul yang dibuat Radar Banyuwangi: “PCNU Banyuwangi Beri Apresiasi Seratus Hari Kepemimpinan Duet Ipuk-Muji, Gus Nandi: Stabil dan Kondusif”. Jika kita membaca judul ini, terdapat kata yang menonjol: “apresiasi”, “stabil”, dan “kondusif”.

Ketiga kata itu seakan hendak menunjukkan bahwa penilaian PCNU Banyuwangi kepada Pemkab bersifat positif. Memang, saat membaca tulisan yang ditulis oleh satu orang dan disebar ke beberapa media itu, sama sekali tidak kita temui nuansa kritik yang dilakukan PCNU Banyuwangi. Sehingga, apa yang dilakukan PCNU Banyuwangi melalui pernyataan Gus Nandi merupakan wacana apresiasi “penuh” kepada Pemkab. Sebab, sekali lagi, kita tidak akan menemukan pernyataan kritis dalam pernyataan Ketua PCNU itu.

Kedua, interpretasi (processing analysis). Menurut Fairclough (1995: 98), praktik wacana (produksi teks) dan konvensi wacana berhubungan secara kompleks. Seseorang dapat menunjukkan hubungan antara interpretasi teks dan konvensi. Dengan kata lain, dalam konteks pembahasan kita saat ini, perlu melakukan interpretasi terhadap relasi antara proses produksi teks dan teks itu sendiri. Untuk memahami siapa produsen teks itu, kita dapat menggunakan pendekatan konstruksionis. Dalam paradigma konstruksionis, sebuah wacana (teks) dalam berita tidak dipandang sebagai penjelasan realitas objektif, melainkan sebagai “konstruksi” atas realitas. Berita adalah produk interasi antara subjek (manusia) dan fakta (Eriyanto, 2002: 20).

Oleh karena itu, jika menggunakan perspektif konstruksionis itu, kita dapat mengatakan: media massa merupakan “agen” konstruksi. Namun, media itu tidak mungkin mengkonstruksi realitas tanpa bantuan subjek. Maka, dalam hal ini, subjek yang menggunakan media massa ialah pihak PCNU Banyuwangi. Kendati yang memberikan apresiasi kepada Pemkab itu Gus Nandi, akan tetapi tidak mungkin wartawan dari berbagai media meliput pada saat bersamaan. Tentu, ada seseorang yang berperan dalam menulis berita itu. Budaya jurnalistik semacam ini bukan lagi rahasia umum di ujung timur Pulau Jawa.

Kemudian, ketika berita apresiasi PCNU Banyuwangi dimunculkan ke publik, ada dua pihak yang diuntungkan (selain PCNU sendiri), di antaranya: media massa dan Pemkab. Keuntungan yang didapatkan media massa, setidaknya, adalah pembaca dan menjadi rujukan publik. Sementara Pemkab diuntungkan dari sisi kepercayaan masyarakat, sebab tanpa melakukan “gimmick politik”, mereka sudah dibantu oleh PCNU Banyuwangi membangun citra yang baik. Sehingga, dari analisis interpretasi ini, kita dapat memahami bagaimana teks (berita) dikonsumsi dan di-interpretasi oleh masyarakat Banyuwangi. Dengan kata lain, berita apresiasi itu hendak menghidangkan sajian “positif” tentang kinerja dan kebijakan Pemkab Banyuwangi di bawah kepemimpinan Ipuk-Mujiono agar dikonsumsi dan dipahami oleh publik.

Ketiga, analisis eksplanasi (social analysis). Dalam dimensi praktik sosial (makro-struktural), tahap analisis yang perlu dilakukan ialah eksplanasi yang bertujuan untuk menganalisis konteks sosial yang berada di luar teks media. Hal ini didasarkan pada pendapat, bahwa teks tidak lahir begitu saja. Teks atau wacana (bahasa) tidak diproduksi tanpa maksud-maksud tertentu. Sehingga, level situasional, institusional, dan sosial mempengaruhi pembentukan teks. Dengan kata lain, dimensi makro ini merupakan bagian dari konteks peristiwa diskursif, dan diperlukan untuk memahami bagaimana konteks sosial memiliki pengaruh terhadap kemunculan teks (Fairclough, 1995: 102). Oleh karena itu, pada bagian ini, kita akan menilik konteks sosial-politik di Banyuwangi secara umum untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang hubungan antara konteks dan wacana apresiasi PCNU Banyuwangi.

Dalam pernyataan apresiasi yang dilayangkan Gus Nandi itu, tingkat situasional dan institusional dapat ditelaah sebagai sebuah relasi yang saling terkait dan berkelindan. Pada level situasional, di Banyuwangi, memang stabilitas dan kondusifitas politik bisa dianggap “ayem-tentrem” pasca Pilkada 2024. Namun, kita harus jujur, bahwa terdapat beberapa persoalan yang terjadi di Banyuwangi setelah Ipuk-Mujiono resmi dilantik. Misalnya, masalah penutupan minimarket lokal oleh Satpol PP; demonstrasi masyarakat Kampunganyar, Glagah, yang menuntut hak pesangon dan evaluasi HGU Perkebunan Kalibendo; rencana perbaikan jalan tak kunjung diatasi oleh pemerintah; problem ekologis penambangan di Gunung Tumpang Pitu dan Gunung Salakan; dan seterusnya.

Persoalan di atas, setidaknya merupakan masalah penting yang terjadi selama seratus hari kepemimpinan Ipuk-Mujiono di Banyuwangi. Dari sini, kita dapat menganggap, bahwa berbagai persoalan itu tidak mendapatkan perhatian khusus—untuk tidak menyebut “apatis”—Gus Nandi dan lingkaran elite PCNU Banyuwangi. Sehingga, dengan melihat persoalan-persoalan itu, antara apa yang dikatakan teks berita (apresiasi) dan konteks sosial di luar teks terlihat kontradiktif. Tentu, situasi dan institusi (PCNU) di sini saling berhubungan. Bagaimana berbagai persoalan yang menjadi tanggung jawab Pemkab itu seakan-akan hendak “ditutupi” oleh PCNU Banyuwangi dengan memberikan apresiasi penuh terhadap Pemkab.

Selain itu, ketiga aspek yang menjadi indikator penilaian Gus Nandi, sama sekali tidak menyentuh aspek sosial yang justru tidak menunjukkan stabilitas dan kondusifitas. Padahal, kinerja dan kebijakan yang disoroti Gus Nandi adalah hal yang biasa. Bahkan, tidak perlu sampai memberikan “apresiasi penuh” kepada Pemkab. Sebab, menjaga stabilitas-kondusifitas politik, tidak melakukan membangun citra untuk menarik simpati publik, dan menentukan kebijakan efisiensi anggaran yang presisi adalah “tanggung jawab” Pemkab. Lantas, mengapa Gus Nandi merasa perlu memberikan apresiasi pada sesuatu yang sudah menjadi tugas seorang pemimpin?

Lebih jauh, seturut penilaian Gus Nandi, pasca Pilkada tahun lalu Banyuwangi terbilang stabil dan kondusif. Oleh karena itu, ia menganggap bahwa Ipuk-Mujiono telah berhasil menjaga stabilitas dan kondusifitas politik. Namun, penilaian itu cenderung “politis”, karena hanya meninjau dari segi politik praktis semata. Dan keluputan Gus Nandi tidak melihat beberapa persoalan yang telah saya sebutkan sebelumnya. Terdapat dua kemungkinan, mengapa Gus Nandi tidak membaca persoalan itu. Pertama, karena ia apatis (tidak peduli) dengan persoalan-persoalan itu. Kedua, Gus Nandi memang bermaksud “memperias” Pemkab agar citra politik Ipuk-Mujiono semakin baik di mata masyarakat. Tapi, menurut pembacaan saya, Gus Nandi masuk ke dalam dua kemungkinan itu.

Membongkar Selubung Apresiasi PCNU: Upaya Menarik Simpati Pemkab?

Setiap wacana yang menyembul ke permukaan, menurut Foucault, selalu ada praktik marginalisasi. Sesuatu yang dipinggirkan itu juga seonggok wacana. Ia senantiasa dimarginalisasi (dipinggirkan) oleh wacana dominan. Dan dominasi itu disokong oleh kuasa (power). Sehingga, kemunculan atau kehadiran sebuah wacana secara simultan melakukan represi terhadap wacana yang lain. Dalam bahasa Foucault, wacana yang terpinggirkan itu disebut sebagai sesuatu yang “tidak terkatakan” (Foucault, 1972: 25). Dengan kata lain, membaca teks bukan aktivitas untuk menyingkap makna di balik teks itu, atau menafsirkan teks agar ia “berbunyi”, melainkan membaca sesuatu yang “tidak terkatakan”.

Kemudian, model pembacaan semacam itu dikembangkan oleh Ali Harb. Bagi Harb, kita harus memandang bahwa teks memiliki makna yang plural. Sebab, teks merupakan bagian dari wacana yang mempunyai makna, signifikansi, posisi, dan konteks yang beragam (Harb, 1995: 20). Bahkan, teks juga harus dipahami sebagai sesuatu yang mengandung kekosongan serta diliputi oleh retakan dan celah. Dengan demikian, pembacaan terhadap teks itu, menurut Harb harus mengungkap apa yang “tidak dikatakan” oleh wacana (lisan-tulisan); yang tidak dikatakan; dan yang menolak untuk dikatakan (Harb, 1995: 28). Maka, membaca (qira’ah) teks berarti berusaha mengetahui apa yang “tidak dikatakan” dalam wacana tertentu. Dalam konteks pembahasan kita, perspektif inilah yang digunakan untuk membaca wacana apresiasi PCNU Banyuwangi kepada Pemkab.

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa penilaian Gus Nandi tentang keberhasilan Ipuk-Mujiono dalam menjaga stabilitas dan kondusifitas itu tidak lain pada wilayah politik (Pilkada). Namun, ketika kita melihat berbagai permasalahan yang terjadi di arus bawah masyarakat, justru menunjukkan hal yang berbeda. Sehingga, jika melihat dari perspektif yang lebih makro, penilaian Gus Nandi mengenai kondisi Banyuwangi yang stabil dan kondusif itu sama sekali kurang relevan—untuk tidak mengatakan “omong kosong”. Selain itu, anggapan bahwa Ipuk-Mujiono tidak disibukkan dengan “gimmick politik”, semestinya perlu digugat.

Sebab, bagaimana mungkin tindakan Ipuk-Mujiono tidak disebut gimmick politik, sementara di sisi lain saat ini tengah terjadi masalah yang serius? Apalagi, sejak periode pertama, Bupati Ipuk Fiestiandani sering tampil di media sosial sebagai upaya untuk merekam “jejak langkah” politik yang ia lakukan. Bukankah hal semacam ini juga termasuk gimmick politik? Di satu sisi membangun citra dengan menampakkan keindahan Banyuwangi, sedangkan di sisi lain masih banyak persoalan yang bertahun-tahun belum teratasi. Sebagai contoh: dampak ekologis akibat pertambangan di Gunung Tumpang Pitu dan Gunung Salakan. Bukankah dua hal ini termasuk wilayah garapan Pemkab?

Dan akhirnya kita paham, kenapa Pemkab Banyuwangi mampu melakukan efisiensi anggaran secara presisi. Karena Pemkab selama ini juga mendapatkan “keuntungan” dari aktivitas pertambangan itu, selain dari sumber-sumber lain. Namun, belakangan kita malah dikejutkan oleh informasi, bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemkab Banyuwangi justru mengalami defisit. Jika APBD mengalami defisit, ke mana pendapatan yang bersumber dari aktivitas pertambangan itu? Dan di mata Gus Nandi, sejauh ini kinerja Pemkab tidak ada “masalah” sama sekali. Sungguh aneh tapi nyata!

Setelah memahami kontradiksi antara wacana apresiatif (teks) dan realitas (konteks) yang terjadi, maka pertanyaan yang harus kita jawab: apa tujuan Gus Nandi memberikan apresiasi kepada Pemkab Banyuwangi? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu membahas beberapa hal, antara lain: keberadaan Abdullah Azwar Anas di PCNU; kebutuhan Konfercab; dan menunjukkan “taring” Gus Nandi.

Pertama, sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa mantan Bupati Banyuwangi selama dua periode sekaligus suami Ipuk Fiestiandani, Abdullah Azwar Anas, dalam Surat Keputusan PBNU No. 3584/PB.01/A.II.01.45/99/02/2025 Tentang Penunjukkan dan Pengesahan Kepengurusan Definitif PCNU Banyuwangi yang diluncurkan pada Februari lalu. Dalam SK PBNU itu, KH. Abdullah Azwar Anas tercatat sebagai anggota Mustasyar PCNU Banyuwangi. Keberadaan Pak Anas (maaf tidak menyebut “kiai”) dalam jajaran PCNU ini jelas berimplikasi pada keberlangsungan PCNU Banyuwangi saat ini.

Sebab, tidak mungkin Pak Anas tidak ikut “cawe-cawe” di PCNU yang dikomandani Gus Nandi itu. Hanya saja, keterlibatan Pak Anas dalam roda organisasi tidak begitu kentara. Selain memang posisi Pak Anas berada di Mustasyar. Salah satu dampak keberadaan Pak Anas di PCNU ialah ia dapat mengetahui lebih dekat urusan “dapur” NU Banyuwangi, khususnya di jajaran kepengurusan. Apalagi, “abdi-abdi” Pak Anas juga menduduki posisi penting di PCNU. Sehingga, bukan sebuah kebetulan, apresiasi yang disampaikan Gus Nandi itu karena keberadaan Pak Anas di PCNU. Dengan kata lain, posisi Pak Anas di PCNU membuat Gus Nandi “sungkan” memberikan kritik terhadap kinerja dan kebijakan-kebijakan Pemkab Banyuwangi.

Kedua, SK PBNU yang terbit pada Februari lalu itu hanya memiliki waktu yang relatif singkat. Periode Gus Nandi saat ini, sesuai bunyi SK, hanya berlangsung selama satu tahun. Dan memang tujuan pengesahan pengurus definitif itu untuk dalam rangka menyelenggarakan Konferensi Cabang (Konfercab) NU Banyuwangi yang akan diselenggarakan kira-kira awal tahun depan. Karena masa kepengurusan hanya satu tahun, tidak lagi mengherankan jika Gus Nandi sering hilir-mudik untuk melakukan “sowan politik” (istilah Kuntowijoyo). Sejak nama Gus Nandi termaktub sebagai Ketua Tanfidziyah, “wajah” PCNU Banyuwangi mengalami perubahan yang lumayan drastis.

Selain itu, upaya “pengkondisian” organisasi dan lembaga di bawah naungan atau yang berhubungan dengan PCNU juga dilakukan. Keberhasilan elite PCNU dalam rangka mengkondisikan kader-kader NU itu dapat kita lihat dari apa yang dialami sahabat-sahabat saya di PC PMII Banyuwangi. Nalar kritis mereka sudah “dikondisikan” oleh Majelis Pembina Cabang (Mabincab) yang memiliki posisi strategis di PCNU Banyuwangi. Maka tak ayal, jika daya kritis sahabat-sahabat saya itu sudah “tumpul” dan “mandul”.

Ketiga, pemberian apresiasi kepada Pemkab itu tidak lepas dari ikhtiar politis Gus Nandi untuk menampakkan “taring”-nya di kalangan Nahdliyin dan di hadapan kekuasaan (Pemkab). Kita tahu, secara kuantitatif, NU di Banyuwangi mempunyai anggota yang tidak sedikit. Meski, selama ini, kita sulit memastikan berapa jumlah persis warga NU. Dan sudah barang tentu, dalam spektrum politik, NU senantiasa menjadi pertimbangan oleh mereka yang hendak menaiki tampuk kekuasaan di Banyuwangi. Hal ini juga berkaitan dengan keberlangsungan Pemkab Banyuwangi selama satu periode ke depan. Namun, bagaimanapun, sebagai seorang yang saat ini berada di posisi stategis, dan tampaknya Gus Nandi mempunyai hajat untuk mencalonkan diri pada Konfercab NU mendatang, sudah selayaknya ia menunjukkan “taring” ke hadapan publik.

Sebab, mafhum bagi kita, bahwa banyak kalangan cenderung meragukan kapasitas Gus Nandi sebagai Ketua PCNU Banyuwangi setelah peristiwa Gus Makki di-karteker tahun lalu. Program kerja yang dilakukan PCNU di bawah komando Gus Nandi saat ini, juga terbilang kurang memuaskan. Demikian adalah hal yang wajar, karena masa kepengurusan PCNU saat ini hanya satu tahun. Tentu Gus Nandi harus memanfaatkan waktu yang relatif singkat ini untuk “mengamankan” posisinya di PCNU dan di mata kekuasaan. Dan bisa kita saksikan saat ini, bagaimana kepemimpinan Gus Nandi belum mampu memberikan warna baru bagi NU Banyuwangi.

Dari ketiga hal di atas (bukan maksud menyederhakan persoalan), akhirnya kita dapat memahami apa maksud pemberian apresiasi Gus Nandi (PCNU) kepada kinerja dan kebijakan Ipuk-Mujiono (Pemkab) beberapa waktu lalu. Bahwa, apa yang dilakukan Gus Nandi itu bisa kita anggap sebagai “akrobat politik” untuk menarik simpati Pemkab. Demikian dilakukan Gus Nandi untuk mempertahankan posisi dan keperluan Konfercab mendatang. Kemudian, dalam hal ini, Gus Nandi berusaha merajut “jaringan politik” antara PCNU dan Pemkab untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Lantas, apakah langkah itu untuk kemaslahatan warga NU, atau justru untuk kepentingan golongan tertentu?

Jika kita melihat sikap “kurang peduli” PCNU Banyuwangi terhadap persoalan yang sebenarnya membutuhkan perhatian serius, seperti dampak ekologis pertambangan Tumpang Pitu dan Salakan, masalah Perkebunan Kalibendo, konflik agraria Pakel, dan persoalan lainnya, maka hubungan baik antara elite NU Banyuwangi dan Pemkab sama sekali tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Bahkan, mereka nyaris tidak terlihat di garis depan membela hak-hak masyarakat—yang sebagian besar warga NU. Perhatian mereka lebih terpusat pada urusan-urusan politik kekuasaan yang sama sekali tidak mengandung subtansi pengabdian NU. Dalam istilah Endang Turmudzi (2004: 34), kiai yang lebih concern di dunia politik praktis, yang dekat dengan kekuasaan, dan mencari keuntungan untuk golongannya sendiri, disebut sebagai “kiai politik”.

Alhasil, dengan membaca sesuatu yang “tidak terkatakan” ini, apa yang kemudian terlihat adalah “birahi politik” PCNU Banyuwangi. Bagaimana sederet kepentingan terselubung yang berada di balik apresiasi yang disampaikan Gus Nandi muncul ke permukaan—yang belum terbaca oleh kita. Jika kita sepakat bahwa Pemkab tidak melakukan gimmick politik selama seratus hari kerja, maka penilaian itu seharusnya ditujukan kepada Gus Nandi (PCNU Banyuwangi). Karena dari hasil pembacaan yang saya lakukan, justru yang sedang dilakukan Gus Nandi itu adalah “gimmick politik”. 

Dan menjadi terang-benderang, bahwa langkah-langkah yang dilakukan PCNU Banyuwangi di bawah kepemimpinan Gus Nandi ini merupakan “akrobat politik” untuk menarik simpati Pemkab, dan sama sekali bukan agenda-agenda pembebasan masyarakat dari keterkungkungan ideologi politik kekuasaan. Wallahu a’lam.


Hormat dalem,
Dendy Wahyu Anugrah, Anak Muda NU “Pinggiran”


Sanad Literatur:

Ali, Mukti A. Alam Pikiran Modern di Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Nida, 1971

Eriyanto. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS, 2002

———. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS, 2001

Fairclough, Norman. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Singapore: Longman, 1995

Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. New York: Pantheon Books, 1972

Harb, Ali. Kritik Kebenaran. Yogyakarta: LKiS, 1995

Nurhasim, Ahmad, dan Nur Khalik Ridwan. Demoralisasi Khittah NU dan Pembaruan. Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004

Turmudzi, Endang. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogyakarta: LKiS, 2004

Wodak, Ruth, dan Michael Meyer (Ed.). Methods of Critical Discourse Analysis. London: SAGE Publications, 2001

Radar Banyuwangi, “PCNU Banyuwangi Beri Apresiasi Seratus Hari Kepemimpinan Duet Ipuk-Muji, Gus Nandi: Stabil dan Kondusif”, 5 Juni 2025 (diakses 16/6/2025)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak