Kalau kita memaknai kata berharga dalam konteks emas dan besi dari segi kegunaannya sebagai rantai penggerak gerigi pada mesin, secara objektif — tentu besi menjadi lebih berharga disini daripada emas. Objektivitas bisa dimaknai sebagai upaya untuk memisahkan analisis ilmiah dari opini pribadi, nilai, dan kepentingan politik.
Dalam “Objectivity in Social Science and Social Policy” (1904), Max Weber menyatakan bahwa objektivitas berarti menahan diri dari penilaian normatif pribadi, dan berusaha menyajikan fakta serta hubungan kausal sebagaimana adanya.
Jika kita kaitkan dengan organisasi, rantai besi yang kuat dan fungsional itu ibarat penghubung dan penyalur energi yang memastikan setiap bagian dalam organisasi dapat bergerak selaras, terarah, dan harmonis menuju tujuan bersama.
Organisasi akan rapuh jika hanya dihias oleh “kilau emas” berupa perasaan paling benar, sekedar menunjukkan popularitas, atau kepentingan pragmatis yang sering kali lahir dari subjektivitas pribadi. Juga mesin organisasi akan mudah runtuh jika diikat oleh ‘rantai besi berkarat’ berupa konflik internal, kepentingan sempit, sikap pseudo-kritis, dan lemahnya komitmen, karena pada saat diuji untuk menggerakkan roda bersama, ikatan itu akan putus di tengah jalan.
Sikap-sikap subjektivitas seperti pseudo-kritis dan kepentingan dalam konflik internal merupakan korosi yang terus menggerus kohesivitas dalam mesin organisasi yang membuatnya tidak bisa berjalan secara maksimal.
Dalam Kritikk(us) Sastra Indonesia yang diunggah pada jendelasastra.com., Saut Situmorang menjabarkan bahwasannya dalam dunia kritik sastra Indonesia, ada ungkapan peringatan mengenai kritikus yang hanya bersifat "pseudo"—pretensi kritis tanpa mendalami konteks atau substansi.
Pemikiran yang dihasilkan dari sikap pseudo, kritik yang muncul seringkali hanya berupa pseudo-polemik dan pseudo-kritik, karena para pengkritik tidak memahami secara mendalam konsep dasar tentang apa yang sebenarnya ia kritik. Kritik seperti ini lebih semata-mata berbasis penghakiman dangkal daripada pemahaman mendalam.
Para organisatoris mahasiswa tentu sudah momprot-momprot, ketika membicarakan terkait paradigma dan pisau analisis. Namun sayangnya hal ini kerap kali dilupakan karena sudah disusupi oleh subjektivitas yang melahirkan pseudo.
Mahasiswa yang kerap disebut sebagai iron stock bangsa, dalam berorganisasi dituntut untuk mengedepankan objektivitas, supaya mampu melihat realitas secara jernih, menimbang kepentingan bersama di atas ego kelompok atau individu, serta menjadikan rasionalitas sebagai dasar setiap keputusan.
Subjektivitas yang berlebihan akan membawa bahaya, karena dapat melahirkan perpecahan, sikap eksklusif, bahkan kehilangan arah perjuangan. Organisasi mahasiswa yang terjebak pada subjektivitas hanya akan menjadi arena perebutan kepentingan, bukan lagi wadah pembelajaran dan perjuangan. Akibatnya, nilai idealisme yang seharusnya menjadi kekuatan justru terkikis oleh kebencian dan kepentingan pribadi.
Oleh karena itu, mahasiswa organisatoris sebagai iron stock harus selalu menanamkan sikap objektif, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam menyikapi perbedaan pandangan. Dengan cara ini, organisasi tidak hanya kokoh secara internal, tetapi juga relevan dalam menjawab tantangan zaman.
Kekuatan objektivitas adalah kekuatan besi yang tahan banting, yang akan terus menjaga arah organisasi tetap lurus, berorientasi pada kepentingan bersama, dan mampu menjadi motor penggerak organisasi.
Oleh: Much. Hasyim
Posting Komentar