BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Renungan Prof. Aksin Wijaya: Membaca Simbol, Memahami Substansi



Pena Laut - “Seorang cendekiawan Muslim,” menurut Gus Dur, “harus memberikan pertanggungjawaban secara moral kepada agama, bangsa, dan negara”. Seruan cucu muassis NU yang dimuat dalam Majalah Aula (1993) itu dapat kita pahami, bahwa seorang cendekiawan Muslim memiliki tanggung jawab moral dalam tiga wilayah: agama, bangsa, dan negara. Kemudian tiga wilayah itu mencakup beberapa bidang, seperti sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan, hukum, dan seterusnya.

Dengan kata lain, Gus Dur hendak mengingatkan kepada kaum cendekiawan Muslim, agar mereka senantiasa menerjemahkan nilai-nilai Islam sesuai konteks zaman, dan tidak pernah absen dalam memahami isu-isu dan mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat di segala sektor kehidupan. Demikian adalah tanggung jawab seorang cendekiawan Muslim.

Peran seorang cendekiawan Muslim, khususnya, di Indonesia memiliki tantangan yang tidak “sepele”. Sebab mereka hidup di sebuah bangsa yang memiliki “wajah” heterogen, baik dari segi bahasa, suku, agama, dan kultur. Segala persoalan yang terjadi, tentu membutuhkan kerja-kerja intelektual yang tidak gampang. Salah satu tugas yang harus dilakukan oleh seorang cendekiawan Muslim Indonesia, ialah membaca fenomena mutakhir secara kritis, dan lantas memberikan tawaran-tawaran solutif.

Salah satu cendekiawan Muslim Indonesia yang, menurut saya, tetap istikamah di jalur tersebut adalah Prof. Aksin Wijaya. Seorang akademisi kondang asal Madura ini mempunyai kebiasaan yang unik: sering mengenakan kemeja, blangkon khas Jawa, dan sarung. Sebuah potret cendekiawan yang mencerminkan keislaman dan keindonesiaan sekaligus.

Pembacaan kritis-reflektif Prof. Aksin terhadap isu-isu kekinian dalam konteks Indonesia tersebut bisa kita jumpai dalam buku terbarunya: Dari Simbol ke Substansi; Dinamika Panjang Pergulatan Pemikiran dan Realitas Islam di Indonesia (IRCiSoD, 2025). Seperti yang diakui Prof. Aksin sendiri, buku ini adalah sebuah kumpulan tulisan yang sebelumnya tersebar di pelbagai media online (hal. 5). Secara umum, tulisan-tulisan yang dimuat dalam buku ini merupakan refleksi kritis Prof. Aksin atas fenomena yang terjadi beberapa tahun terakhir.

Dalam ulasan ini, saya hanya akan membahas secara ringkas topik-topik penting yang disajikan santri PP. Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep itu dalam buku Dari Simbol ke Substansi.

Ribut Soal Makanan, Lupa Memakan
Buku dengan tebal 234 halaman itu memuat catatan reflektif-kritis Prof. Aksin. Topik utama buku tersebut adalah soal simbol dan substansi—sebagaimana yang dijadikan judul. Prof. Aksin berusaha membaca fenomena Muslim Indonesia yang masih cenderung disibukkan oleh persoalan “cangkang”, sementara mereka seolah lupa memahami substansi (hal. 10; 15; 32; 88; 151).

Misalnya, mengenai persoalan pakaian “islami” yang belakangan menyeruak ke permukaan. Sebagian kalangan Muslim Indonesia masih mempertanyakan bagaimana berpakaian secara “islami” itu. Apakah mengenakan pakaian yang bukan khas kebudayaan Arab bisa dikatakan “islami”, seperti kemeja batik, sarung, dan songkok bagi laki-laki, dan gamis (wajah dan tangan tidak ditutup) bagi perempuan. Dalam membaca persoalan ini, Prof. Aksin bertolak dari pemahaman: mengenakan pakaian yang menutup aurat.

Tidak berhenti di situ, ia juga menekankan, bahwa setelah umat Islam menutupi aurat (entah memakai jubah-gamis atau batik-sarung), seyogianya mereka juga berperilaku secara “islami” dengan berakhlak yang baik, menghormati orang lain, bersikap rendah hati, dan seterusnya. Sebab, menurut Prof. Aksin, hanya mementingkan “baju islami” tetapi tidak mengaktualisasikan nilai-nilai etis Islam dalam kehidupan sehari-hari, adalah hal yang kurang tepat—jika tidak mengatakan “sia-sia”.

Selain itu, dalam konteks beragama, sebagian umat Islam Indonesia juga masih banyak yang “terjebak” ke dalam nalar simbolik semacam tadi. Kelompok Islam radikal, misalnya. Nalar kelompok Muslim ini amat sederhana: menyamakan Islam dengan Arab (hal. 34). Menurut mereka, Islam itu Arab. Sehingga segala hal yang dilakukan oleh Muslim Arab, harus diterapkan di Tanah Air. Pemahaman agama semacam ini akan meruntuhkan sendi-sendi kebhinekaan Indonesia, karena kita tahu, bahwa Bumi Nusantara adalah bangsa yang plural, baik dari segi agama, bahasa, suku, dan budaya.

Maka “nalar radikalisme” yang digunakan oleh saudara-saudara kita itu sebenarnya berkutat pada paradigma formalistik, bukan substantivik. Kemudian, implikasi yang ditimbulkan adalah menganggap Pancasila itu tidak “islami”, demokrasi bukan Negara Islam (Daulah al-Islamiyah), dan menuduh orang lain yang tidak sekeyakinan dengan mereka sebagai kafir.

Fenomena keberagamaan secara formalistik dan simbolik semacam itu masih banyak terjadi di Indonesia, atau bahkan di belahan dunia yang lain. Secara aksiologis, gerakan yang mereka lakukan justru mengikis karakter bangsa, dan hendak menegakkan ideologi Pan-Islamisme (menyatukan umat Islam) dengan cara menolak perbedaan. Bahkan, corak gerakan mereka cenderung melakukan Arabisasi ketimbang islamisasi. Alih-alih menyemai benih-benih Islam yang “ramah”, justru mereka tidak bisa menahan nafsunya sehingga menampakkan Islam yang “marah”.

Dalam konteks pembahasan Prof. Aksin ini, dapat kita ilustrasikan, bahwa masih banyak orang yang ribut soal makanan, tapi mereka lupa bahwa ada hal yang lebih penting dari itu: makan!

Mengambil Jalur “Tengah”: Wacana Moderatisme Islam
Setelah membaca persoalan Islam simbolik dan Islam substantivik, dosen UIN Kiai Ageng Muhammad Besari, Ponorogo ini beralih pada topik moderasi beragama (hal. 47; 58; 66; 121). Refleksi tentang moderasi beragama ini adalah ikhtiar Prof. Aksin untuk membumikan keberagamaan yang “moderat”, terutama setelah ia mengikuti workshop dengan tema serupa dan membaca (kemudian me-review) buku Moderasi Beragama karya Lukman Hakim Saifuddin.

Secara esensial, menurut Prof. Aksin, Islam merupakan agama yang moderat. Sehingga, sudah semestinya umat Islam itu beragama secara moderat. Dalam hal ini, ia merasa berbeda dengan penulis buku Moderasi Beragama tersebut (hal. 64 dan 72). Kemudian, dalam topik moderasi beragama ini, ia juga menyajikan perbedaan antara “moderasi agama” dan “moderasi beragama” (hal. 50; 60; 69). Moderasi agama adalah esensi dari agama-agama itu sendiri. Artinya, secara ontologis, semua agama mempunyai tujuan yang sama: “memanusiakan manusia”. Salah satu cara untuk mengejawantahkan tujuan tersebut ialah bersikap moderat dalam beragama. Inilah yang disebut moderasi beragama.

Moderasi beragama ini, disajikan oleh Prof. Aksin, menurut hemat saya, tidak serta-merta mengulas secara deskriptif pengertian moderasi beragama Kemenag tersebut. Namun, ia sebenarnya nyambung dengan topik yang pertama, yakni menangkal paradigma simbolik-formalistik yang sedang menyeruak ke permukaan wacana keagamaan di Indonesia. Dengan kata lain, melalui topik ini, Prof. Aksin berusaha memberikan tawaran konseptual terhadap ideologi transnasional yang mengancam keutuhan NKRI.

Hal tersebut ia dengungkan sebagai “Resolusi Jihad” santri dalam konteks kekinian. Resolusi jihad baru itu menyerukan gerakan intelektual santri (umat Islam) dalam rangka melawan ideologi-ideologi totaliter yang bermaksud meruntuhkan kebhinekaan dan keutuhan Tanah Air dengan landasan epistemologi Islam moderat hal. 128). Dengan kata lain, Prof. Aksin memiliki asumsi, bahwa Islam moderat-lah yang mampu menjembatani ekstremisme, radikalisme, dan totalitarianisme dalam beragama.

Paradigma Ilmu “Integralistik-Antroposentris-Tranformatif”
Sebagai seorang akademisi, Prof. Aksin juga membahas seputar dunia pendidikan tinggi yang menjadi salah satu elemen penting dalam kehidupan bangsa dan negara. Tidak dipungkiri, secara historis, pendidikan tinggi (umum maupun keagamaan) memiliki kontribusi besar dalam mengiringi kemajuan Indonesia. Berbagai tawaran teoritis-konseptual bercokol dari (meminjam istilah Mahbub Djunaidi) “istana dewa intelektual” ini. Akan tetapi, sesuai background akademik Prof. Aksin, ia lebih fokus membahas pendidikan tinggi keagamaan Islam (UIN).

Prof. Aksin membahas perihal urgensi paradigma keilmuan tersebut dalam konteks transformasi status IAIN Ponorogo ke UIN Kiai Ageng Muhammad Besari. Perlu diketahui, IAIN Ponorogo saat ini sudah beralih status menjadi UIN. Hal inilah yang kemudian mendorong para dosen, terutama Prof. Aksin, untuk merumuskan paradigma keilmuan UIN. Bagi Prof. Aksin, peralihan status itu menandai dua hal: menambah fakultas dan prodi umum, dan proyek integrasi ilmu (hal. 99).

Karena alasan itulah, kemudian Prof. Aksin memberikan tawaran epistemologis dalam rangka membangun fondasi paradigma keilmuan di UIN Kiai Ageng Muhammad Besari. Tawaran paradigma keilmuan tersebut ialah “integralistik-antroposentis-transformatif”. Berbeda dengan cendekiawan Muslim Indonesia pada umumnya, seperti Harun Nasution, Kuntowijoyo, M. Amin Abdullah, dan sebagainya, yang sering menyebut dengan istilah “ilmu umum” dan “ilmu agama”, Prof. Aksin memiliki terminologi sendiri, yaitu ilmu Ilahi dan ilmu basyari (hal. 100).

Ilmu Ilahi merupakan agama, dan oleh karena itu bersifat tunggal. Sedangkan ilmu basyari adalah hasil penalaran manusia terhadap objek tertentu. Kedua ilmu ini, dalam pandangan Prof. Aksin, memiliki posisi yang berbeda. Posisi ilmu Ilahi itu sebagai sumber kebenaran, dan ilmu basyari menjadi peranti untuk menggali kebenaran dari sumber tersebut. Oleh karena itu, kedua ilmu ini tidak bertentangan, melainkan berjalan secara harmonis. Pertentangan ilmu mungkin terjadi dalam disiplin ilmu basyari, misalnya ilmu sosial bertentangan dengan ilmu alam, ilmu agama bertentangan dengan ilmu politik, dan seterusnya.

Nah, karena kemungkinan “pertengkaran” ilmu-ilmu basyari itulah, maka terdapat paradigma integralistik. Maksud dari paradigma ini adalah, masing-masing disiplin ilmu tersebut melakukan dialog atau interaksi. Akan tetapi, dalam proses dialog dan interaksi tersebut, masing-masing disiplin ilmu tetap mempunyai otonomi dan ciri khas tersendiri (hal. 101). Dengan model integralistik semacam ini, maka khazanah keilmuan kontemporer akan lebih kaya. Misalnya, seseorang bisa mengkaji Islam menggunakan disiplin ilmu sosiologi, hermeneutika, atau ilmu budaya. Selain itu, ilmu-ilmu umum juga bisa dikaji melalui disiplin ilmu keislaman.

Kemudian, dimensi antroposentris dalam paradigma keilmuan yang ditawarkan Prof. Aksin tersebut mengacu pada pemahaman, bahwa agama (ilmu Ilahi) dan ilmu manusia (ilmu basyari) ditujukan, atau mempunyai tujuan untuk keperluan manusia, baik relasi manusia dengan Tuhan maupun relasi manusia dengan sekelilingnya (kehidupan sosial). Sehingga jelas, jika kedua ilmu tersebut hadir dalam rangka membantu urusan-urusan manusia. Paradigma semacam ini kemudian harus ditranformasikan melalui karya-karya penelitian maupun lembaga pendidikan. Inilah yang dimaksud transformatif dalam paradigma yang ditawarkan Prof. Aksin.

Apa yang dilakukan Prof. Aksin itu, jika boleh saya berpendapat, bisa dianggap sebagai ikhtiar intelektual atas transformasi status IAIN ke UIN. Ia tidak terkecoh dengan perayaan-perayaan seremonial, melainkan tetap memikirkan fondasi keilmuan dan masa depan lembaga di mana ia mengabdi.

Budaya Literasi yang Mengkhawatirkan
Dalam dunia intelektual, membaca dan menulis seolah-olah adalah hal yang “wajib” dilakukan. Sebagai seorang intelektual, baik mahasiswa maupun dosen, harus menjadi pembaca sekaligus penulis yang “baik” dan “benar”. Bagi Prof. Aksin, membaca saja tidak cukup, dan apalagi kalau menulis tanpa membaca. Seorang intelektual harus menjadi pembaca yang baik dan benar. Artinya, membaca suatu buku harus dilakukan secara cermat dan kritis agar tidak salah dalam memahami maksud penulis buku yang telah dibaca (hal. 176).

Tidak berhenti dalam level membaca, seorang intelektual harus menelurkan gagasan-gagasannya dalam bentuk karya tulis. Setelah membaca gagasan, seseorang perlu menorehkan butir-butir gagasannya melalui tulisan. Hal ini dilakukan agar kita tidak hanya menjadi “konsumen”, melainkan juga menjadi “produsen” gagasan. Mengenai bagaimana cara membaca dan menulis suatu karya, Prof. Aksin memberikan hidangan yang renyah dan mudah dipahami dalam salah satu tulisan yang bertajuk “Bengkel Literasi: Membaca dan Menulis” (hal. 174).

Prof. Aksin, sebagai akademisi, juga melihat pergeseran atmosfer intelektual yang terjadi di dunia pendidikan tinggi. Menurutnya, saat ini para akademisi tengah berlomba-lomba menerbitkan tulisan (artikel) di jurnal-jurnal Sinta atau Scopus, di satu sisi, sementara pergumulan “wacana” ilmiah mengalami keredupan, di sisi lain. Dengan kata lain, sekarang ini banyak akademisi yang justru disibukkan oleh penerbitan jurnal di skala nasional maupun internasional, namun luput membahas wacana atau temuan yang disajikan, dan gagasan yang dikemukakan. 

Menerbitkan artikel di jurnal-jurnal ter-indeks Sinta atau Scopus memang penting, dan perlu diapresiasi. Namun, ada hal yang tak kalah penting dari penerbitan artikel di jurnal-jurnal ilmiah itu, yaitu topik yang dikaji dan bagaimana respon publik terhadap tulisan tersebut (hal. 185). Fenomena semacam ini, menurut Prof. Aksin, amat mengkhawatirkan. Sebab isu jurnal bertaraf lebih kerap diperbincangkan di kalangan akademisi daripada wacana ilmiah itu sendiri. Kegelisahan alumni MAPK Jember ini senada dengan celetukan Hairus Salim yang disampaikan beberapa waktu lalu:

“Ke mana para cendekiawan Muslim hari ini? Pasar ide senyap. Padahal Doktor dan Guru Besar makin banyak”.

Aksin Wijaya: Cendekiawan Nyentrik Dengan Gagasan Ciamik
Saya bukan mahasiswa Prof. Aksin. Saya bahkan belum pernah sowan dan musafahah dengan beliau. Tapi, saya pernah membaca beberapa “anak rohani” (buku) beliau, dan satu kali mengikuti bedah buku Menusantarakan Islam di Kafe Basabasi milik Bos Edi. Waktu itu, saya duduk di belakang sambil mendengarkan pemaparan Prof. Aksin yang sistematis, logis, dan argumentatif, namun tetap dikemas dengan guyonan khas santri.

Penampilan beliau, menurut saya, sangat khas Islam Nusantara. Kala itu beliau mengenakan kemeja batik, sarung, dan blangkon. “Profesor yang nyentrik,” gumam hati saya kala itu. Jujur, saya menikmati buku-buku beliau dengan topik “nalar-nalaran” itu, seperti Menalar Islam, Membela Tuhan ke Membela ManusiaNalar Kritis Epistemologi Islam, dan Satu Islam, Ragam Epistemologi. Buku Prof. Aksin inilah yang membuat “darah muda” saya berapi-api, yang kemudian menghantarkan saya membaca pelbagai wacana Islam Indonesia, setelah melumat Islam Borjuis dan Islam Proletar-nya Kiai Nur Khalik Ridwan.

Maka tak ayal, jika Prof. Mas’ud Said, dalam pengantar buku Kontestasi Merebut Kebenaran Islam di Indonesia, mengapresiasi kerja-kerja intelektual yang dilakukan Prof. Aksin sebagai sebuah “permainan peran dalam politik tanpa panggung”. Gagasan-gagasan Prof. Aksin, sejauh pembacaan saya, tetap kritis dan ciamik. Meski gelar Profesor melekat di depan nama Aksin Wijaya, tapi hal itu tidak lantas membuat nalar kritis seorang cendekiawan nyentrik asal Serambi Madinah itu terkungkung oleh rezim akademik pendidikan tinggi. Wallahu a’lam.

oleh: Dendy Wahyu Anugrah

Identitas Buku:

Judul: Dari Simbol ke Substansi; Dinamika Panjang Pergulatan Pemikiran dan Realitas Islam di Indonesia
Penulis: Aksin Wijaya
Penerbit: IRCiSoD
Tahun terbit: 2025
Tebal: 234
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak