BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Akademisi Borjuis: Membaca Opini “Pajak” Emi Hidayati

Penalaut.com
- Pemimpin dan masa. Dua kata ini seolah tidak bisa dipisahkan. Setiap pemimpin, akan ada masanya. Demikian pula tiap-tiap masa, niscaya akan ada pemimpinnya. Tetapi, di dalam masa kepemimpinan, sudah bisa dipastikan ada masalah yang akan mengundang protes masyarakat. Biasanya, letupan protes itu disebabkan oleh rencana atau kebijakan pemimpin yang dianggap tidak memihak rakyat akar rumput. Sebagaimana yang terjadi di Pati, Jawa Tengah, mengenai rencana menaikkan PBB-P2 (Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan) hingga 250 persen.

Kebijakan Pemkab Pati tersebut, melansir Tempo.co, menuai kritik dari berbagai pihak, karena dianggap amat membebani masyarakat, terutama kalangan petani, buruh, dan pelaku usaha kecil. Kemudian kabar kenaikan pajak ini menyebar di media sosial, dan tentu saja banyak netizen yang memberikan kritik dan “nyinyir” kepada Pemda Pati, khususnya Bupati Pati Sudewo. Isu tentang PBB-P2 ini menyeruak, setidaknya, setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memberi rekomendasi Rancangan Peraturan Daerah (Perda) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) tahun 2025.

Ternyata, isu tentang Raperda PDRD itu juga menjadi “grundelan” masyarakat Banyuwangi. Bahkan, seperti warga Pati, di Kota Gandrung ini sebagian masyarakat juga mendirikan “posko rakyat” di depan Kantor Bupati Banyuwangi. Pendirian “Posko Rakyat Forum Banyuwangi Bergerak” itu dilakukan, setelah DPRD Banyuwangi mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perubahan Perda No. 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Para wakil rakyat mengesahkan Raperda tersebut pada 6 Agustus 2025 (RaBa-JP, 2025).

Gonjang-ganjing soal pajak itu, kemudian direspon oleh salah seorang akademisi-aktivis perempuan asal Banyuwangi, Dr. Emi Hidayati, S.Pd, M.Si. Beliau menanggapi persoalan pajak tersebut melalui tulisan: “Pajak, Pembangunan, dan Kepercayaan Publik” (Suara Indonesia, 10 Agustus 2025). Setelah menerima ulasan dosen Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi (UNIIB) ini, saya kemudian tertarik untuk membacanya. Maksud saya dari “membaca” opini Bu Emi (sapaan akrab) tersebut, meliputi dua hal: (1) membaca wacana yang disampaikan Bu Emi dalam tulisan itu; (2) melihat signifikansi tanggapan beliau mengenai persoalan kenaikan pajak.

Namun, sebelum kita melakukan pembacaan tersebut, saya kira kita perlu sedikit memahami pengertian “pajak” dan konteks masalah yang ditanggapi mantan anggota dewan itu.

Pajak yang Melonjak: Memahami Konteks Masalah

Kalau kita merujuk UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (diubah selama empat kali), pajak adalah “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Pasal 1). Sedangkan UUD NRI 1945 menyebut tentang pajak ini dalam Pasal 23A: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.

Pajak itu bersifat wajib. Tidak boleh tidak membayar. Sumber pendapatan negara kita cukup banyak, oleh sebab itu sistem perpajakan dalam proses “pembangunan” sangat diperlukan. Hal ini senada dengan pengertian pajak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): “Pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya”. Dengan demikian, sebenarnya pajak itu “dari rakyat dan untuk rakyat”. Sebab, sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang di atas, pajak digunakan untuk keperluan pembangunan dan tentu demi kemakmuran rakyat Indonesia.

Definisi pajak menurut para ahli sangat variatif. Namun, kalau kita menelaah pendapat-pendapat mereka, ada kesamaan umum yang tidak jauh berbeda dengan pengertian yang tertulis di dalam Undang-Undang. Mengenai fungsi, ciri, dan jenis-jenis pajak bisa ditelusuri sendiri dalam buku-buku, atau laman Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini: pajak.go.id.

Kemudian, mengapa isu “pajak-pajakan” ini belakangan mencuat dan menggegerkan masyarakat Banyuwangi? Seperti yang sudah disinggung di muka, bahwa masalah itu disebabkan oleh pengesahan Raperda tentang Perubahan Perda No. 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) pada 6 Agustus lalu yang ditandatangani Bupati Banyuwangi (Ipuk Fiestiandani) bersama Wakil Ketua DPRD Banyuwangi (Michael Edy Hariyanto).

Perubahan Perda itu dilakukan dalam rangka menyesuaikan dengan ketentuan: pertama, UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; kedua, Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Menurut Jubir Gabungan Komisi II dan III, Emy Wahyuni Dwi Lestari, pembahasan Raperda itu secara garis besar mencakup empat belas poin penting. Poin-poin tersebut berkaitan dengan jenis pajak yang dipungut daerah, tarif pajak, pengaturan objek dan pengecualian pajak (RaBa-JP, 2025).

Gambar:
Sederet nama anggota DPRD Banyuwangi Komisi II dan III dalam Rapat Paripurna (Sumber: Istimewa)

Salah satu perubahan Perda yang disepakati dalam rapat paripurna itu, adalah tarif PBB-P2 ditetapkan single tarif sebesar 0,3% (sesuai rekomendasi Kemendagri). Perlu diketahui, dalam Perda sebelumnya (No. 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah), besar tarif PBB-P2 bersifat multi tarif (Pasal 9): 0,1% untuk Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sampai Rp. 1.000.000.000 per tahun; 0,2% untuk NJOP di atas Rp. 1.000.000.000 s.d Rp. 5.000.000.000; dan 0,3% untuk NJOP di atas Rp. 5.000.000.000.

Karena kabar ini ramai diperbincangkan publik, dan hingga mendorong warga Banyuwangi mendirikan “posko rakyat” di depan Kantor Bupati Banyuwangi, maka Pemkab Banyuwangi merasa perlu membuat penyataan melalui media-media massa. Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Banyuwangi, Samsudin, menyatakan bahwa “PBB-P2 tidak mengalami kenaikan”. Pernyataan Pak Samsudin ini bisa ditelusuri dalam berbagai media online, seperti Radar Banyuwangi, Times Indonesia, atau laman Banyuwangikab.go.id. Bahkan, pernyataan serupa juga bisa kita temukan dari berbagai pihak, sebut saja misalnya: Sekda Banyuwangi, Ketua Gabungan Komisi II dan III, Ketua Komisi II DPRD Banyuwangi, dan sebagainya.

Namun, sebelum kita beralih ke pembahasan selanjutnya, saya akan sedikit menunjukkan “anomali” dari penyataan Kepala Bapenda itu yang diambil dari dua media: Radar Banyuwangi dan Banyuwangikab.go.id. Karena, setelah membaca berita yang disampaikan kedua media itu, saya menemukan kejanggalan yang mengernyitkan dahi.

Jika kita membaca uraian Kepala Bapenda dalam Banyuwangi.go.id (BeritaBwi), setelah menjelaskan rekomensasi Kemendagri itu bersifat nasional ke seluruh pemerintah daerah (yang masih menggunakan multi tarif), ia menyinggung “perintah” Bupati Banyuwangi untuk tetap menggunakan perhitungan multi tarif sebagaimana aturan sebelumnya. Hal ini, sesuai pernyataan Samsudin, akan dituangkan dalam Perbup nanti.

“Ini tidak menyalahi aturan. Kemendagri juga memberikan kewenangan pada kepala daerah untuk menentukan tarif PBB-P2 lebih rinci dalam peraturan bupati. Klasterisasi akan tetap kita gunakan seperti sebelumnya,” kata Kepala Bapenda.

Namun, kita akan melihat pernyataan yang berbeda, ketika membaca berita dari Radar Banyuwangi. Menurut Samsudin, sebagai “corong” kekuasaan, sebenarnya Pemda ingin menerapkan pajak multi tarif, hanya saja kebijakan Kemendagri “harus” menerapkan single tarif 0,3 persen. Kemudian, ia menjelaskan, dalam Perda PDRD itu, Pemda dan DPRD Banyuwangi akan mengikuti hasil evaluasi dan arahan dari Kemendagri, yaitu menerapkan single tarif sebesar 0,3% dari NJOP. Kendati demikian, lanjut Samsudin, pihak Pemda akan menentukan tarif PBB-P2 sesuai kemampuan ekonomi masyarakat.

“Nanti detail penghitungan tarif PBB P2 akan diatur dalam Perbup karena bupati diberikan kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan terkait besaran tarif PBB,” ujar Samsudin.

Dari ulasan ringkas di atas, tampak jelas ketidakjelasan Kepala Bapenda Banyuwangi mengenai kebijakan Pemda. Dalam laman resmi Pemda Banyuwangi, ia menyatakan “Bupati Ipuk Fiestiandani telah memerintahkan untuk tetap menggunakan perhitungan multi tarif dalam Perbup nanti, seperti sebelumnya”. Tapi, di tempat lain, dia mengatakan bahwa “Pemda akan menerapkan single tarif, sesuai rekomendasi Kemendagri”—meski akan tetap mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat, dan aturan-aturan tertentu.

Bukankah dua pernyataan Kepala Bapenda tersebut nampak jelas berbeda? Lha, kalau Bupati Banyuwangi telah memerintahkan “tetap multi tarif” (dan kebijakan Bupati ini, menurut Samsudin, tidak menyalahi aturan), mengapa di tempat lain dia mengatakan “mengikuti rekomendasi Kemendagri” (menerapkan single tarif 0,3%)? Dari analisis enteng-entengan seperti ini saja, Pemda melalui Kepala Bapenda sudah “blunder” dan menunjukkan “anomali” yang tentu mendatangkan kecurigaan.

Pajak dan Pembangunan: Membaca Opini Emi Hidayati

Di bagian sebelumnya, saya telah menguraikan konteks masalah ihwal kenaikan pajak, khususnya PBB-P2, di Banyuwangi yang kemudian ditolak oleh sebagian pihak. Selain itu, kita juga melihat ada “anomali” yang keluar dari “corong” Pemda tadi, Kepala Bapenda. Setelah itu, di bagian ini, saya akan membaca opini Bu Emi mengenai persoalan di atas yang dimuat dalam Suara Indonesia (10 Agustus 2025).

Ketika menerima opini Bu Emi ini, saya menempatkan posisi sebagai anak muda yang sama sekali tidak tahu-menahu soal “pajak-pajakan”. Sehingga, dari posisi semacam itulah, saya (sebelumnya) menaruh “harapan” yang lebih dari sekedar ulasan deskriptif semata. Namun, ternyata saya tidak menemukan analisis kritis terhadap “ketegangan” antara masyarakat dan kekuasaan yang dilakukan Bu Emi.

Meski demikian, ada beberapa tanggapan (komentar) beliau yang dapat digaris bawahi: pajak dan pembangunan serta komunikasi pemerintah dan kepercayaan publik. Kedua hal inilah yang bisa saya tangkap dari tulisan “deskriptif” aktivis perempuan itu.

Pertama, pajak dan pembangunan. Dalam opini tersebut, Bu Emi mengutip tulisan Timothy Besley dan Torsten Persson yang bertajuk “Taxation and Development” (Chapter 2 dalam Handbook of Public Economics Vol. 5, 2013). Tulisan Besley dan Persson ini digunakan Bu Emi untuk menjelaskan, dan “mendukung” pendapat beliau berkaitan dengan pajak dan pembangunan. Bu Emi menulis sebagai berikut:

“Dalam Taxation and Development menjelaskan bahwa kekuatan suatu negara untuk memungut pajak mencerminkan kapasitas fiskal (fiscal capacity), yaitu kemampuan negara untuk mengelola, menegakkan, dan memanfaatkan sumber daya demi kepentingan publik melalui reformasi pajak, investasi pada administrasi, dan penguatan kelembagaan”.

Selain itu, kepatuhan pajak dan persepsi masyarakat sangat berkaitan dengan kualitas belanja pemerintah. Dalam pandangan Bu Emi (dengan bersandar pada Besley dan Parsson), “jika pajak kembali dalam bentuk jalan yang mulus, layanan yang memadai, pendidikan terjangkau, dan rasa aman, maka resistensi akan berkurang. Akan tetapi, jika pelayanan publik buruk atau tidak transparan, kenaikan pajak akan mudah memicu kemarahan”.

Dari uraian beliau, kita dapat melihat bagaimana pajak itu digunakan untuk pembangunan daerah, dan untuk kepentingan masyarakat. Ini sudut pandang normatif. Artinya, secara ideal, pajak harus ditujukan untuk kepentingan rakyat. Hanya saja, secara faktual, “pembangunan” yang didambakan itu kurang memuaskan, dan bahkan cenderung kurang menguntungkan wong cilik.

Tentu, ketidaksesuaian orientasi dan fakta di lapangan tersebut akan menimbulkan masalah. Sebab, bagaimana mungkin kita bisa menerima, kalau PBB-P2 dinaikkan oleh pemerintah di satu sisi, dan di sisi yang lain, selama ini pembangunan daerah masih belum maksimal. Bukankah kebijakan kenaikan pajak itu justru menindas rakyat kecil?

Kedua, komunikasi dan kepercayaan publik. Selain soal pajak dan pembangunan, Bu Emi juga menyoroti “komunikasi” pemerintah kepada publik. Beliau berangkat dari fenomena beberapa pejabat setingkat Sekda, misalnya, membuat narasi yang cenderung mengaburkan fakta. Narasi itu seperti: “kenaikan tarif pajak belum benar-benar disahkan” dan “tidak ada kenaikan pajak”. Bu Emi kemudian menyajikan fakta (dokumen resmi) DPRD Banyuwangi yang menurut beliau jelas memuat perubahan tarif PBB-P2 dari 0,1% menjadi 0,3%.

Dalam hal ini, beliau menghadirkan pernyataan Pj. Sekda Banyuwangi, Guntur Priambodo. Menurut Bu Emi, ada perbedaan mencolok dari dokumen resmi dan narasi yang disampaikan Sekda tersebut. Ia menggarisbawahi beberapa ketidakjelasan pernyataan Sekda. Misalnya, “penerapan single tarif 0,3% hanyalah penyesuaian terhadap evaluasi Kemendagri”, “isu kenaikan PBB-P2 200% untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak benar”, dan “Bupati tetap memiliki kewenangan menentukan tarif pajak dalam Perbup”.

Menurut Bu Emi, pernyataan di atas tidak sesuai dengan dokumen resmi Raperda yang disepakati oleh DPRD Banyuwangi. Dalam perubahan single tarif 0,3%, misalnya. Ia menyatakan, bahwa perubahan tarif itu berarti seluruh objek pajak dikenakan tarif tertinggi—secara matematis setara kenaikan 200%. Kemudian, secara legal formal, menurut Bu Emi, perubahan skema tarif itu sudah menaikkan beban pajak potensial. Meskipun eksekutif berdalih “Bupati dapat memberi insentif atau pengurangan tarif”.

Oleh karena itulah, dalam pandangan Bu Emi, ketidakselarasan (komunikasi) antara pernyataan dan dokumen resmi akan menimbulkan kebingungan, dan bahkan memicu ketidakpercayaan masyarakat. Secara tegas, ia memetik “pelajaran” dalam persoalan “ketidakselarasan” tersebut sebagai berikut:

“Situasi ini menjadi pelajaran penting bahwa perubahan kebijakan pajak, apalagi yang berdampak langsung pada beban ekonomi masyarakat, membutuhkan keterbukaan informasi, konsistensi sikap, dan komunikasi publik yang jelas dari semua pihak yang terlibat baik legislatif maupun eksekutif. Tanpa itu, setiap kebijakan berpotensi kehilangan legitimasi di mata publik meskipun secara prosedural sudah disahkan”.

Akademisi-Aktivis Borjuis: Membaca Teks yang “Tak Menyembul”

Kita telah memahami wacana yang disampaikan dalam opini “Pajak, Pembangunan, dan Kepercayaan Publik” (Suara Indonesia, 2025). Namun, di tengah saya menulis tulisan ini, ternyata opini beliau juga dimuat dalam Grafika News dengan tajuk: “Kontrak Fiskal, Pajak, dan Legitimasi Publik” (11 Agustus 2025). Tulisan belakangan ini tidak jauh berbeda dengan sumber yang saya baca di atas. Hanya saja, Bu Emi barangkali merasa perlu “menambah” rujukan teoritis sebagai argumentasi tulisannya. Misalnya, ia mengutip artikel Marx Bovens (European Law Journal, 2007); Mick Moore (2004); Erich Kirchler (Cambridge University Press, 2007); dan buku Christopher Hood & David Heald (ed.), Transparency: The Key to Better Governance? (OUP/Brotish Academy, 2006).

Memang, setelah opini itu “dipermak” oleh Bu Emi dengan memberi beberapa teori dan artikel ilmiah, tulisan itu terkesan khas dari akademisi. Saya kira itu persoalan lain, dan menambah teori atau tidak, toh opini tersebut tetap memuat dua hal di atas. Dengan kata lain, fokus utama opini Bu Emi itu sebenarnya bukan pada kenaikan tarif PBB-P2 (0,3%), melainkan lebih kepada: “keterbukaan informasi, konsistensi sikap, komunikasi publik yang jelas, dan kepercayaan publik” (lihat dalam Suara Indonesia dan Grafika News).

Padahal, saya berharap, Bu Emi menganalisis secara kritis pengesahan Raperda dan kebijakan kenaikan tarif PBB-P2 itu. Sehingga, publik dapat memahami “ketimpangan” atau dampak negatif dari hal tersebut secara komprehensif. Karena tulisan Bu Emi lebih condong menanggapi inkonsistensi pernyataan pemerintah, khususnya Sekda, dengan dokumen resmi, maka pokok persoalan “pajak-pajakan” ini kurang disentuh.

Dalam bagian ini, saya hanya akan melihat signifikansi dari opini akademisi-aktivis “senior” itu. Pada konteks inilah saya menyebutnya “teks yang tidak menyembul”, atau “teks yang tidak terkatakan” dalam opini Bu Emi. Secara sederhana, perspektif dasar pembacaan ini: opini tersebut tidak dapat dilepaskan dari “penulis”-nya dan niscaya ia (akan) berpengaruh, disadari atau tidak. Bu Emi, sebagai penulis opini, tentu memiliki “kepentingan” (saya tidak mengatakan kepentingan tersebut “positif” atau pun “negatif”). Dan, berkat tulisan beliau disebar, sudah pasti akan memiliki pengaruh.

Namun, “kepentingan” dan “signifikansi” opini beliau perlu kita bedah melalui teks yang ia tulis. Hal ini senada dengan perspektif Ali Harb. Dalam Kritik Kebenaran (LKiS, 1995), Harb menyebut pembacaan yang layak adalah “menyatakan apa yang tidak dikatakan oleh perkataan, yang tidak hendak dikatakan, atau menolak untuk dikatakan” (hlm. 28). Maka dari itu, pembacaan semacam ini lebih berorientasi kepada “apa yang belum dibaca” sang pengarang. Selain itu, Harb juga menambahkan, bahwa teks merupakan arena kosong dan lapangan terbuka (hlm. 31). Dengan demikian, siapa pun memiliki kesempatan untuk “membaca” setiap wacana yang hadir, termasuk dalam hal ini tulisan seseorang.

Jika melihat opini Bu Emi, kita akan menerima dua hidangan utama: pertama, pajak dan pembangunan; kedua, ketidakjelasan informasi dari pemerintah (Sekda) yang dapat mempengaruhi kepercayaan (legitimasi) publik. Meski, memang, ia memberikan argumentasi terhadap resistensi masyarakat yang menganggap bahwa kenaikan pajak sangat memberatkan (Grafika News, 11 Agustus 2025). Lantas, apa signifikansi (significance) dari tulisan Bu Emi itu dalam konteks masalah yang terjadi di Banyuwangi?

Pertama, belum mengungkap dampak yang akan dialami masyarakat, ketika single tarif PBB-P2 (0,3%) benar-benar diterapkan. Seperti yang termaktub dalam bagian akhir opini beliau, sasaran utama opini Bu Emi itu cenderung memberi “saran” kepada eksekutif dan legislatif untuk lebih terbuka, konsisten, dan memperjelas komunikasi ke publik. Karena, menurut beliau, jika hal tersebut tidak dilakukan, maka akan berpotensi menurunkan kepercayaan publik.

Sehingga, dari opini tersebut, Bu Emi hendak menegaskan: pemerintah (eksekutif maupun legislatif) seyogianya transparan terhadap informasi, konsisten dalam bersikap, dan memperbaiki komunikasi yang dapat menimbulkan kesalahpahaman publik. Kendati begitu, Bu Emi juga membahas perihal kenaikan tarif PBB-P2 sebesar 0,3% itu. Hanya saja, kalau kita membaca secara cermat opini beliau, kita tidak akan menemukan analisis kritis tentang masalah yang saat ini sedang digugat sebagian masyarakat. Misalnya, Bu Emi tidak mempersoalkan keputusan anggota dewan (Komisi II dan III) setelah merubah Perda tersebut—selain karena rekomendasi Kemendagri.

Ia juga tidak menganalisis lebih jauh dampak-dampak yang akan dialami masyarakat, ketika single tarif (0,3%) diterapkan. Dalam konteks ini, Bu Emi hanya menyinggung perubahan skema tarif itu “sudah menaikkan beban pajak potensial”, kendati pemerintah sudah menampik dengan berbagai pernyataan. Mentok, beliau menulis demikian:

“Kenaikan tarif yang tajam, apalagi jika diiringi peningkatan NJOP, dapat memicu resistensi publik, khususnya di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, jika penilaian NJOP tidak dilakukan secara adil, kebijakan ini dapat menimbulkan persepsi ketidakadilan dan bahkan meningkatkan angka tunggakan pajak” (Suara Indonesia, 2025).

Kedua, membuat kekuasaan ber-“nafas lega”. Karena opini beliau belum menganalisis secara kritis “kepentingan” (politis, misalnya) di balik pengesahan Raperda itu, sudah barang tentu tulisan beliau tidak “menampar” DPRD dan Bupati Banyuwangi. Kedua entitas ini, kalau membaca opini Bu Emi, masih bisa menghela nafas lega. Sebab, tulisan itu tidak melayangkan kritik secara eksplisit dan tajam kepada mereka.

Bu Emi hanya sepintas lalu “menyentil” dalam beberapa ulasan. Misalnya, beliau menulis tentang sikap anggota legislatif terkesan “angkat tangan”, “tidak memberi penjelasan memadai”, dan “seolah-olah cuci tangan”. Kemudian, terhadap eksekutif, beliau menyinggung soal aspek “fleksibilitas implementasi” dalam pernyataan Guntur Priambodo (Sekda) yang dianggap tidak sepenuhnya menghapus fakta perubahan struktur tarif pajak itu.

Bisa dibayangkan, kalau anggota dewan dan orang-orang Pemda membaca opini Bu Emi tersebut, mereka tidak akan “kebakaran jenggot”. Sebab, sekali lagi, beliau tidak membongkar selubung kepentingan di balik pengesahan itu, dan tidak menggelontorkan konsekuensi logis dari kenaikan tarif pajak menjadi 0,3%.

Ketiga, tidak mewakili lapisan bawah masyarakat. Sebagai akademisi-akitivis, saya kira, beliau adalah satu dari sebagian kecil akademisi yang aktif “bersuara”. Setiap ada masalah, atau momen tertentu, beliau kerap menulis ulasan ringkas yang cukup memberi gambaran kepada khalayak. Namun, dalam konteks kenaikan pajak ini, apakah tulisan beliau bisa disebut sebagai representasi suara wong cilik?

Karena ketiadaan analisis kritis terhadap masalah “pajak-pajakan” ini, dengan begitu tulisan beliau terkesan “deskriptif” belaka. Jika toh dalam opini Bu Emi ada beberapa interpretasi, bisa dikatakan hal tersebut hanyalah “bumbu-bumbu” yang diselipkan beliau dalam mempercantik tulisan. Demikian juga dengan penghadiran teori dan perspektif ilmiah dalam opini tersebut.

Selain itu, argumen tentang “resistensi masyarakat” yang disajikan beliau, sependek pembacaan saya, masih “setengah hati”. Sebab, beliau tidak mengutarakan dukungan moril (secara eksplisit) terhadap aksi yang dilakukan sebagian masyarakat. Misalnya, yang saat ini tengah dilakukan, adalah pendirian “posko rakyat” di depan Kantor Bupati Banyuwangi dan pelbagai “cuitan” kritis sebagian rakyat di media sosial.

Kita juga agak kesulitan menentukan “posisi” Bu Emi dalam persoalan tersebut. Apakah beliau mendukung atau menolak, kita sulit memastikan. Karena, di bagian awal, beliau mengaitkan pajak dengan pembangunan daerah. Sehingga, secara implisit, beliau tampak “mendukung” kenaikan pajak dengan catatan pemerintah mampu mengelola dan mewujudkannnya melalui “pembangunan” daerah, seperti perbaikan jalan, pengadaan layanan kesehatan yang memadai, pendidikan yang terjangkau, dan memberi rasa aman kepada masyarakat.

Meskipun, Bu Emi berpendapat, kalau “penilaian NJOP tidak dilakukan secara adil, kebijakan ini dapat menimbulkan persepsi ketidakadilan dan bahkan meningkatkan angka tunggakan pajak”. Pernyataan semacam ini, memang khas mayoritas akademisi kiwari. Dengan peranti teoritis, mereka seolah sekedar memberikan “interpretasi” terhadap persoalan yang sedang terjadi, tanpa menentukan keberpihakan secara jelas. Ketidakjelasan “memihak siapa” inilah, yang kemudian membuat signifikansi tulisan Bu Emi akan berpotensi “menguntungkan” kekuasaan.

Ketiga hal di atas merupakan teks “yang tidak menyembul” dalam tulisan Bu Emi yang saya maksud. Alhasil, dari hal tersebut, kita dapat menengarai opini Bu Emi bersifat “borjuistik”. Dalam hal ini, saya meminjam dikotomi “borjuis” dan “pembebasan” ala Nur Khalik Ridwan dalam Agama Borjuis: Kritik atas Nalar Islam Murni (Ar-Ruzz, 2004).

Nur Khalik mengaitkan “borjuis-pembebasan” ini dalam konteks kesadaran individu atau kelompok. Artinya, tipologi “borjuis” dipahami sebagai kesadaran yang merefleksikan cara analisis dan kepentingan yang menguntungkan atau condong ke kepentingan kelompok mapan. Sementara “pembebasan” merujuk pada cara analisis dan kepentingan untuk membela kelompok miskin, pinggiran, dan mereka yang tertindas (hlm. 41-42).

Dalam konteks pembahasan kita, ialah kesadaran yang berkaitan dengan individu (Emi Hidayati). Selain ketiga teks yang “tak menyembul” di atas, kita juga dapat menilik “kedekatan” Bu Emi dengan kekuasaan, misalnya dengan Pemda Banyuwangi. Mafhum bagi kita, kalau aktivis kondang ini kerap diundang oleh Pemda dalam beberapa acara, seperti: forum rembug, ikut serta dalam pengambilan kebijakan (Sandy, 2017: 115), dan lain-lain. Bahkan, nama Bu Emi, menjelang Pilkada 2024 lalu, dianggap berpeluang menjadi salah satu kontestan dari kalangan perempuan (Marsudi, Suara Indonesia, 2024).

Dari hal tersebut, kita sulit menemukan model analisis kritis-dekonstruktif dalam tulisan-tulisan beliau, terutama tentang “pajak” itu. Dan, sebagaimana yang telah diulas, opini beliau itu lebih condong ke “borjuis” daripada “pembebasan”. Kendati beliau tidak bermaksud demikian, namun signifikansi opini tersebut sama sekali tidak “menonjok” kekuasaan (Pemda dan DPRD).

Mengapa begitu? Ya, karena tulisan beliau tentang pajak tersebut cenderung hanya mendeskripsikan masalah yang terjadi di Banyuwangi, dan kemudian sedikit memberi “pernik-pernik” teoritis semata—tanpa bermaksud menyingkap dampak yang ditimbulkan dan membedah kepentingan terselubung eksekutif dan legislatif itu.
Tulisan beliau, kalau kita baca, terkesan “ramah” kepada kekuasaan. Sehingga, tulisan itu layak disebut “borjuis”  
Karena itulah, kemudian opini beliau (meski tampak “kritis”) masih memberi “nafas lega” bagi mereka. Selain itu, Bu Emi juga “setengah hati” memberi dukungan aksi penolakan yang dilakukan sebagian masyarakat saat ini (misalnya, pendirian “posko rakyat”). Tulisan beliau, kalau kita baca, terkesan “ramah” kepada kekuasaan. Sehingga, menurut pembacaan saya, tulisan itu layak disebut “borjuis”.

Menelanjangi Penguasa: Mengatakan Kebenaran, Membongkar Kebohongan

Di Banyuwangi, para akademisi cenderung “diam” ketika ada masalah yang disebabkan oleh “akrobat” politis kekuasaan. Mereka memilih untuk “main aman”, daripada membela kepentingan rakyat. Baik itu dilakukan melalui tulisan, ikut serta dalam gerakan massa, atau mendukung secara moril. Padahal, hal tersebut merupakan tanggung jawab mereka sebagai seorang intelektual.

Saya ambil pendapat yang sederhana saja. Menurut Noam Chomsky, misalnya. Dalam The Responsibility of Intellectuals (The New Press, 2017), dia menulis begini: “It is the responsibility of intellectuals to speak the truth and to expose lies”. Ini tanggung jawab “sederhana” tapi sukar sekali dilakukan oleh kaum intelektual. Para akademisi di Banyuwangi, seyogianya senantiasa mendengungkan kebenaran dan membongkar selubung kebohongan kekuasaan. Bukan malah mendukung, atau bahkan “mengekor” kepada kekuasaan.

Dalam konteks masalah ini, mereka harus melakukan analisis tajam, mendukung gerakan massa, dan memberi berbagai tawaran yang menguntungkan rakyat kecil. Coba kita sejenak merenung: di mana ahli ekonomi Banyuwangi? di mana akademisi Banyuwangi yang “congkak” di depan mahasiswa itu? di mana kaum intelektual yang sering mengisi seminar dengan gagah itu?

Apakah mereka semua bersama rakyat? Apakah mereka saat ini sedang bersama mahasiswa mendiskusikan masalah ini? Apakah mereka saat ini sedang menulis “risalah pembebasan” yang akan menghantam kesombongan kekuasaan? Apakah mereka sedang menyusun strategi untuk menggagalkan kenaikan pajak itu? Apakah mereka berani membongkar topeng-topeng Fir’aun-Qarun-Haman di Banyuwangi yang menindas masyarakat selama ini? Apakah mereka membela kaum yang saat ini sedang dipermainkan kekuasaan? Dan apakah mereka tahu tentang tanggung jawab seorang intelektual?
Mereka tidak hanya “intelektual borjuis”, melainkan sudah berada di posisi “Haman” kontemporer
Jika pertanyaan-pertanyaan itu tidak dapat mereka jawab, berarti mereka semua mendukung kekuasaan, bukan membela masyarakat. Dengan demikian, mereka tidak hanya “intelektual borjuis”, melainkan sudah berada di posisi “Haman” kontemporer. Sebab, jika mereka tidak mengatakan kebenaran dan membongkar kebohongan penguasa (thaghut), berarti mereka mendukung status quo. Mereka melegitimasi penindasan dengan cara mengutip teori-teori yang “sundul langit”, dan secara bersamaan menjilat kekuasaan demi segepok uang dan kedudukan politik (Anugrah, 2025: 127).

Sudah saatnya kaum akademisi di Bumi Blambangan ini menanggalkan “egoisme” dan menekan birahi politik yang bersemayam di dalam dirinya. Sebab, jika mereka jauh dari kepentingan masyarakat akar rumput, menjaga jarak dengan kaum marginal, menulis-meneliti untuk kebutuhan “karir”, dan diam membisu ketika ada penindasan sistemik, berarti akademisi semacam ini bisa disebut “Haman” kontemporer. Eksistensi mereka hanya untuk mendukung atau menguntungkan kelompok mapan dan elite kekuasaan.

Oleh: Dendy Wahyu Anugrah, Anak Muda Banyuwangi “Pinggiran”

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak