Jumlah kasus yang terus “menaik” itu menunjukkan kepada kita, bahwa predator-predator seksual berkelindan di Tanah Air. Belum lagi, jumlah kasus pelecehan seksual yang sukar disebutkan melalui angka-angka statistik. Tentu saja, sederet data KemenPPA di atas perlu kita “tekan” dengan beragam cara. Salah satunya, mengadvokasi kasus kekerasan dan pelecehan seksual sampai ke akar-akarnya.
Namun, kajian dan advokasi terhadap kasus kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia, seturut pembacaan saya, masih sering—tidak semua—menggunakan pendekatan “pembelaan kepada korban”. Spirit dan advokasi yang dilakukan kepada korban pelecehan seksual, misalnya, kurang mempertimbangkan aspek “politis” dari sisi korban.
Sehingga, pendekatan yang mereka (aktivis) gunakan, selalu “membela” korban dan meletakkan pelaku ke dalam lubang “neraka”. Padahal, kalau kita “hanya” menggunakan pendekatan semacam itu dalam mengawal kasus pelecehan seksual, bisa jadi kita terjebak ke dalam “permainan politis” korban.
Pertama, kekorbanan (victimhood). Dalam mendefinisikan hal ini, kita dapat merujuk kajian Aquarina Kharisma Sari dalam Antifeminisme: Arketipe Ibu, Kuasa, dan Ideologi (IRCiSoD, 2025). Menurut dia, victimhood adalah kondisi psikologis di mana seseorang “merasa” menjadi korban, tanpa harus menjadi korban sesungguhnya. Maka, ada dua kemungkinan dari definisi ini: ada seseorang yang menjadi korban, tapi tidak memiliki persepsi victimhood; ada juga seseorang yang merasa dalam kondisi victimhood, padahal dia tidak benar-benar menjadi korban (Sari, 2025: 67).
Kemudian, dalam konteks politik, victimhood itu mempunyai konsekuensi serius. Misalnya, sebagaimana yang ditulis Robert B. Horwitz dalam artikel “Politics as Victimhood, Victimhood as Politics” (JPH, 2018). Studi kasus artikel ini adalah Amerika. Menurut Hotwitz, korban (the victim) menjadi salah satu posisi “identitas” penting dalam politik di Amerika. Status korban bahkan menjadi sarana utama bagi individu dan kelompok untuk mendefinisikan dan membentuk diri mereka sendiri sebagai aktor politik (Horwitz, 2018: 2).
Lebih jauh, status kekorbanan (victimhood) itu dianggap sebagai klaim pihak tertentu untuk mendapatkan “legitimasi”. Kemudian, legitimasi tersebut digunakan untuk menuntut keadilan, pengakuan, dan ganti rugi (atas perlakuan yang dialami), serta memberi “wewenang” kepada pihak yang (merasa) dirugikan (Horwitz, 2018; Sari, 2025: 70). Dengan kata lain, klaim sebagai korban (victimhood) dijadikan “alat” untuk mencapai tujuan politis, dan mengabsahkan kepentingan politik praktis individu atau kelompok tertentu. Konsekuensi dari klaim semacam ini, menurut Horwitz, orang lain akan memandang: individu atau kelompok yang menjadi korban tidak hanya memperjuangkan luka (wounds) dan ketidakbersalahan (innocence) semata, melainkan sesuatu yang lebih besar (Horwitz, 2018: 3).
Kedua, kuasa (power). Klaim kekorbanan (victimhood) oleh individu atau kelompok itu, tentu tidak akan berhasil tanpa “kuasa” (power). Maksud kuasa dalam konteks ini, menurut saya, lebih dekat dengan “kuasa” ala Michel Foucault. Dalam The History of Sexuality (Vol.I), ia memahami kuasa sebagai sebuah strategi daripada institusi atau struktur tertentu (Foucault, 1978: 93). Lebih jauh, Foucault juga memaknai kuasa itu sebagai “jaringan”, “tidak terpusat”, “tidak pernah ada di tangan siapa pun”, dan “bukan komoditas”. Pemaknaan ini dapat dilihat dalam kumpulan wawancara bersama Foucault, Power/Knowledge (Pantheon Books, 1980).
Namun, implikasi dari kuasa yang bersifat diseminatif itu, berpotensi dijadikan legitimasi oleh kelompok yang menindas. Artinya, kuasa model Foucauldian bisa jadi digunakan sebagai landasan teoritis untuk menindas, atau melukai kelompok lain. Oleh karena itu, dalam konteks ini, saya hanya mengambil definisi “kuasa” Foucault dalam hal strategi politis. Dengan maksud, kuasa korban pelecehan seksual.
Politik Kekorbanan: Membongkar “Kuasa-Hegemoni” Korban Pelecehan
Dalam rangka memahami “permainan politis” korban, kita perlu mendefinisikan dua istilah penting: kekorbanan (victimhood) dan kuasa (power). Sebab, dua hal ini menjadi kata kunci yang akan membantu memahami persoalan yang akan saya ulas dalam tulisan ini.Pertama, kekorbanan (victimhood). Dalam mendefinisikan hal ini, kita dapat merujuk kajian Aquarina Kharisma Sari dalam Antifeminisme: Arketipe Ibu, Kuasa, dan Ideologi (IRCiSoD, 2025). Menurut dia, victimhood adalah kondisi psikologis di mana seseorang “merasa” menjadi korban, tanpa harus menjadi korban sesungguhnya. Maka, ada dua kemungkinan dari definisi ini: ada seseorang yang menjadi korban, tapi tidak memiliki persepsi victimhood; ada juga seseorang yang merasa dalam kondisi victimhood, padahal dia tidak benar-benar menjadi korban (Sari, 2025: 67).
Kemudian, dalam konteks politik, victimhood itu mempunyai konsekuensi serius. Misalnya, sebagaimana yang ditulis Robert B. Horwitz dalam artikel “Politics as Victimhood, Victimhood as Politics” (JPH, 2018). Studi kasus artikel ini adalah Amerika. Menurut Hotwitz, korban (the victim) menjadi salah satu posisi “identitas” penting dalam politik di Amerika. Status korban bahkan menjadi sarana utama bagi individu dan kelompok untuk mendefinisikan dan membentuk diri mereka sendiri sebagai aktor politik (Horwitz, 2018: 2).
Lebih jauh, status kekorbanan (victimhood) itu dianggap sebagai klaim pihak tertentu untuk mendapatkan “legitimasi”. Kemudian, legitimasi tersebut digunakan untuk menuntut keadilan, pengakuan, dan ganti rugi (atas perlakuan yang dialami), serta memberi “wewenang” kepada pihak yang (merasa) dirugikan (Horwitz, 2018; Sari, 2025: 70). Dengan kata lain, klaim sebagai korban (victimhood) dijadikan “alat” untuk mencapai tujuan politis, dan mengabsahkan kepentingan politik praktis individu atau kelompok tertentu. Konsekuensi dari klaim semacam ini, menurut Horwitz, orang lain akan memandang: individu atau kelompok yang menjadi korban tidak hanya memperjuangkan luka (wounds) dan ketidakbersalahan (innocence) semata, melainkan sesuatu yang lebih besar (Horwitz, 2018: 3).
Kedua, kuasa (power). Klaim kekorbanan (victimhood) oleh individu atau kelompok itu, tentu tidak akan berhasil tanpa “kuasa” (power). Maksud kuasa dalam konteks ini, menurut saya, lebih dekat dengan “kuasa” ala Michel Foucault. Dalam The History of Sexuality (Vol.I), ia memahami kuasa sebagai sebuah strategi daripada institusi atau struktur tertentu (Foucault, 1978: 93). Lebih jauh, Foucault juga memaknai kuasa itu sebagai “jaringan”, “tidak terpusat”, “tidak pernah ada di tangan siapa pun”, dan “bukan komoditas”. Pemaknaan ini dapat dilihat dalam kumpulan wawancara bersama Foucault, Power/Knowledge (Pantheon Books, 1980).
Namun, implikasi dari kuasa yang bersifat diseminatif itu, berpotensi dijadikan legitimasi oleh kelompok yang menindas. Artinya, kuasa model Foucauldian bisa jadi digunakan sebagai landasan teoritis untuk menindas, atau melukai kelompok lain. Oleh karena itu, dalam konteks ini, saya hanya mengambil definisi “kuasa” Foucault dalam hal strategi politis. Dengan maksud, kuasa korban pelecehan seksual.
Maksud dari “politik kekorbanan” adalah, kondisi di mana seseorang (korban) memanfaatkan “kekorbanan”-nya (secara politis) untuk melukai atau menjatuhkan orang lain
Dari uraian di atas, kemudian kita dapat memahami apa itu “politik kekorbanan” (politics of victimhood). Maksud dari “politik kekorbanan” adalah, kondisi di mana seseorang (korban) memanfaatkan “kekorbanan”-nya (secara politis) untuk melukai atau menjatuhkan orang lain. Karena ia telah (atau merasa) dilecehkan, dilukai, dan ditindas, maka ia memanfaatkan kondisi tersebut untuk menjatuhkan lawan politiknya—bukan semata untuk mendapatkan keadilan, dan menyuarakan hak.
Sebab, sebagaimana yang dikemukakan Horwitz (2018) tadi, korban akan mendapatkan “wewenang” dan seolah diberi keleluasaan untuk “menuntut”. Klaim sebagai korban (victimhood), dalam konteks ini, dijadikan “alat” untuk memuaskan hasrat politik dan mencapai tujuan politis. Misalnya, untuk menumbangkan lawan politik, mencemarkan nama baik seseorang, ingin mendapatkan keuntungan material, atau untuk mendongkrak popularitas.
Contoh konkret dari kepentingan terselubung semacam itu, antara lain: kasus mahasiswa UNY; Lisa Mariana-Ridwan Kamil; dan video pendek guru agama yang melecehkan murid di Grobogan, Jawa Tengah. Tentu ketiga contoh itu yang bisa kita telusuri di media sosial. Sementara kasus serupa yang tidak muncul di media sosial, ada banyak. Termasuk kasus yang pernah saya temui pada tahun 2023 dan 2024. Kedua kasus pelecehan seksual ini, memiliki “motif” yang sama: menjatuhkan seseorang (lawan politik) dalam sebuah organisasi mahasiswa. Fenomena semacam inilah yang saya sebut “permainan politis” korban pelecehan.
Dari “permainan politis” korban pelecehan seksual tersebut, kita mudah sekali “terjebak” ke dalam permainan mereka. Padahal, niat hati kita tulus dan ingin membantu korban. Namun, ternyata tidak semua perbuatan baik dibalas baik pula. Sebagaimana adagium yang sering kita dengar: “air susu dibalas dengan air tuba”. Keterjebakan itu setidaknya disebabkan oleh dua hal: ketidakakuratan informasi dan menggunakan pendekatan “membela korban” semata. Maka dari itu, agar tidak terperosok ke dalam “jebakan” politis korban pelecehan, kita perlu melakukan langkah-langkah berikut:
Pertama, memeriksa validitas informasi. Langkah pertama yang harus kita lakukan, ketika ada seseorang yang mengaku dilecehkan, adalah memverifikasi kebenaran informasi yang disampaikan. Jika orang yang mengaku korban adalah orang terdekat, berarti kita bisa menggali informasi dari sahabat, teman, atau circle-nya.
Langkah ini merupakan hal yang fundamental. Jika informasi masih simpang siur, atau sekedar “kabar burung”, kita jangan buru-buru melakukan tindakan, seperti memberi kabar yang lain, atau langsung menghubungi pelaku. Sebab, kita tidak mungkin mengawal kasus pelecehan seksual, hanya atas dasar “pengakuan” korban belaka. Dengan kata lain, kita harus benar-benar memastikan keabsahan informasi masalah.
Kedua, memulai dengan sikap skeptis. Keabsahan informasi saja tidaklah cukup. Kita perlu “curiga” terhadap apa yang disampaikan korban, dan berusaha memahami konteks masalah. Sikap skeptis ini, selain untuk memastikan keabsahan informasi, juga membantu kita untuk “mengambil jarak” dengan korban. Pengambilan jarak itu dilakukan, supaya kita dapat memahami konteks masalah secara (berusaha) objektif.
Kemudian, sikap skeptis itu bisa kita lakukan melalui berbagai cara. Ambil saja tahap-tahap skeptisisme yang disebutkan dalam Risalah Tentang Metode (Gramedia Pustaka Utama, 1995). Rene Descartes menyebutkan empat prinsip umum, antara lain: 1) tidak menerima apa pun sebagai kebenaran, kecuali (hal itu) diyakini kebenarannya; (2) memilah masalah menjadi bagian-bagian kecil agar mudah dipahami dan diselesaikan; (3) berpikir runtut dari objek yang sederhana sampai yang rumit; (4) memeriksa (kembali) secara menyeluruh agar tidak ada sesuatu yang terlupakan (Descartes, 1995: 20-21).
Kita juga bisa mengelaborasi metode-metode yang lain, agar lebih akurat. Namun, sesuatu yang hendak dikatakan di sini: pendekatan skeptis merupakan langkah penting dalam menghadapi kasus pelecehan seksual, agar kita tidak terjebak ke dalam “permainan politis” korban.
Ketiga, menelaah secara kritis. Selain sikap skeptis, kita juga perlu menambah pendekatan lain: kritis. Maksud dari “kritis” di sini adalah, bagaimana kita bisa menelaah secara kritis “wacana” (informasi atau pengakuan) dari korban atas apa yang dia alami. Sebab, sebuah wacana tidak lahir dari ruang hampa. Atau, dalam bahasa Pecheux, setiap wacana berkaitan dengan erat “ideologi” dan “kelas sosial” produsen wacana tersebut (Pecheux, 1982: 110). Kita dapat mereduksi ideologi itu sebagai “watak” dan kelas sosial sebagai “circle pertemanan” korban pelecehan seksual.
Kita juga bisa menganalisis “relasi kuasa” korban. Model analisis ini identik dengan genealogi (genealogy) Foucauldian. Bagaimana kita dapat memahami hubungan antara wacana dan kuasa kekorbanan. Dengan kata lain, analisis genealogis ini membantu kita dalam membongkar strategi kuasa, kepentingan politis, dan motif terselubung korban.
Ketiga guide di atas, menurut saya, merupakan perkakas penting yang harus dimiliki (dilakukan) oleh aktivis, atau mereka yang hendak mengadvokasi kasus pelecehan seksual. Demikian menjadi penting, karena ketiga langkah tersebut (setidaknya) dapat membebaskan kita dari jebakan “permainan politis” kekorbanan (victimhood).
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya kira perlu untuk menandaskan satu hal: ulasan ini tidak bermaksud provokatif atau memandang secara peyoratif korban-korban pelecehan/kekerasan seksual. Bagaimanapun, kita harus senantiasa membela korban, dan membantu mereka mendapatkan keadilan. Namun, adalah sebuah tindakan “naif”, jika kita tidak memedulikan faktor lain (sebagaimana yang telah dibahas) dari kasus pelecehan seksual.
Sebab, sebagaimana yang dikemukakan Horwitz (2018) tadi, korban akan mendapatkan “wewenang” dan seolah diberi keleluasaan untuk “menuntut”. Klaim sebagai korban (victimhood), dalam konteks ini, dijadikan “alat” untuk memuaskan hasrat politik dan mencapai tujuan politis. Misalnya, untuk menumbangkan lawan politik, mencemarkan nama baik seseorang, ingin mendapatkan keuntungan material, atau untuk mendongkrak popularitas.
Contoh konkret dari kepentingan terselubung semacam itu, antara lain: kasus mahasiswa UNY; Lisa Mariana-Ridwan Kamil; dan video pendek guru agama yang melecehkan murid di Grobogan, Jawa Tengah. Tentu ketiga contoh itu yang bisa kita telusuri di media sosial. Sementara kasus serupa yang tidak muncul di media sosial, ada banyak. Termasuk kasus yang pernah saya temui pada tahun 2023 dan 2024. Kedua kasus pelecehan seksual ini, memiliki “motif” yang sama: menjatuhkan seseorang (lawan politik) dalam sebuah organisasi mahasiswa. Fenomena semacam inilah yang saya sebut “permainan politis” korban pelecehan.
Pendekatan Skeptis dan Kritis dalam Kasus Pelecehan Seksual
Beberapa contoh di atas menunjukkan, bahwa tidak semua korban pelecehan seksual yang speak up ke publik, dan meminta bantuan orang lain itu karena ingin mengungkap kebenaran dan mendapatkan keadilan hukum. Tapi, ada beberapa kasus yang justru mempunyai maksud lain: menumbangkan lawan politik, mencemarkan nama baik seseorang, ingin mendapatkan keuntungan material, atau untuk mendongkrak popularitas. Bukankah hal ini termasuk kepentingan terselubung “korban” yang memanfaatkan victimhood-nya? Dalam istilah lain disebut: politics of victimhood (Horwitz, 2018; Sari, 2025).Dari “permainan politis” korban pelecehan seksual tersebut, kita mudah sekali “terjebak” ke dalam permainan mereka. Padahal, niat hati kita tulus dan ingin membantu korban. Namun, ternyata tidak semua perbuatan baik dibalas baik pula. Sebagaimana adagium yang sering kita dengar: “air susu dibalas dengan air tuba”. Keterjebakan itu setidaknya disebabkan oleh dua hal: ketidakakuratan informasi dan menggunakan pendekatan “membela korban” semata. Maka dari itu, agar tidak terperosok ke dalam “jebakan” politis korban pelecehan, kita perlu melakukan langkah-langkah berikut:
Pertama, memeriksa validitas informasi. Langkah pertama yang harus kita lakukan, ketika ada seseorang yang mengaku dilecehkan, adalah memverifikasi kebenaran informasi yang disampaikan. Jika orang yang mengaku korban adalah orang terdekat, berarti kita bisa menggali informasi dari sahabat, teman, atau circle-nya.
Langkah ini merupakan hal yang fundamental. Jika informasi masih simpang siur, atau sekedar “kabar burung”, kita jangan buru-buru melakukan tindakan, seperti memberi kabar yang lain, atau langsung menghubungi pelaku. Sebab, kita tidak mungkin mengawal kasus pelecehan seksual, hanya atas dasar “pengakuan” korban belaka. Dengan kata lain, kita harus benar-benar memastikan keabsahan informasi masalah.
Kedua, memulai dengan sikap skeptis. Keabsahan informasi saja tidaklah cukup. Kita perlu “curiga” terhadap apa yang disampaikan korban, dan berusaha memahami konteks masalah. Sikap skeptis ini, selain untuk memastikan keabsahan informasi, juga membantu kita untuk “mengambil jarak” dengan korban. Pengambilan jarak itu dilakukan, supaya kita dapat memahami konteks masalah secara (berusaha) objektif.
Kemudian, sikap skeptis itu bisa kita lakukan melalui berbagai cara. Ambil saja tahap-tahap skeptisisme yang disebutkan dalam Risalah Tentang Metode (Gramedia Pustaka Utama, 1995). Rene Descartes menyebutkan empat prinsip umum, antara lain: 1) tidak menerima apa pun sebagai kebenaran, kecuali (hal itu) diyakini kebenarannya; (2) memilah masalah menjadi bagian-bagian kecil agar mudah dipahami dan diselesaikan; (3) berpikir runtut dari objek yang sederhana sampai yang rumit; (4) memeriksa (kembali) secara menyeluruh agar tidak ada sesuatu yang terlupakan (Descartes, 1995: 20-21).
Kita juga bisa mengelaborasi metode-metode yang lain, agar lebih akurat. Namun, sesuatu yang hendak dikatakan di sini: pendekatan skeptis merupakan langkah penting dalam menghadapi kasus pelecehan seksual, agar kita tidak terjebak ke dalam “permainan politis” korban.
Ketiga, menelaah secara kritis. Selain sikap skeptis, kita juga perlu menambah pendekatan lain: kritis. Maksud dari “kritis” di sini adalah, bagaimana kita bisa menelaah secara kritis “wacana” (informasi atau pengakuan) dari korban atas apa yang dia alami. Sebab, sebuah wacana tidak lahir dari ruang hampa. Atau, dalam bahasa Pecheux, setiap wacana berkaitan dengan erat “ideologi” dan “kelas sosial” produsen wacana tersebut (Pecheux, 1982: 110). Kita dapat mereduksi ideologi itu sebagai “watak” dan kelas sosial sebagai “circle pertemanan” korban pelecehan seksual.
Kita juga bisa menganalisis “relasi kuasa” korban. Model analisis ini identik dengan genealogi (genealogy) Foucauldian. Bagaimana kita dapat memahami hubungan antara wacana dan kuasa kekorbanan. Dengan kata lain, analisis genealogis ini membantu kita dalam membongkar strategi kuasa, kepentingan politis, dan motif terselubung korban.
Ketiga guide di atas, menurut saya, merupakan perkakas penting yang harus dimiliki (dilakukan) oleh aktivis, atau mereka yang hendak mengadvokasi kasus pelecehan seksual. Demikian menjadi penting, karena ketiga langkah tersebut (setidaknya) dapat membebaskan kita dari jebakan “permainan politis” kekorbanan (victimhood).
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya kira perlu untuk menandaskan satu hal: ulasan ini tidak bermaksud provokatif atau memandang secara peyoratif korban-korban pelecehan/kekerasan seksual. Bagaimanapun, kita harus senantiasa membela korban, dan membantu mereka mendapatkan keadilan. Namun, adalah sebuah tindakan “naif”, jika kita tidak memedulikan faktor lain (sebagaimana yang telah dibahas) dari kasus pelecehan seksual.
Sebuah tindakan “naif”, jika kita tidak memedulikan faktor lain (sebagaimana yang telah dibahas) dari kasus pelecehan seksual
Sebab, dengan tidak mendekati dan menganalisi secara kritis kasus-kasus semacam itu, akan berakibat fatal—membantu seseorang (korban) untuk meraih kepentingan politis. Apakah demikian yang kita kehendaki ketika membantu korban pelecehan? Tentu saja tidak. Sehingga, kita harus benar-benar cermat dalam menghadapi kasus pelecehan seksual, agar tidak terseret dalam “permainan politis” dan “tipu daya” mereka yang memanfaatkan victimhood-nya!
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah, Alumni Perahu Perempuan
Rujukan:
Descartes, Rene, Risalah Tentang Metode, terj. Ida Sundari Husein & Rahayu S. Hidayat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995)
Foucault, Michel, The History of Sexuality Vol. 1 (New York: Pantheon Books, 1978)
————, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977 (New York: Pantheon Books, 1980)
Horwitz, Robert B., “Politics as Victimhood, Victimhood as Politics”, Journal of Policy History, 30(3) July 2018
Pecheux, Michel, Language, Semantics, and Ideology (New York: St. Martin’s Press, 1982)
Sari, Aquarina Kharisma, Antifeminisme: Arketipe Ibu, Kuasa, dan Ideologi (Yogyakarta: IRCiSoD, 2025)
Rujukan:
Descartes, Rene, Risalah Tentang Metode, terj. Ida Sundari Husein & Rahayu S. Hidayat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995)
Foucault, Michel, The History of Sexuality Vol. 1 (New York: Pantheon Books, 1978)
————, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977 (New York: Pantheon Books, 1980)
Horwitz, Robert B., “Politics as Victimhood, Victimhood as Politics”, Journal of Policy History, 30(3) July 2018
Pecheux, Michel, Language, Semantics, and Ideology (New York: St. Martin’s Press, 1982)
Sari, Aquarina Kharisma, Antifeminisme: Arketipe Ibu, Kuasa, dan Ideologi (Yogyakarta: IRCiSoD, 2025)
Posting Komentar