BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Rakyat Dijanjikan, Elite Dipastikan: Ironi Negeri Bernama Demokrasi

“Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk elite yang duduk di barisan VIP.”

Penalaut.com - Kalimat di atas ini meski terdengar seperti candaan politik di warung kopi, bisa jadi adalah ringkasan paling jujur tentang kondisi demokrasi di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Demokrasi telah menjadi kata suci yang disematkan pada hampir semua kebijakan, namun dalam praktiknya ia sering tampil sebagai parodi dari cita-cita awalnya. Dalam sistem ini, rakyat dijejali janji, sementara elite diberi kepastian. Sebuah simfoni paradoks yang dimainkan dengan irama pemilu lima tahunan.

Demokrasi semestinya berakar pada prinsip kesetaraan, partisipasi aktif warga negara, dan akuntabilitas kekuasaan. Namun, sebagaimana yang dipotret oleh Jean Baudrillard, dalam masyarakat postmodern, yang nyata sering kali digantikan oleh simulasi. Maka demokrasi hari ini lebih sering tampil sebagai teater simbolik ketimbang proses substantif. Rakyat hadir dalam panggung politik bukan sebagai aktor, tapi sebagai audiens yang diberi hak memilih—dan setelah itu disuruh diam.

Baudrillard menyebut bahwa dalam era hiperrealitas, tanda dan simbol tidak lagi merujuk pada realitas, melainkan menciptakan “realitas” baru. Demokrasi kita, sayangnya, berjalan dengan logika yang sama. Ia dijual sebagai produk dalam kemasan mewah: kampanye dengan desain grafis mutakhir, jargon populis yang menggugah, hingga narasi dramatis “anak kampung yang ingin mengabdi.” Tapi isi di dalamnya? Lebih banyak janji yang disusun seperti katalog mimpi.

Rakyat tak ubahnya konsumen yang dijejali iklan tentang masa depan gemilang. Dari kartu-kartu sakti hingga harga-harga sembako yang konon akan menyentuh titik nadir, semua disampaikan dengan gaya stand-up comedy dan koreografi massa yang penuh semangat. Namun begitu masa kampanye usai, “iklan” ditarik, dan produk tak kunjung tiba. Layaknya promo yang berlaku “hanya sampai tanggal 14 Februari,” janji-janji politik pun punya kedaluwarsa.

Dalam The Structural Transformation of the Public Sphere, Jurgen Habermas menegaskan bahwa demokrasi membutuhkan ruang publik di mana warga dapat berdiskusi rasional, bebas dari dominasi kekuasaan dan uang. Namun hari ini, ruang publik telah disulap menjadi panggung hiburan. Kebijakan dirumuskan bukan berdasarkan pertimbangan nalar publik, tetapi berdasar trending topic dan engagement rate. Bukan aspirasi yang didengar, tapi jumlah viewers dan followers. Diskusi publik yang seharusnya mencerahkan, kini digantikan oleh duel konten antar buzzer. Elite politik lebih sibuk membuat konten reaction daripada merancang regulasi. Demokrasi bergeser dari deliberasi ke drama, dari argumen ke algoritma. Tak heran jika kebijakan sering terasa seperti hasil FYP TikTok daripada hasil perdebatan yang mendalam.

Vilfredo Pareto dalam teorinya tentang elite circulation menekankan bahwa dalam semua sistem kekuasaan, akan selalu ada elite yang menguasai, dan pergantian hanya terjadi dalam kalangan mereka sendiri. Maka demokrasi hari ini bukan soal rakyat melawan elite, tapi elite yang berganti kostum—dari partai lama ke partai baru, dari oposisi ke koalisi. Mereka berkeliling di orbit kekuasaan dengan keluwesan aktor teater.
 
Elite tidak ikut antre bantuan sosial, tidak ikut panik saat harga beras naik, dan tidak pernah benar-benar keluar dari lingkaran kuasa. Bahkan ketika mereka “kalah” dalam pemilu, mereka segera “dimenangkan” dalam reshuffle. Jika rakyat diberi janji-janji palsu, elite diberi jaminan politik: dari jabatan komisaris hingga posisi strategis di lembaga negara. Power never really retires; it just relocates.

Dalam menghadapi semua absurditas ini, rakyat tidak melawan dengan senjata, tapi dengan tawa. Meme menjadi bentuk baru perlawanan. Humor adalah senjata terakhir rakyat, saat sistem terlalu rumit untuk diubah, dan terlalu lucu untuk dipercaya. Maka muncullah sindiran-sindiran yang viral: dari plesetan nama calon hingga kritik satire yang lebih tajam dari editorial surat kabar. Ini bukan sekadar hiburan. Humor politik adalah bentuk artikulasi frustrasi yang kreatif. Ia membuktikan bahwa rakyat masih waras, meski dipimpin oleh mereka yang kadang-kadang tampak bingung membedakan antara kebijakan publik dan konten kreator.

Demokrasi hari ini, jika tak diwaspadai, bisa menjadi teater politik dengan naskah yang ditulis oleh konsultan, dialog yang dipoles oleh buzzer, dan ending yang selalu berpihak pada mereka yang memiliki modal. Rakyat tetap menjadi penonton setia, menunggu giliran yang entah kapan datang. Namun demikian, harapan belum sepenuhnya padam. Masih ada ruang untuk memulihkan makna demokrasi sebagai ruang partisipatif, sebagai perjumpaan rasional antar warga, dan sebagai sistem yang berpihak pada yang lemah. Tapi itu tidak akan terjadi jika kita terus membiarkan demokrasi dijalankan layaknya sirkus politik yang lucu tapi menyedihkan.

Akhir kata, kita patut bertanya bukan hanya siapa yang kita pilih, tapi untuk siapa demokrasi ini sesungguhnya bekerja. Jika jawabannya masih “untuk mereka yang sudah pasti menang,” maka barangkali demokrasi kita memang sedang perlu diremajakan—atau setidaknya, diselamatkan dari komedi yang terlalu panjang.


Oleh: David Yogi P.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak