Karena itu, tulisan ini bertujuan untuk melakukan eksplorasi dinamika seni yang di sensor, dengan beberapa prespektif tokoh seperti Roland Barthes, Charles Baudelaire, dan estetika politik Nazi. Sebab perlu kiranya kita melihat lebih jauh bagimana sensor dapat mengunci makna seni, serta bagaimana pengaruh konstitusi sosial, politik dan budaya atas proses tersebut yang melakukan pengendalian makna dan kebebasan berpendapat—problem yang terus-terus berlanjut, dari dulu hingga dalam situasi seni di Indonesia saat ini
Roland Barthes (1915-1980) dalam catatan karyanya yang berjudul “The Death of the Author” memberikan gagasan penting dalam melihat sebuah makna, yakni tentang matinya pengarang. Di mana, pengarang bukanlah pemegang otoritas makna dalam karyanya. Barthes menolak makna pada sebuah karya yang sifatnya tunggal, makna sebuah seni itu seharusnya dipahami melalui pembacaan oleh pembaca, yang menghasilkan berbagai kemungkinan tafsir. Dari pandangan ini, makna bukanlah sesuatu yang terletak pada pengarang, tetapi milik publik. Setiap pembacaan publik, akan mengahasilkan interpretasi yang unik, tergantung latar belakang atau pengalaman dari prespektif individu. Dengan demikian, karya tidaklah mempunyai satu makna “benar” yang ditentukan oleh para pengarang, melainkan beragam makna yang luas untuk diperdebatkan.
Pandangan tersebut adalah alat untuk mendobrak otoritas pengarang dan menjadikan penonton atau pembaca sebagai subjek aktif terhadap pembentukan makna. Namun, pandangan ini bertabrakan dengan konsep sensor yang kerap dipegang oleh otoritas tertentu. Sensor dijadikan sebagai alat pembatasan interpretasi publik, dan hanya mengizinkan makna-makna tunggal yang menurut kurator sesuai dan benar.
Sensor ini, secara kasar, tidak hanya membungkam namun juga membatasi ruang interpretasi, dan meniadakan keberagaman yang seharusnya menjadi bagian pokok karakteristik esensialnya seni. Sensor di sini menciptakan kekuatan yang mengekang makna, memaksa penonton dan pembaca untuk menerima satu tafsir yang resmi dan melarang masyarakat luas melakukan pembacaan yang berpotensi subversif. Dengan demikian sensor bukan hanya mematikan makna, tetapi juga menghentikan kemungkinan tafsir yang produktif dan dialogis.
Bagi Charles Baudelaire (1844-1866), seni tidak bisa dipisahkan dari ketidaksederhanaan dan ketidaktegasan. Dalam esainya “L’Art Romantique”, dia menggambarkan seni adalah ruang ekspresi atas kompleksitas, ambiguitas, dan ketikdakseimbangan. dia menegaskan bahwa seni modern adalah tentang mengeksplorasi batas-batas seperti harmoni dan disharmoni, keindahan dan kekasaran, serta order dan disorder. Seni harus dapat mengeksplorasi kontas-kontras ini dan mencari kedalaman yang seringkali tak dapat kita lihat di permukaan kehiduapan sehari-hari. seni bukan sekedar objek estetis yang indah untuk dilihat atau dikagumi, tetapi harus dapat memiliki kekuatan untuk penggugah perasaan dan pemikiran yang lebih dalam.
Dalam konteks sensor, ambiguitas dan kompleksitas ini sereng kali menjadi ancaman bagi kekuasaan—berfungsi untuk menegaskan narasi tunggal yang harus dipatuhi dan wajib diikuti oleh karya seni, yang menghilangkan elemen ketidaksederhanaan dan menghilangkan makna yang dianggap sebagai ancaman. Sensor mengubah arah estetika yang sangat kaya akan ambiguitas, menjadi estetika yang terpolarisasi, terstruktur, dan steril. Dan itu sudah jelas melemahkan daya kritis sosial. Adanya tekanan seperti itu, seni sudah kehilangan potensi perlawanan dan kritik terhadap kekuasaan. Dalam hal ini, penjegalan terhadap seni yang disederhanakan dan dikontrol adalah bentuk untuk mematuhi narasi dominan. Disisi lain, Baudelaire melihat seni, yang ditekan justru menghasilkan bentuk-bentuk seni yang menantang dan subversive—pun nantinya para seniman yang terintervensi akan terus hidup menghadirkan estetika yang lebih berani dan kritis, walaupun harus melawan pembatasan yang dipaksakan.
Estetika politik Nazi merupakan contoh ekstrim dari bagaimana pembatasan terhadap seniman yang berfungsi untuk mendikte makna dalam seni. Rezim Nazi, seni dipandang bukan hanya sebagai bentuk ekspresi artistik, tetapi juga alat untuk menyebarkan ideologi dan propaganda. Seni bagi rezim Nazi, harus melayani semua kepentingan negara dan identitas rasial yang mereka idam-idamkan. Dan jelas Ketika melihat sejarah politik Nazi, mereka hanya mengizinkan seni yang searah dengan kemurnian ras, identitas nasional, dan konsep arya yang dominan.
Joseph Goebbles, menteri propaganda Nazi (1933-1954). Menganggap seni sebagai tarian penghibur (melayani) kepentingan negara. Dalam hal ini, sensor digunakan untuk membungkam ekspresi yang bertentangan, dan hanya seni tertentu—yang hanya diizinkan. Seni modern, avant-garde, atau seni yang tidak sesuai dengan narasi ini, langsung dilarang dan ditekan.
Lahirnya proses kategorisasi makna juga dapat ditinjau dari analisa relasi kuasa Michel Foucault tentang kekuasaan dan diskursus. Terjadinya pembatalan pameran karya Yos Suprapto pada minggu ketiga bulan Desember kemaren adalah bentuk pembutaan norma—kekuasaan membentuk cara kita memahami realitas dan menegaskan apa yang menurut bagi mereka benar serta apa yang dianggap salah. Sensor yang dipertimbangkan oleh sang kurator, garis besarnya adalah menghentikan suara-suara yang dianggap subversif. Jean-Francois Lyotard, dalam posmoderinesme, menentang dengan keras terhadap narasi besar yang mengklaim makna tunggal. Menurut Lyotard, narasi semacam ini berfungsi untuk meneguhkan kekuasaan dan membungkam pluralitas.
Diberlakukannya sensor terhadap seni oleh otoritas tertentu, menciptakan kemandulan kebebasan interpretasi audiens untuk menafsirkan seni menjadi terbatas, dan kebergaaman makna yang dihasilkan pembacaan publik pun dihilangkan. Sensor juga memanfaatkan “otoritas pengarang” secara terbalik, dengan artian menganggap pengarang bertanggung jawab penuh atas dampak interpretasi publik terhadap karya mereka. Sebagai contoh, jika sebuah karya dianggap subversive atau melawan norma, pengarang sering kali menajdi sasaran penindakan, meskipun tafsir tersebut sebenarnya lahir dari audiens, bukan dari niat pengarang itu sendiri.
Jelas sudah bahwa sensor adalah alat yang memperkuat narasi dominan dan memadamkan pembacaan yang beragam. Ketika sensor berusaha menyederhanakan atau menghilangkan elemen-elemen yang menantang, seperti ketegangan antara harmoni dan disharmoni, maka seni telah kehilangan kekuatannya untuk menggugah kritikan terhadap keadaan sosial yang ada—oleh karena itu, Baudilaire dalam karyanya yang berjudul "Les Fleurs du mal" (Bunga-Bunga Kejahatan) menemukan bahwa seni yang ditekan dan dibatasi oleh otoritas tertentu baik itu dengan menggunakan “sensor”, justru akan melahirkan bentuk-bentuk seni yang lebih elegan, di sana keindahan hadir dan bahkan lebih subversif para seniman dalam mengekspresikan karyanya.
Sebagai kesimpulan, penulisan ini bukan hanya tentang pembatasan makna, tetapi juga tentang pengendalian narasi dan pengaruh kekuasaan terhadap ekspresi artistik. Seperti yang telah dibahas melalui pemikiran Rolan Barthes, Charles Pierre Baudilaire, dan contoh ekstrim dari estetika politik Nazi, sensor berperan untuk mengahalangi-halangi, bukan cuman menghalangi tetapi menghentikan bentuk-bentuk seni yang dianggap subversif atau bertentangan dengan kekuasaan dominan.
Namun dalam konteks Indonesia saat ini, apakah seni yang disensor benar-benar kehilangan makna, atau justru bisa berkembang menjadi lebih subversif di luar control kekuasan? Apakah pameran seni yang dibatalkan, seperti kasus Yos Suprapto, menunjukan bahwa makna seni sudah terkekang dan kehilangan potensi kritisnya? Dan bagaimana kita, sebagai masyarakat, dapat melawan pembungkaman terhadap seni tanpa kehilangan makna yang seharusnya dapat menggugah kesadaran sosial? Terus sejauh mana sensor terhadap karya seni dibutuhkan untuk menjaga norma sosial, dan di titik mana kebebasan berpendapat seharusnya dipertahankan dalam ranah seni?
Akhirnya, munkin ada kalanya kita harus bertanya lebih dalam lagi, sejauh mana seni memiliki kekuatan untuk mengubah sosial, dalam menghadapi tantangan dan kontrol dari kekuasaan? Apa seni masih bisa bertahan sebagai agen perubahan atau malah justru menjadi alat untuk memperkuat dominasi yang ada?
Yogyakarta 2024
Oleh: MH. D. Hermanto
Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijga dan Bergiat di Gasebu Pembebasan
Posting Komentar