BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Reformasi Jokowi dan Prabowo: Konoha yang Hancur dalam Narasi Demokrasi Indonesia

Penalaut.com
- Ketika Taman Braga dan Kebun Binatang Bandung menjadi saksi bisu lengsernya Suharto pada 1998, harapan akan reformasi bergulir seperti angin segar. Rakyat membayangkan Indonesia baru yang adil, transparan, dan bebas dari belenggu otoritarianisme. Namun, dua dekade kemudian, di era kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto, impian itu justru terasa seperti Konoha—desa ninja dalam serial Naruto—yang hancur oleh perang saudara, ambisi kekuasaan, dan pengkhianatan. Reformasi 1998, yang seharusnya menjadi fondasi demokrasi, kini terperosok dalam kubangan pragmatisme politik, oligarki, dan degradasi moral.

Jokowi, yang pernah dielu-elukan sebagai "presiden rakyat", perlahan berubah menjadi simbol keterpurukan reformasi. Janjinya tentang pemerintahan bersih dan meritokrasi ternoda oleh koalisi gemuk dengan partai-partai bermasalah, termasuk Gerindra-nya Prabowo. Alih-alih memutus mata rantai korupsi, rezim ini justru melanggengkan oligarki dengan mengakomodasi para politikus busuk dalam kabinet. Proyek infrastruktur megah, seperti tol dan ibu kota baru, lebih sering menjadi ajang cuan elite daripada solusi bagi rakyat miskin yang semakin terpinggirkan.

Sementara itu, Prabowo—yang dulu dianggap sebagai antagonis reformasi karena keterkaitannya dengan Orde Baru—kini justru menjadi "sekutu" Jokowi. Drama rekonsiliasi mereka ibarat kisah Naruto dan Sasuke: dulu bermusuhan, lalu bersatu, tetapi bukan untuk kebaikan desa (Indonesia), melainkan bagi kepentingan kekuasaan. Prabowo, yang pernah berteriak tentang bahaya neo-liberalisme, kini menjadi bagian dari rezim yang justru memperkuat cengkeraman kapitalisme global. Kontradiksi ini memperlihatkan betapa reformasi telah dikhianati oleh para aktornya sendiri.

Jika Konoha hancur karena pertarungan internal dan nafsu kekuasaan, Indonesia pun mengalami hal serupa. Demokrasi kita tidak mati oleh kudeta militer, tetapi oleh pembusukan perlahan: pembungkaman kritik melalui UU ITE, kriminalisasi aktivis, dan pemilu yang semakin mahal sehingga hanya bisa diakses oleh para oligark. Partai-partai politik, yang seharusnya menjadi garda depan reformasi, justru menjadi sarang koruptor dan pemburu rente.

Lantas, di mana letak kesalahan reformasi? Mungkin karena ia hanya berhasil menggulingkan rezim, tetapi gagal membunuh sistem lamanya. Suharto jatuh, tetapi para anteknya tetap bercokol. Demokrasi kita terjebak dalam ritual pemilu tanpa makna, di mana rakyat hanya jadi penonton dalam panggung elite yang silih berganti memainkan peran.

Bandung, kota yang dulu menjadi salah satu episentrum reformasi, kini mungkin hanya bisa meratapi nostalgia 1998. Taman Braga dan Kebun Binatang Bandung mungkin masih berdiri, tetapi semangat perlawanan telah redup. Jika Konoha bisa bangkit dari kehancuran karena tekad Naruto, akankah Indonesia menemukan pahlawannya sendiri? Atau kita hanya akan terus terperangkap dalam lingkaran kegagalan reformasi, menunggu kehancuran total sebelum benar-benar berubah?

Reformasi 1998 adalah cermin yang memantulkan harapan sekaligus kekecewaan. Dan di era Jokowi-Prabowo, kita sedang menyaksikan babak terkelam dari refleksi itu.


Oleh: Nashrul Mu'minin (Content Writer Yogyakarta)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak