Namun, di balik visi luhur tersebut, muncul praktik politik yang justru berlawanan dengan semangat keadilan sosial: sejumlah dapur MBG justru dikelola oleh anggota DPRD. Fenomena ini bukan sekadar “salah alamat,” melainkan bentuk nyata dari pelanggaran tata kelola pemerintahan dan etika publik. Alih-alih menjadi dapur rakyat, ia menjelma menjadi “restoran privat” yang dikelola oleh pejabat yang seharusnya hanya berperan sebagai pengawas anggaran.
Secara sederhana, DPRD seharusnya berfungsi sebagai pembuat peraturan daerah, pengawas kebijakan, serta pengawal anggaran publik (UU No. 23/2014). Namun, fakta bahwa mereka ikut mengelola dapur MBG menunjukkan pergeseran fungsi: dari pengawas menjadi pebisnis nasi kotak dari APBN. Dengan kata lain, “tangan yang seharusnya memegang palu sidang kini sibuk memegang sendok sayur.”
Fenomena DPRD mengelola dapur MBG jelas merupakan konflik kepentingan (conflict of interest) sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menyebutkan bahwa pejabat pemerintahan dilarang menggunakan wewenang untuk kepentingan pribadi atau golongan. Demikian pula, Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menekankan asas transparansi, akuntabilitas, dan persaingan sehat. Ketika dapur MBG jatuh ke tangan anggota DPRD, prinsip ini runtuh total.
Ibarat dalam perlombaan, posisi legislatif yang seharusnya menjadi wasit, kini berubah menjadi pemain sekaligus pemilik klub. Bagaimana mungkin publik percaya pada proses pengawasan, jika wasit ikut bertaruh dalam pertandingan?
Dalam literatur etika publik, konflik kepentingan dianggap sebagai “penyakit kronis” birokrasi. Thompson (1987) menegaskan bahwa konflik kepentingan melemahkan legitimasi publik karena pejabat tidak lagi dianggap bekerja untuk rakyat, melainkan untuk diri sendiri. Hal ini sejalan dengan Denhardt, R. B., & Denhardt, J. V. (2007) yang menekankan bahwa pelayanan publik sejatinya adalah “serving, not steering”—melayani, bukan mengendalikan. Namun yang terjadi, DPRD justru “mengendalikan” piring nasi rakyat.
Mari kita berimajinasi sejenak, jika DPRD benar-benar membuka restoran. Menu utama: nasi dengan kuah politik, lauk rente, dan sambal konflik kepentingan. Resepnya sederhana: ambil dana publik, aduk dengan kekuasaan, lalu sajikan di meja proyek. Rakyat? Mereka hanya kebagian peran sebagai pelanggan setia yang tak bisa protes, karena semua meja sudah dipesan atas nama “wakil rakyat.”
Analogi ini bukan berlebihan. Ketika anggota dewan sudah asyik sibuk menakar bumbu nasi kotak di dapur, bagaimana mungkin mereka bisa menakar keberpihakan anggaran? Bagaimana mungkin mengawasi proyek yang justru mereka kelola sendiri?
Secara sederhana, DPRD seharusnya berfungsi sebagai pembuat peraturan daerah, pengawas kebijakan, serta pengawal anggaran publik (UU No. 23/2014). Namun, fakta bahwa mereka ikut mengelola dapur MBG menunjukkan pergeseran fungsi: dari pengawas menjadi pebisnis nasi kotak dari APBN. Dengan kata lain, “tangan yang seharusnya memegang palu sidang kini sibuk memegang sendok sayur.”
Fenomena DPRD mengelola dapur MBG jelas merupakan konflik kepentingan (conflict of interest) sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menyebutkan bahwa pejabat pemerintahan dilarang menggunakan wewenang untuk kepentingan pribadi atau golongan. Demikian pula, Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menekankan asas transparansi, akuntabilitas, dan persaingan sehat. Ketika dapur MBG jatuh ke tangan anggota DPRD, prinsip ini runtuh total.
Ibarat dalam perlombaan, posisi legislatif yang seharusnya menjadi wasit, kini berubah menjadi pemain sekaligus pemilik klub. Bagaimana mungkin publik percaya pada proses pengawasan, jika wasit ikut bertaruh dalam pertandingan?
Dalam literatur etika publik, konflik kepentingan dianggap sebagai “penyakit kronis” birokrasi. Thompson (1987) menegaskan bahwa konflik kepentingan melemahkan legitimasi publik karena pejabat tidak lagi dianggap bekerja untuk rakyat, melainkan untuk diri sendiri. Hal ini sejalan dengan Denhardt, R. B., & Denhardt, J. V. (2007) yang menekankan bahwa pelayanan publik sejatinya adalah “serving, not steering”—melayani, bukan mengendalikan. Namun yang terjadi, DPRD justru “mengendalikan” piring nasi rakyat.
Mari kita berimajinasi sejenak, jika DPRD benar-benar membuka restoran. Menu utama: nasi dengan kuah politik, lauk rente, dan sambal konflik kepentingan. Resepnya sederhana: ambil dana publik, aduk dengan kekuasaan, lalu sajikan di meja proyek. Rakyat? Mereka hanya kebagian peran sebagai pelanggan setia yang tak bisa protes, karena semua meja sudah dipesan atas nama “wakil rakyat.”
Analogi ini bukan berlebihan. Ketika anggota dewan sudah asyik sibuk menakar bumbu nasi kotak di dapur, bagaimana mungkin mereka bisa menakar keberpihakan anggaran? Bagaimana mungkin mengawasi proyek yang justru mereka kelola sendiri?
Hughes (2012) menyebut kondisi ini sebagai “self-regulation failure”—kegagalan pengawasan diri, di mana lembaga legislatif kehilangan jarak objektif terhadap eksekutif.
Secara normatif, DPRD terikat pada kode etik yang melarang penyalahgunaan jabatan. Namun realitasnya, pengelolaan dapur MBG oleh DPRD adalah pelanggaran terhadap asas imparsialitas dan integritas. Denhardt (1988) menekankan bahwa etika pelayanan publik menuntut pejabat menghindari “potensi” konflik kepentingan, bukan hanya konflik yang nyata terjadi.
World Bank (2020) dalam laporan Enhancing Government Effectiveness and Transparency juga menegaskan bahwa konflik kepentingan dalam program sosial selalu berujung pada kerugian masyarakat. Jika program gizi dikuasai elit, kualitas dan distribusi makanan rentan dikorbankan.
Ketika kita pernah membaca berita tentang anak-anak keracunan makanan MBG, itu bukan sekadar “kecelakaan teknis,” tapi indikasi lemahnya tata kelola. Ironisnya, DPRD yang harusnya menggugat masalah itu, justru terlibat dalam rantai penyedia. Ibarat bagaimana mungkin tukang masak menyalahkan makanannya sendiri?
Di sinilah relevansi peran mahasiswa dan organisasi masyarakat menjadi krusial. Mahasiswa sejak lama didapuk sebagai agent of change dan guardian of value. Mereka bukan sekadar pembelajar di kelas, tetapi pewaris sejarah gerakan moral bangsa. Keterlibatan DPRD dalam dapur MBG harus dibaca mahasiswa sebagai bentuk penyimpangan mandat rakyat.
Ormas pun juga bisa mengambil peran dengan membentuk koperasi rakyat atau pesantren sebagai alternatif pengelola dapur MBG. Dengan demikian, program gizi tidak lagi jadi proyek politik, melainkan gerakan sosial berbasis komunitas. Pope (2000) menegaskan bahwa salah satu elemen National Integrity System adalah partisipasi masyarakat sipil yang kuat sebagai penyeimbang kekuasaan politik.
Program MBG seharusnya menjadi simbol kepedulian negara terhadap rakyat kecil. Namun, ketika dapurnya dikuasai DPRD, program itu berubah menjadi simbol rente politik. Ia adalah cermin telanjang, tentang bagaimana kekuasaan bisa menyusupi piring makan rakyat. Jika kita diam, maka besok bukan hanya dapur MBG yang diambil alih, tapi juga dapur rumah tangga rakyat.
Di titik ini, kritik menjadi penting, agar rakyat sadar bahwa yang sedang diperebutkan bukan sekadar piring nasi, melainkan masa depan bangsa. Jika DPRD masih ingin berbisnis, silahkan mundur dari kursi wakil rakyat dan buka restoran pribadi. Mahasiswa, ormas, dan masyarakat sipil harus berdiri di garda depan, mengawal terlaksananya MBG sebagai program nasional dengan baik dan berkeadilan sosial.
Biarkan dapur MBG kembali ke pemilik aslinya: RAKYAT. Karena di balik piring nasi MBG, ada masa depan bangsa yang dipertaruhkan dan hanya rakyatlah yang berhak menentukan "menu" untuk generasi masa depan.
Rogojampi, 16 September 2025
Oleh: Slamet Ichlasul Amal
Daftar Pustaka:
Denhardt, K. G. (1988). The Ethics of Public Service: Resolving Moral Dilemmas in Public Organizations. Greenwood Press.
Denhardt, R. B., & Denhardt, J. V. (2007). The New Public Service: Serving, Not Steering. Armonk: M.E. Sharpe.
Hughes, O. E. (2012). Public Management and Administration: An Introduction. Palgrave Macmillan.
Pope, J. (2000). Confronting Corruption: The Elements of a National Integrity System. Transparency International.
Thompson, D. F. (1987). Political Ethics and Public Office. Harvard University Press.
World Bank. (2020). Enhancing Government Effectiveness and Transparency: The Fight Against Corruption. Washington, DC: World Bank.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (beserta perubahan No. 12 Tahun 2021).
Tata Tertib dan Kode Etik DPRD Daerah.
Posting Komentar