Penalaut.com- Kita menyebut nama Kencong, sebuah Kecamatan di ujung selatan Jember, banyak orang mungkin langsung teringat dua hal: masjid yang selalu ramai pada malam Jumat dengan doa khusyuknya, dan panggung dangdut rakyat yang nggak pernah sepi dari goyang koplo. Kedengarannya kontradiktif, ya? Yang satu serius, sakral, penuh lirih doa. Yang satu lagi semarak, hingar bingar, bahkan kadang bikin telinga ikut bergoyang tanpa izin.
Tapi di Kencong, kontradiksi itu nggak pernah jadi masalah. Orang bisa khusyuk berdoa di masjid lalu besoknya ikut nonton hiburan rakyat tanpa rasa canggung. Tak ada yang menuding “kurang iman” hanya karena joget di panggung hajatan. Tak ada pula yang merasa “kurang gaul” hanya karena lebih senang ikut tahlilan. Singkatnya: masyarakat Kencong sudah lama paham bahwa hidup itu bukan soal memilih hitam atau putih, tapi soal meramu warna.
Hidup itu bukan soal memilih hitam atau putih, tapi soal meramu warnaDan uniknya, di balik harmoni nyentrik itu, Kencong juga punya wajah keras: sejarah panjang perlawanan rakyat salah satu desa di Kecamatan Kencong terhadap tambang pasir besi. Inilah wajah lain Kencong—Kecamatan yang bisa berdoa khusyuk, bergoyang riang, tapi juga memiliki Desa dengan warganya yang berdiri gagah melawan mesin tambang yang hendak merampas tanah dan laut mereka. Ya, itu Paseban.
Doa yang Tidak Membuat Pasrah, Joget yang Tidak Membuat Lupa
Mari mulai dari yang ringan. Kencong punya tradisi atau kultur religius yang kuat. Malam Jumat, masjid-masjid ramai dengan bacaan tahlil dan doa. Orang-orang larut dalam suasana khusyuk, suara doa bergaung hingga ke gang-gang kecil. Tapi jangan salah, beberapa malam setelahnya, lapangan desa atau Alun-Alun Kecamatan bisa ramai dengan panggung Dangdut.Yang menarik, kedua aktivitas ini berjalan tanpa saling ganggu. Nggak ada pihak yang protes ke Satpol PP karena terganggu toa. Nggak ada juga yang ribut di medsos soal “hiburan merusak iman.” Orang Kencong tahu, doa itu kebutuhan jiwa, hiburan itu kebutuhan raga. Dua-duanya jalan bareng, dan dua-duanya bisa saling menguatkan.
Kalau Antonio Gramsci hidup di Kencong, mungkin ia bakal tersenyum. Karena di sinilah praktik nyata dari “hegemoni kultural” yang lahir bukan dari negara, tapi dari rakyat. Hegemoni yang menyeimbangkan sakral dan profan. Rakyat Kencong berhasil membuat norma sosial sendiri: doa boleh, joget pun--bukan berarti memperbolehkan--tidak dilarang. Yang nggak boleh cuma satu: merusak tanah dan laut.
Paseban: Ketika Kapitalisme Menyamar Jadi Pembangunan
Nah, masuk ke bab serius. Awal 2000-an, pesisir Paseban—desa di Kencong yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia—jadi incaran proyek tambang pasir besi. Pemerintah daerah bilang ini investasi. Investor bilang ini jalan menuju kesejahteraan. Jargon-jargon lama yang selalu muncul: peningkatan PAD, penciptaan lapangan kerja, pembangunan daerah.Tapi orang Paseban nggak gampang ditipu. Mereka sadar, tambang pasir besi itu bukan soal pembangunan, tapi soal perampasan. Laut yang selama ini memberi ikan, sawah yang jadi lumbung pangan, bahkan makam leluhur—semua bisa hilang kalau tambang masuk.
Tambang pasir besi itu bukan soal pembangunan, tapi soal perampasanKarl Marx, bapak segala teori kiri, pernah menyebut kapitalisme sebagai mesin yang rakus, yang akan mengubah segala sesuatu menjadi komoditas. Di Paseban, kita lihat bagaimana pasir—sesuatu yang seolah sepele—tiba-tiba jadi rebutan karena nilai jualnya. Dan rakyat? Hanya dianggap angka statistik.
Tapi rakyat Paseban menolak jadi angka. Mereka berdiri. Mereka rapat. Mereka demo. Bahkan ada ibu-ibu yang nekat berdiri menghadang alat berat. Ada bapak-bapak yang rela ditangkap polisi. Semua demi satu hal: tanah dan laut tidak boleh dijual.
Fanon dan Ali Syari’ati Bertemu di Kencong
Kalau Frantz Fanon melihat perlawanan ini, mungkin ia akan bilang: "inilah bentuk kolonialisme gaya baru". Investor dan negara bertindak seperti penjajah yang datang dengan janji kesejahteraan, tapi di balik itu ada niat merampas ruang hidup rakyat. Fanon percaya, perlawanan harus datang dari rakyat yang tertindas. Dan di Paseban, itulah yang terjadi.Tapi yang membuat Kencong unik adalah bagaimana perlawanan ini bersandar juga pada iman. Doa tidak membuat rakyat pasrah. Sebaliknya, doa menjadi energi. Di sini kita bisa ingat Ali Syari’ati, pemikir kiri Islam, yang menekankan bahwa iman harus melahirkan aksi pembebasan. Kalau iman hanya berhenti pada ritual, maka agama bisa jadi candu. Tapi kalau iman menggerakkan rakyat untuk melawan ketidakadilan, maka agama menjadi kekuatan revolusioner.
Doa tidak membuat rakyat pasrah. Sebaliknya, doa menjadi energiPerlawanan Paseban adalah contoh nyata itu. Tahlilan dan doa jalan terus, tapi ketika alat berat datang, mereka berdiri di depan. Bukan dengan teriakan ideologi besar, tapi dengan keyakinan sederhana: “Laut ini hidup kami, tanah ini warisan anak cucu, kami harus menjaganya.”
Memori Kolektif: Sejarah yang Tak Boleh Hilang
Meski pertambangan berhasil diusir, yang membuat perlawanan Paseban istimewa adalah bagaimana ingatan itu masih hidup. Setelah tambang pasir besi gagal diteruskan, rakyat tidak berhenti. Mereka terus mengulang cerita itu: dari bapak ke anak, dari ibu ke cucu, dari warung kopi ke ruang pengajian.Maurice Halbwachs, sosiolog Prancis, pernah bilang bahwa memori kolektif hanya bisa hidup kalau dijaga oleh komunitas. Dan di Kencong, memori itu dijaga rapat-rapat. Ia bukan sekadar nostalgia, tapi benteng agar generasi berikutnya tidak jatuh ke lubang yang sama.
Pembangunan yang sejati adalah menjaga tanah dan laut tetap lestariInilah yang disebut Gramsci sebagai “counter-hegemony”. Negara dan investor mencoba menanamkan narasi pembangunan, tapi rakyat Paseban-Kencong menolak. Mereka bikin narasi sendiri: pembangunan yang sejati adalah menjaga tanah dan laut tetap lestari.
Hiburan, Doa, dan Perlawanan: Satu Paket
Kencong adalah bukti bahwa masyarakat bisa hidup dalam banyak dimensi sekaligus. Doa khusyuk jalan terus. Hiburan rakyat tetap ramai. Dan perlawanan terhadap tambang juga bisa kuat. Tidak ada yang merasa harus memilih satu di antara tiga.Kalau Marx melihat di sini ada perjuangan kelas, kalau Fanon melihat ada kolonialisme gaya baru, kalau Ali Syari’ati melihat iman yang membebaskan, maka rakyat Kencong atau Paseban cukup berkata sederhana: “Kami cuma ingin tanah kami tidak dirampas”.
Perlu diteriakkan bersama: Paseban Ora Didol!Kekuatan rakyat Kencong justru ada pada kesederhanaan itu. Mereka tidak sibuk dengan teori besar, tapi praksisnya jelas: doa yang tidak membuat pasrah, hiburan yang tidak membuat lupa, dan perlawanan yang tidak berhenti hanya karena proyek tambang sudah pergi. Dan sekali lagi perlu diteriakkan bersama: Paseban Ora Didol!
Kencong mengajari kita satu hal: doa dan hiburan bisa hidup berdampingan tanpa canggung. Tapi lebih dari itu, Kencong mengajarkan bagaimana ingatan kolektif bisa menjadi benteng melawan perampasan.
Ketika banyak orang lupa sejarah, rakyat Kencong masih mengulang-ulang kisah perlawanan Paseban. Mereka merawatnya, menjadikannya kompas moral, dan siap menolak kalau tambang datang lagi.
Dan ini yang paling terakhir: Paseban Ora Didol!!!
Oleh: N.A. Tohirin



3 komentar