BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Leviathan Berkebaya: Wajah Kekuasaan Modern dalam Demokrasi Indonesia

Menelusuri Transformasi Negara sebagai Otoritas Pengendali dalam Balutan Demokrasi dan Budaya Nusantara

Penalaut.com - Di negeri kepulauan yang hangat oleh matahari dan penuh syair ombak, kekuasaan tidak lagi datang dengan raungan pedang atau derap sepatu lars. Ia datang halus, berbalut batik tulis, kadang menyapa dalam forum-forum rakyat, kadang menyisip dalam jargon demokrasi dan pembangunan. Tapi di balik senyumnya yang ramah, ia mengamati. Di balik seremonial yang penuh bunga, ia mencatat. Dan dalam diamnya yang panjang, ia menunggu saat untuk menundukkan.

Inilah Leviathan yang berkebaya. Bukan lagi monster laut mitologis seperti dalam kitab Ayub, bukan pula sosok besi raksasa sebagaimana dilukis Thomas Hobbes dalam karyanya yang legendaris. Leviathan di negeri ini tampil anggun, berbahasa halus, bahkan menyelipkan kata “rakyat” dalam setiap keputusan yang menusuk. Namun jangan terkecoh. Giginya tetap tajam, cengkeramannya masih kuat, dan ia tak segan memangsa jika yang dilawan dianggap mengganggu ketertiban.

Hobbes pernah berkata bahwa dalam keadaan alami, manusia hidup dalam ketakutan terus-menerus dan “perang semua melawan semua.” Maka, untuk keluar dari kekacauan itu, manusia menyerahkan kebebasannya pada satu entitas negara berdaulat, sang Leviathan, demi keamanan dan ketertiban. Namun dalam demokrasi modern, terutama yang tumbuh di tanah dengan sejarah panjang otoritas kolonial dan birokrasi militer, Leviathan tak sekadar menjaga. Ia mulai membentuk, membatasi, dan dalam banyak kasus, membungkam.

Represifitas Sebagai Ciri

Coba dengar suara-suara mahasiswa yang dulu bergemuruh di jalan kini dibatasi pagar kawat dan UU. Aktivis diseret ke pengadilan karena unggahan di media sosial. Jurnalis diserang bukan hanya dengan senjata, tapi juga dengan pasal. Dan rakyat kecil yang ingin bersuara tentang tanahnya sendiri harus berhadapan dengan surat izin, aparat bersenjata, dan tumpukan regulasi yang seperti labirin tak semua bisa keluar.

Leviathan kita tidak datang dari laut, ia tumbuh dari kekuasaan yang mengakar. Ia bersarang dalam pasal-pasal multitafsir, dalam birokrasi yang gemuk, dalam koalisi yang terlalu besar hingga tak ada lagi oposisi sejati. Ia tak terlihat, tapi ada dalam ketakutan diam yang merayap dalam hati banyak warga. Ketakutan untuk berbeda pendapat, untuk menolak, untuk bertanya.

Namun ia tak selalu menyeramkan. Dalam banyak kesempatan, Leviathan tampil sebagai penyelamat, mulai mengatur saat pandemi, menyalurkan bantuan, membangun jalan, menghadirkan program. Ia bicara soal keadilan sosial, transformasi digital, dan kesejahteraan bersama. Tapi dalam pelukan yang erat itu, rakyat juga dikekang, “Kami tahu yang terbaik untuk kalian,” katanya. Seolah suara rakyat hanyalah gema yang dibentuk oleh mikrofon negara.

Leviathan Indonesia bukan hanya represif, ia juga pintar dan fleksibel. Ia tahu kapan harus bersuara dan kapan harus diam. Ia bisa menari dalam kampanye, menyanyikan lagu kebangsaan dengan khidmat, lalu menyusun peraturan yang diam-diam meminggirkan suara-suara pinggiran. Ia menyebut dirinya pelayan, tapi tangannya menggenggam kendali atas hajat hidup rakyat.

Benarkah Seperti Ini Demokrasi

Banyak yang bertanya: bukankah ini demokrasi? Bukankah kita memilih para pemimpin? Ya, rakyat memang memilih, tapi pilihan itu seringkali dibentuk oleh citra, oleh propaganda yang membanjir dari layar kaca, oleh janji yang tak ditagih. Rakyat memilih, tapi informasi yang mereka terima telah dibingkai sedemikian rupa oleh mesin kuasa yang mengontrol narasi. Dalam demokrasi formal seperti ini, Leviathan tak perlu memaksa, cukup menggiring.

Namun, tidak semua menyerah. Masih ada mereka yang berbisik di ruang-ruang diskusi kampus, yang menulis puisi tentang tanah yang dirampas, yang menggambar mural meski malam. Masih ada suara dari desa yang menolak tambang, suara dari ibu kota yang menolak lupa. Dan setiap suara itu, meski kecil, adalah retak-retak di tubuh Leviathan.

Leviathan berkebaya ini juga bukan tak rapuh. Ia bergantung pada persepsi legitimasi. Jika rakyat berhenti percaya, jika anak-anak muda mulai bertanya, jika kata-kata mulai dirangkai dalam bentuk protes kreatif, maka Leviathan akan terguncang. Karena yang paling ditakuti kekuasaan bukanlah senjata, tapi kesadaran kolektif bahwa ia bisa ditantang.

Namun pertanyaannya, apakah rakyat siap menghadapi kekosongan setelah Leviathan? Apakah kita siap hidup dalam ketidakteraturan demi kebebasan penuh? Atau justru kita telah terbiasa hidup dalam bayang-bayang Leviathan, karena setidaknya ia memberi rasa aman?

Hobbes pernah mengingatkan “tanpa kekuasaan yang disepakati, manusia akan kembali pada kekacauan”. Tapi di Indonesia hari ini, kita menghadapi dilema yang lebih kompleks: bagaimana menjaga negara tetap kuat tanpa menindas, bagaimana memberi ruang pada kebebasan tanpa mengorbankan ketertiban.

Leviathan tidak harus dibunuh. Mungkin ia hanya perlu dikekang, diawasi, dan diajak berdialog. Ia bukan musuh, tapi juga bukan dewa. Ia perlu diingatkan bahwa kekuatan sejatinya berasal dari mereka yang dulu bersedia menyerahkan sebagian kebebasannya rakyat. Dan jika kekuasaan itu disalahgunakan, maka rakyat juga berhak menariknya kembali.

Akhir Kata: Leviathan Indonesia

Di tengah wajah Leviathan yang makin lihai menyaru, barangkali yang kita butuhkan bukan senjata, tapi kesadaran kritis yang menyebar. Dari kelas-kelas diskusi, dari lagu-lagu jalanan, dari layar kecil yang masih bisa memancarkan pikiran bebas. Leviathan boleh berkebaya, berbicara tentang demokrasi dan tradisi, tapi kita tahu, di balik semua itu, ia tetaplah makhluk kuasa yang harus kita awasi.

Karena jika tidak, kita hanya akan menjadi rakyat yang diam dalam tatanan yang rapi, tapi tanpa jiwa. Dan tak ada yang lebih menyedihkan dari rakyat yang hidup tanpa keberanian untuk bertanya, siapa yang sebenarnya memegang kendali?


Oleh: Dwi Kurniadi
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak