Mari kita mulai dari datanya. Berdasarkan klarifikasi resmi UGM, Jokowi terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kehutanan pada tahun 1980 dan lulus pada 1985. Verifikasi data akademik mencakup:
* Nomor Induk Mahasiswa: 01831101
* Transkrip nilai resmi dari awal hingga lulus
* Arsip bimbingan skripsi
* Surat Keterangan Lulus
* Foto buku tahunan, serta testimoni dari dosen-dosen, termasuk Prof. Yanto Santosa yang masih hidup hingga kini
Semuanya mendukung legalitas akademik Jokowi. Namun, di ruang publik, rasionalitas sering tenggelam dalam emosi dan polarisasi politik.
Laporan survei LSI (Lembaga Survei Indonesia) pada 2022 menunjukkan bahwa hanya 7,3% responden yang benar-benar percaya isu ijazah palsu ini. Namun angka yang “ragu-ragu dan mungkin percaya” mencapai 21,6%, yang artinya satu dari lima warga Indonesia bisa menjadi korban disinformasi jika tidak diberi edukasi media yang cukup. Di sinilah letak kekritisan publik yang mulai tergeser oleh sensasi.
Mengapa isu ini terus hidup meski secara hukum telah ditutup? Ada dua kemungkinan utama: pertama, adanya kebutuhan sebagian kelompok untuk terus menciptakan keraguan simbolik terhadap legitimasi Jokowi. Kedua, rendahnya critical thinking sebagian pengguna internet dalam menyaring informasi.
Kasus Bambang Tri Mulyono yang menggugat keabsahan ijazah Jokowi adalah titik klimaks narasi ini. Namun, pada 26 Oktober 2022, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan tersebut karena nihil bukti otentik. Tak hanya itu, pihak pelapor justru harus menghadapi laporan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik dan penyebaran hoaks.
Ironisnya, ini bukan sekadar persoalan Jokowi semata. Ini adalah test case bagi daya tahan demokrasi kita terhadap polusi informasi. Di satu sisi, lembaga akademik dan hukum telah menjalankan perannya dengan transparan. Di sisi lain, sebagian publik masih memegang “keyakinan” berdasarkan video TikTok, opini YouTube, atau utas Twitter yang tidak terverifikasi.
Jika kita tetap membiarkan opini menggantikan fakta, maka siapa pun pemimpin kita kelak akan selalu diragukan lewat konstruksi narasi palsu. Demokrasi tidak akan berjalan di atas asumsi, melainkan pada kredibilitas dan akuntabilitas.
Sebagai masyarakat yang hidup di tengah pusaran digital, kita harus membangun kedaulatan berpikir. Bukan berarti menelan semua informasi dari pemerintah mentah-mentah, tapi juga tidak terburu-buru menyimpulkan dari kabar yang viral. Kata kuncinya adalah kritis, rasional, dan jernih.
Ijazah bukan hanya selembar kertas. Ia adalah simbol kepercayaan, kerja keras, dan proses. Ketika simbol itu dengan mudah dilabeli palsu tanpa dasar, maka kita pun sedang menggadaikan akal sehat kepada algoritma sensasionalisme.
Dan jika bangsa ini terus dikuasai oleh narasi kebohongan yang berdandan sebagai kebenaran alternatif, maka masalah kita bukan pada ijazah Jokowi—melainkan pada kemampuan kita membedakan antara logika dan luka politik yang belum selesai.
Oleh: Nashrul Mu’minin (Content Writer, Yogyakarta)
Posting Komentar